Pengasingan Bung Karno dan Bung Hatta di Muntok Bangka
Belitung
Pengasingan
nampaknya tidak lagi asing bagi para pemimpin kita terdahulu. Sebut saja
Soekarno yang pernah
merasakan dinginnya penjara Sukamiskin Bandung, kemudian Ende di Flores, lalu
Bengkulu hingga keheningan Wisma Ranggam di Muntok Bangka setelah menjadi
presiden.
Hatta pun
demikian, kengerian Boven Digul, Banda Neira hingga dinginnya udara Wisma
Menumbing di Bangka pernah dia cicipi.
Bangka,
menjadi lokasi di mana keduanya bersama-sama diasingkan di masa revolusi
kemerdekaan pasca Agresi Militer Belanda 2 pada 18 Desember 1948.
Hatta
didatangkan ke Bangka pada 22 Desember 1948, sedangkan Soekarno 2 bulan
setelahnya yakni pada Februari 1949. Keduanya menempati lokasi yang berbeda,
Hatta berada di sebuah wisma di atas Bukit Menumbing sedang Soekarno di Kota
Muntok.
latar
belakang pengasingan bung karno dan bung hatta Penyerangan terhadap Ibukota
Republik, diawali dengan pemboman atas lapangan terbang Maguwo, di pagi hari.
Pukul 05. 45 lapangan terbang Maguwo dihujani bom & tembakan mitraliur oleh
5 pesawat Mustang & 9 pesawat Kittyhawk.
Pertahanan
TNI di Maguwo hanya terdiri dari 150 orang pasukan pertahanan pangkalan udara
dengan persenjataan yg sangat minim, yaitu beberapa senapan & satu senapan
anti pesawat 12,7. Senjata berat sedang dlm keadaan rusak. Pertahanan pangkalan
hanya diperkuat dengan satu kompi TNI bersenjata lengkap. Pukul 06. 45, 15
pesawat Dakota menerjunkan pasukan KST Belanda di atas Maguwo.
pertempuran
merebut Maguwo hanya berlangsung sekitar 25 menit. Pukul 7. 10 bandara Maguwo
telah jatuh ke tangan pasukan Kapten Eekhout. Di pihak Republik tercatat 128
tentara tewas, sedangkan di pihak penyerang, tak satu pun jatuh korban.
Sekitar
pukul 9. 00, seluruh 432 anggota pasukan KST telah mendarat di Maguwo, &
pukul 11. 00, seluruh kekuatan Grup Tempur M sebanyak 2. 600 orang-termasuk dua
batalyon, 1. 900 orang, dari Brigade T- beserta persenjataan beratnya di bawah
pimpinan Kolonel D. R. A. van Langen telah terkumpul di Maguwo & mulai
bergerak ke Yogyakarta.
Serangan
terhadap kota Yogyakarta juga dimulai dengan pemboman serta menerjunkan pasukan
payung di kota. Di daerah-daerah lain di Jawa antara lain di Jawa Timur,
dilaporkan bahwa penyerangan bahkan telah dilakukan sejak tanggal 18 Desember
malam hari. Segera sesudah mendengar berita bahwa tentara Belanda telah memulai
serangannya, Panglima Besar Soedirman mengeluarkan perintah kilat yg dibacakan
di radio tanggal 19 Desember 1948 pukul 08. 00.
Pemerintahan
Darurat
Soedirman
dlm keadaan sakit melaporkan diri kepada Presiden. Soedirman didampingi oleh
Kolonel Simatupang, Komodor Suriadarma serta dr. Suwondo, dokter pribadinya.
Kabinet mengadakan sidang dari pagi sampai siang hari.
Karena
merasa tak diundang, Jenderal Soedirman & para perwira TNI lainnya menunggu
di luar ruang sidang. Setelah mempertimbangkan segala kemungkinan yg bisa
terjadi, akhirnya Pemerintah Indonesia memutuskan untuk tak meninggalkan
Ibukota. Mengenai hal-hal yg dibahas serta keputusan yg diambil adalam sidang
kabinet tanggal 19 Desember 1948.
Berhubung
Soedirman masih sakit, Presiden berusaha membujuk supaya tinggal dlm kota,
tetapi Sudirman menolak. Simatupang mengatakan sebaiknya Presiden & Wakil
Presiden ikut bergerilya.
Menteri Laoh
mengatakan bahwa sekarang ternyata pasukan yg akan mengawal tak ada. Jadi
Presiden & Wakil Presiden terpaksa tinggal dlm kota agar selalu dapat
berhubungan dengan KTN sebagai wakil PBB. Setelah dipungut suara, hampir seluruh
Menteri yg hadir mengatakan, Presiden & Wakil Presiden tetap dlm kota.
Sesuai
dengan rencana yg telah dipersiapkan oleh Dewan Siasat, yaitu basis
pemerintahan sipil akan dibentuk di Sumatera, maka Presiden & Wakil
Presiden membuat surat kuasa yg ditujukan kepada Mr. Syafruddin Prawiranegara,
Menteri Kemakmuran yg sedang berada di Bukittinggi.
Presiden
& Wakil Presiden mengirim kawat kepada Syafruddin Prawiranegara di
Bukittinggi, bahwa ia diangkat sementara membentuk satu kabinet & mengambil
alih Pemerintah Pusat.
Pemerintahan
Syafruddin ini kemudian dikenal dengan Pemerintahan Darurat Republik Indonesia.
Selain itu, untuk menjaga kemungkinan bahwa Syafruddin tak berhasil membentuk
pemerintahan di Sumatera, juga dibuat surat untuk Duta Besar RI untuk India,
dr. Sudarsono, serta staf Kedutaan RI, L. N. Palar & Menteri Keuangan Mr.
A. A. Maramis yg sedang berada di New Delhi.
Empat
Menteri yg ada di Jawa namun sedang berada di luar Yogyakarta sehingga tak ikut
tertangkap ialah Menteri Dalam Negeri, dr. Sukiman, Menteri Persediaan
Makanan,Mr. I. J. Kasimo, Menteri Pembangunan & Pemuda, Supeno, &
Menteri Kehakiman, Mr. Susanto.
Mereka belum
mengetahui mengenai Sidang Kabinet pada 19 Desember 1948, yg memutuskan
pemberian mandat kepada Mr. Syafrudin Prawiranegara untuk membentuk Pemerintah
Darurat di Bukittinggi, & apabila ini tak dapat dilaksanakan, agar dr.
Sudarsono, Mr. Maramis & L. N. Palar membentuk Exile Government of Republic
Indonesia di New Delhi, India.
Pada 21
Desember 1948, keempat Menteri tersebut mengadakan rapat & hasilnya
disampaikan kepada seluruh Gubernur Militer I, II & III, seluruh Gubernur
sipil & Residen di Jawa, bahwa Pemerintah Pusat diserahkan kepada 3 orang
Menteri yaitu Menteri Dalam Negeri, Menteri Kehakiman, Menteri Perhubungan.
Pengasingan
Presiden Soekarno
Pada pukul
07. 00 WIB tanggal 22 Desember 1948 Kolonel D. R. A. van Langen memerintahkan
para pemimpin republik untuk berangkat ke Pelabuhan Udara Yogyakarta untuk
diterbangkan tanpa maksud yg jelas.
Selama di
perjalanan dengan menggunakan pesawat pembom B-25 milik angkatan udara Belanda,
tak satupun yg tahu arah maksud pesawat, pilot mengetahui arah sesudah membuka
surat perintah di dlm pesawat, akan tetapi tak disampaikan kepada para pemimpin
republik.
Setelah
mendarat di Pelabuhan Udara Kampung DulPangkalpinang [sekarang Bandara Depati
Amir] para pemimpin republik baru mengetahui, bahwa mereka diasingkan ke Pulau
Bangka, akan tetapi rombongan Presiden Soekarno, Sutan Sjahrir, & Menteri
Luar Negeri Haji Agus Salim terus diterbangkan lagi menuju Medan, Sumatera
Utara, untuk kemudian diasingkan ke Brastagi & Parapat,
sementara
Drs. Moh. Hatta [Wakil Presiden], RS. Soerjadarma [Kepala Staf Angkatan Udara],
MR. Assaat [Ketua KNIP] & MR. AG. Pringgodigdo [Sekretaris Negara]
diturunkan di pelabuhan udara Kampung Dul Pangkalpinang & terus dibawa ke
Bukit Menumbing Mentok dengan dikawal truk bermuatan tentara Belanda &
berada dlm pengawalan pasukan khusus Belanda, Corps Speciale Troepen.
SALAH satu
bagian perjalanan penting dalam meraih dan mempertahankan kemerdekaan bangsa
ini ada di Pulau Bangka, Kabupaten Bangka Barat, Provinsi Bangka Belitung. Masa
pengasingan proklamator Soekarno-Hatta bersama para pemimpin bangsa lainnya
pada kurun waktu 1948-1949 turut menentukan arah perjalanan bangsa saat ini.
Setiba di Bandara Depati Amir di Pangkal Pinang, Bangka, pada akhir April lalu,
tergambar peristiwa 22 Desember 1948. Ketika itu pesawat B-25, salah satu
pesawat pengebom milik Belanda, mendarat di bandara tersebut, yang masih
bernama Bandara Kampung Dul. Di dalam pesawat tersebut ada para pemimpin
bangsa, Soekarno (Presiden), Mohammad Hatta (Wakil Presiden), Sutan Sjahrir
(mantan Perdana Menteri), Agus Salim (Menteri Luar Negeri), RS Soerjadarma
(Kepala Staf Angkatan Udara), MR Asaat (Ketua Komite Nasional Indonesia
Pusat/KNIP), dan AG Pringgodigdo (Menteri Sekretaris Negara). Penangkapan,
penawanan, dan pengasingan para pemimpin Republik Indonesia itu sebagai bagian
dari Agresi Militer II Belanda ke Yogyakarta yang dijadikan Ibu Kota Republik
Indonesia pada waktu itu. Menarik ketika mengetahui ada beberapa pemimpin
bangsa yang tidak diturunkan di Pangkal Pinang. Mereka adalah Soekarno, Agus
Salim, dan Sutan Sjahrir. Ketiganya setiba di Pangkal Pinang diterbangkan lagi
ke Brastagi, Sumatera Utara. Di Brastagi, mereka kemudian diterbangkan ke
Parapat, Sumatera Utara, hingga 5 Februari 1949 diterbangkan ke Pangkal Pinang
dengan pesawat amfibi Cathalina milik Belanda. Namun, Sutan Sjahrir tidak turut
serta. Sjahrir dikembalikan ke Jakarta karena mau berkompromi dengan Belanda.
Dipertemukan kembali Tebersit pertanyaan, peristiwa apa yang melatarbelakangi
antara Soekarno, Agus Salim, dan Sutan Sjahrir dipisahkan dengan Mohammad Hatta
dan para tokoh lain. Tidak lama berselang, mereka dipertemukan kembali, kecuali
Sjahrir. Ahli sejarah Bangka, Akhmad Elvian, mengutarakan, ada dugaan jika
Soekarno dan Hatta dipersatukan, akan tumbuh penyatuan dua karakter yang saling
melengkapi untuk perjuangan dan pergerakan kemerdekaan pada waktu itu. Tidak
berselang lama mereka dipersatukan kembali di Pesanggrahan Menumbing, Muntok,
wilayah kota pertambangan timah paling ramai pada masa lalu di Pulau Bangka.
Lokasi kota itu ada di sisi barat Pulau Bangka. Sewaktu Soekarno akan
dipindahkan ke Bangka dari Parapat, ada hal menarik di Bandara Kampung Dul.
Masyarakat sudah memadati bandara tersebut untuk menyambut Soekarno. Tetapi,
Soekarno tidak jadi diterbangkan dan mendarat di Bandara Kampung Dul. Soekarno
bersama Agus Salim diterbangkan dari Parapat dengan pesawat amfibi di perairan
laut di Pelabuhan Pangkal Balam, memang tak jauh dari Bandara Kampung Dul,
Pangkal Pinang. Beberapa foto lama menunjukkan kedatangan Soekarno memang
sangat dinantikan warga Bangka. Masyarakat tumpah ruah menyambut Soekarno di
Pangkal Pinang sebelum Soekarno dibawa Belanda ke rumah pengasingan di Muntok.
Wisma Ranggam
Perjalanan dari Pangkal Pinang menuju Muntok untuk saat ini memakan waktu
sekitar tiga jam dengan mobil. Tujuan pertama kali adalah rumah pengasingan
Soekarno ada di Pesanggrahan Menumbing di Puncak Bukit Menumbing, bersama Hatta
dan tokoh lain. Ketika menuju puncak bukit itu, di kaki bukit kami melintasi
sebuah rumah besar yang kini disebut Wisma Ranggam. Juru pelihara Wisma
Ranggam, Edi Rosyidi, memelihara rumah yang sebelumnya silih berganti
dimanfaatkan untuk berbagai keperluan. Sebelumnya, rumah itu pernah disewa
swasta untuk rumah makan dan hiburan. Kemudian diambil alih pemerintah daerah
untuk wisma atlet dan kegiatan lain, seperti penggemblengan pasukan pengibar
bendera pusaka menjelang peringatan kemerdekaan 17 Agustus. Beberapa tahun
terakhir, Wisma Ranggam dibiarkan kosong. Tampak ada upaya Edi untuk mengisi
rumah itu dengan berbagai dokumen berisi informasi keberadaan Soekarno,
peralatan menulis, seperti mesin ketik yang pernah digunakan Soekarno, dan
berbagai uang lama. Edi pernah berdagang uang kuno dan barang antik di Jakarta
sebelum menjadi juru pelihara di Wisma Ranggam. Berbagai dokumen yang
mengisahkan riwayat Wisma Ranggam dan Soekarno banyak diketik dan ditulis
tangan oleh Edi. Ini mengesankan penanganan arsip dan informasi sejarah yang
belum diperhatikan serius oleh pemerintah. Wisma Ranggam adalah wisma untuk
tamu yang memiliki belasan kamar. Edi memberi nama kamar-kamar tersebut. Kamar
yang pernah ditinggali Soekarno disebut sebagai kamar Soekarno. Salah satu
kamar lain diberi nama kamar Sri Sultan Hamengkubuwono IX karena pernah
digunakan Sri Sultan menginap sewaktu mengunjungi Soekarno. Menurut Edi,
beberapa tahun lalu, Wisma Ranggam pernah direnovasi. Saat beberapa tukang
memasak di kamar Sri Sultan, mereka tiba-tiba lari ketakutan dan keluar dari
kamar karena melihat sosok berperawakan besar. Ini sedikit tidak masuk akal,
tetapi Edi banyak mengisahkan pengalaman seperti itu selama merawat Wisma
Ranggam. Di bagian depan Wisma Ranggam terdapat sebuah tugu besar yang
dikelilingi tugu yang sama bentuknya, tetapi jauh lebih kecil, sebanyak lima
buah. Menurut Edi, itu tugu peringatan yang dibuat Hatta tahun 1950-an. Tugu
itu dimaksudkan sebagai penanda kebebasan bangsa ini dari cengkeraman Belanda.
Pesanggrahan Menumbing Jalan di depan Wisma Ranggam merupakan jalur menuju
Pesanggrahan Menumbing. Tak beberapa lama melewati jalan menanjak, kami tiba di
Pesanggrahan Menumbing yang memiliki keindahan panorama Pulau Bangka. Dari
pesanggrahan itu tampak pantai yang mengitari Pulau Bangka di sisi selatan dan
barat. Beberapa lubang tanah memutih tampak di sisi utara yang merupakan daerah
pertambangan timah. Di sisi selatan tampak hijau dan merupakan daerah berjarak
paling dekat dengan garis pantai. Pesanggrahan Menumbing dirawat oleh juru
pelihara Sutejo. Pesanggrahan ini jauh lebih tertata, rapi, dan bersih
dibandingkan dengan Wisma Ranggam. Berbagai dokumen informasi juga dirancang
lebih bagus. Sutejo merupakan cucu dari Djojosumarto yang pertama kali menjadi
pembantu Soekarno di Menumbing. Pada waktu diasingkan di Menumbing, Soekarno
hanya bertahan beberapa hari dan minta dipindahkan ke Wisma Ranggam. Tidak
banyak dikisahkan tentang apa yang dilakukan Soekarno di Menumbing. Sutejo
sempat menunjukkan warisan yang ia peroleh secara turun-temurun dari kakeknya
berupa uang kertas Rp 1.000 bergambar Soekarno yang bisa melengkung sendiri
ketika ditaruh di atas telapak tangan kanan seseorang. Anehnya, uang kertas itu
juga bisa melayang sendiri ke telapak tangan orang tertentu, kemudian jatuh ke
telapak tangan sebelahnya. Ada rajah berhuruf Arab pada uang tersebut. Sutejo
meyakini ada suatu energi yang mengendap di selembar uang kertas tersebut yang
bereaksi terhadap energi orang-orang yang menaruh di atas telapak tangan kanan.
Sutejo juga menunjukkan dua ulat belang berukuran kecil yang bertengger di
dahan kecil dua pohon cemara di dalam pot. Ular itu hanya berdiam diri di situ
dan tidak pernah mengganggu pengunjung. Pesanggrahan Menumbing memiliki sekitar
30 kamar. Salah satunya kamar yang pernah disinggahi Soekarno. Tidak sembarang
orang dapat menempati kamar Soekarno karena dikeramatkan. Di kamar Soekarno
tercantum berbagai informasi terkait dengan pergerakan kemerdekaan dan
aktivitas Soekarno selama masa pengasingan di Muntok. Pesanggrahan Menumbing dibangun
pada masa pemerintahan Hindia Belanda sebagai tempat peristirahatan perusahaan
pertambangan timah pada waktu itu. Kini, bangunan tersebut menjadi bagian dari
sejarah perjuangan bangsa ini
0 Komentar