KERAJAAN KEDIRI




KERAJAAN KEDIRI

Berdirinya Kerajaan Kediri tidak bisa dilepaskan dari adanya Kerajaan Medang Kamulan. Pada masa raja Airlangga, Airlangga memutuskan untuk membagi kerajaan menjadi dua. Hal ini dilakukan oleh Airlangga dengan tujuan agar tidak terjadi pertikaian antar keturunannya. Tugas untuk membagi kerajaan diserahkan kepada Mpu Bharada. Kerajaan Janggala di sebelah timur diberikan kepada putra sulungnya yang bernama Garasakan (Jayengrana), dengan ibu kota di Kahuripan (Jiwana) meliputi daerah sekitar Surabaya sampai Pasuruan, dan Kerajaan Panjalu (Kediri) di sebelah barat diberikan kepada putra bungsunya yang bernama Samarawijaya (Jayawarsa), dengan ibu kota di Kediri (Daha).

Keadaan politik pemerintahan dan keadaan masyarakat di Kediri ini dicatat dalam berita dari Cina, yaitu dalam kitab Ling-Wai-tai-ta yang ditulis oleh Chou K’u-fei pada tahun 1178 dan pada kitab Chu-fan-chi yang disusun oleh Chaujukua pada tahun 1225. Kitab itu melukiskan keadaan pemerintahan dan masyarakat zaman Kediri. Kitab itu menggambarkan masa pemerintahan Kediri termasuk stabil dan pergantian takhta berjalan lancar tanpa menimbulkan perang saudara.

Di dalam menjalankan pemerintahannya, raja dibantu oleh tiga orang putranya dan empat pejabat kerajaan (rakryan), ditambah 300 pejabat sipil (administrasi) dan 1.000 pegawai rendahan. Prajuritnya berjumlah 30.000 orang dengan mendapat gaji dari kerajaan. Raja berpakaian sutra, memakai sepatu kulit, perhiasan emas, dan rambutnya disanggul ke atas. Jika bepergian, raja naik gajah atau kereta dengan dikawal oleh 500–700 prajurit. Pemerintah sangat memperhatikan keadaan pertanian, peternakan, dan perdagangan. Pencuri dan perampok jika tertangkap dihukum mati.

Raja Kerajaan Kediri antara lain:
Rakai Sirikan Sri Bameswara
Raja Jayabaya
Raja Sarweswara
Sri Aryyeswara
Sri Gandra
Kameswara
Kertajaya

Raja Jayabaya

Pada prasasti Ngantang dijelaskan bahwa Raja Jayabaya memberikan hadiah kepada rakyat desa Ngantang berupa tanah perdikan. Hadiah diberikan kepada rakyat tersebut karena telah membantu raja ketika terjadi peperangan dengan Jenggala.

Kerajaan Kediri mencapai puncak pada masa Raja Jayabaya (1130-1158). Pada masa ini para ahli sastra mendapatkan perlindungan dalam pengembangan kreatifitas untuk menghasilkan karya sastra yang bermutu. Penulisan karya sastra yang bercorak Hindu-Buddha mengalami perkembangan yang sangat pesat pada masa Kerajaan Kediri.

Salah satu karya sastrayang muncul pada zaman Kerajaan Kediri adalah kitab Ghatotkacasraya yang dikarang oleh Mpu Panuluh. Pada kitab Ghatotkacasraya munculnya tokoh Punakawan Dalam karya sastranya yang berjudul Ghatotkacasraya, Mpu Panuluh menampilkan unsur punakawan yang berjumlah tiga, yaitu Punta, Prasanta dan Juru Deh sebagai hamba atau abdi tokoh Abhimanyu, putra Arjuna. Dalam karyanya tersebut, Mpu Panuluh masih menggambarkan tokoh punakawan sebagai tokoh figuran yang kaku dan porsi cerita terbesar masih dipegang oleh tokoh-tokoh utama.

Karya sastra lainnya yaitu Kitab Bharatayudha yang ditulis Mpu Sedah kemudian dilanjutkan oleh Mpu Panuluh. Kakawin Bharatayudha yang menceritakan kemenangan Pandawa melawan Kurawa, sebagai bandingan terhadap kemenangan Panjalu atas Janggala.

Runtuhnya Kerajaan Kediri


Raja terakhir dari Kerajaan Kediri adalah Kertajaya atau Dandang Gendis (1190-1222). Pada masa pemerintahannya, keadaan menjadi tidak stabil, terutama konflik antara raja dan kaum Brahmana. Konflik tersebut disebabkan oleh banyaknya kebijakan-kebijakan raja yang hendak mengurangi hak-hak kaum Brahmana. Konflik itu mencapai puncaknya dengan terjadinya peperangan antara Pasukan Kediri yang menyerang Tumapel yang terdiri dari rakyat Tumapel, kaum Brahmana yang dipimpin oleh Ken Angrok (dibaca: Ken Arok). Kerajaan ini pada tahun 1222 dikalahkan oleh Ken Angrok dari Singhasasri dalam pertempuran di Ganter. Dengan demikian, berakhirlah kekuasaan Kerajaan Panjalu (Kediri). Kemudian Ken Arok mendirikan kerajaan baru yaitu Kerajaan Singosari.

Peninggalan Kerajaan Kediri
Peninggalan Kerajaan Kediri

Karya sastra peninggalan Kerajaan Kediri antara lain:
Kitab Wertasancaya, yang berisi petunjuk tentang cara membuat syair yang baik. Kitab itu ditulis oleh Empu Tan Akung.
Kitab Smaradhahana, berupa kakawin yang digubah oleh Empu Dharmaja. Kitab itu berisi pujian kepada raja sebagai seorang titisan Dewa Kama. Kitab itu juga menyebutkan bahwa nama ibu kota kerajaannya adalah Dahana.
Kitab Lubdaka, ditulis oleh Empu Tan Akung. Kitab itu berisi kisah Lubdaka sebagai seorang pemburu yang mestinya masuk neraka. Karena pemujaannya yang istimewa, ia ditolong dewa dan rohnya diangkat ke surga.
Kitab Kresnayana karangan Empu Triguna yang berisi riwayat Kresna sebagai anak nakal, tetapi dikasihi setiap orang karena suka menolong dan sakti. Kresna akhirnya menikah dengan Dewi Rukmini.
Kitab Samanasantaka karangan Empu Managuna yang mengisahkan Bidadari Harini yang terkena kutuk Begawan Trenawindu.


Menjadi kerajaan Hindu terbesar di Indonesia pada masa itu menjadikan Kediri memiliki kekuasaan yang cukup tinggi. Rakyat Kediri pun hidup dengan makmur dan damai, terlebih lagi dengan kebijakan pemimpinnya yang membawa rakyat pada kedamaian dan keamanan.

Sektor pertanian dan perkebunan adalah mata pencaharian utama yang menjadi andalan rakyat Kediri, terutama pada masa pemerintahan Prabu Jayabaya. Hingga saat ini daerah bekas berdirinya Kediri pun masih banyak ditemui lahan pertanian dan perkebunan yang menjadi komoditas masyarakat setempat.


Bagi Anda yang ingin melihat peninggalan-peninggalan kerajaan besar ini pun masih bisa dijumpai di beberapa daerah, khususnya Kediri.

Posting Komentar

0 Komentar