Belanda Ingkar Janji Demi Ambisi ( Agresi Militer Belanda 1 21 Juli 1947 )


Saat Belanda Mengingkari Perjanjian Linggarjati




Agresi Militer Belanda 1 – Setelah merdeka pada tahun 1945, perjuangan Indonesia belum berhenti sampai disini, khususnya perlawanannya terhadap kolonial Belanda. Dimana pada tahun 1947 atau tepat setelah 2 tahun Indonesia merdeka, terdapat kejadian besar yang menjadikan perang senjata antara Indonesia dan Belanda kembali memanas.

Kegiatan tersebut kerap disebut dengan nama Agresi Militer Belanda 1. Agresi Militer yang juga dikatakan Operatie Product merupakan tindakan agresi yang dilakukan oleh Tentara Militer Belanda di wilayah NKRI terutama di daerah pulau Jawa dan Sumatera.

Operasi yang dilancarkan pada 21 Juli 1947 sampai 5 Agustus 1947 ini adalah bagian dari aksi polisionil pihak Belanda dalam mempertahankan pemahamannya terhadap hasil yang diperoleh dari perjanjian Linggarjati.
Dalam sejarah Indonesia, Agresi Militer Belanda 1 ini merupakan tindakan dari kolonial Belanda yang sangat fatal dan tak bisa dibiarkan begitu saja.

Dini hari tanggal 21 Juli 1947, tepat hari ini 71 tahun lalu, ibu kota Republik lebih ramai dari biasanya. Belanda mengerahkan ratusan serdadu untuk mengambilalih paksa daerah-daerah di wilayah Sumatra dan Jawa yang, menurut kesepakatan sebelumnya, merupakan wilayah Republik Indonesia.

Penjajah yang kembali datang ke Nusantara itu melancarkan aksi brutalnya: Agresi Militer Belanda I.

Ini adalah aksi polisionil resmi Belanda sejak Indonesia merdeka pada 17 Agustus 1945. Letnan Gubernur Jenderal Johannes van Mook menyebut aksi militer ini dengan istilah “Operatie Product”. Van Mook menegaskan bahwa hasil Perundingan Linggarjati yang resmi disepakati pada 25 Maret 1947 tidak berlaku lagi.

Belanda punya perbedaan tafsir terkait status kemerdekaan RI dan juga hasil Perundingan Linggarjati sehingga agresi militer pun dilakukan. Dan ini bukan yang terakhir. Nantinya, kendati Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (DK-PBB) ikut turun tangan, Belanda kembali menggencarkan operasi militernya setelah aksi tanpa etika yang pertama ini.


Tak Rela Kehilangan Jajahan

 Pada 1942, Belanda harus meninggalkan wilayah luas yang telah sangat lama dikangkanginya karena kekalahan dari Jepang dalam Perang Asia Timur Raya atau salah satu fragmen penting Perang Dunia II. Bumi pertiwi gantian dijajah Jepang hingga pada 17 Agustus 1945 Sukarno-Hatta menyatakan kemerdekaan Indonesia.

Baru beberapa hari rakyat Indonesia menikmati alam merdeka, penjajah dari Barat datang lagi. Belanda yang kali ini beralih-rupa dengan nama NICA (Netherland Indies Civil Administration) membonceng pasukan Sekutu selaku pemenang Perang Asia Timur Raya.


Tanggal 23 Agustus 1945, pasukan Sekutu dan NICA mendarat di Sabang, Aceh. Selanjutnya, mereka tiba di Jakarta pada 15 September 1945 (Akhmad Iqbal, Perang-perang Paling Berpengaruh di Dunia, 2010:139). Selain membantu Sekutu untuk melucuti tentara Jepang yang tersisa, NICA di bawah pimpinan van Mook atas perintah Kerajaan Belanda membawa kepentingan lain.

Van Mook bertugas menjalankan pidato Ratu Wilhelmina terkait staatkundige concept atau konsepsi kenegaraan di Indonesia. Pidato pada 6 Desember 1942 melalui siaran radio itu menyebut bahwa di kemudian hari akan dibentuk sebuah persemakmuran antara Kerajaan Belanda dan Hindia (Indonesia) di bawah naungan Kerajaan Belanda (Efendi & Doloksaribu, Revolusi Kemerdekaan Indonesia 1945-1950, 2005: 298).


Namun, van Mook harus gigit jari karena respons rakyat Indonesia tidak seperti yang dibayangkannya. Indonesia kini sudah menjadi negara berdaulat, punya tatanan pemerintahan yang berfungsi nyata, serta didukung puluhan juta rakyat yang siap mengorbankan jiwa dan raga demi mempertahankan kemerdekaan.

Bahwa ada orang-orang Indonesia yang menginginkan kembali kekuasaan Belanda itu juga benar. Namun kenyataan yang gamblang, bahwa rakyat yang dulunya merupakan kawula Hindia Belanda juga menginginkan kemerdekaan, sungguh tidak bisa disangkal van Mook—betapa pun ia mencoba menutup-nutupinya.



Meskipun sempat digelar perundingan, namun van Mook tetap tidak rela kehilangan wilayah jajahan yang dulu menghidupi Belanda selama beratus-ratus tahun lamanya. Ia pun mempersiapkan serangan serentak untuk menduduki wilayah-wilayah vital.


Silang Tafsir Berakhir Getir Kemerdekaan adalah hak segala bangsa, dan itulah yang telah dinyatakan lewat Proklamasi 17 Agustus 1945. Berdasarkan proklamasi kemerdekaan tersebut, Indonesia menjadi negara berdaulat dan berhak mempertahankan kedaulatannya atas seluruh wilayah bekas wilayah Hindia Belanda (G.J. Wolhoff, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Republik Indonesia, 1960: 87).

Di sisi lain, Belanda juga merasa masih berhak memiliki bekas wilayah jajahannya dulu, secara de jure atau berdasarkan aturan hukum yang berlaku. Dilihat dari segi hukum internasional, pendudukan suatu negara dalam perang memang tidaklah mengubah kedudukan hukum wilayah yang (sebelumnya) diduduki (T. Suherly, Sejarah Perang Kemerdekaan Indonesia, 1971: 8).

  Atas dasar itulah, dengan menyerahnya Jepang, Belanda merasa berhak menguasai kembali wilayah bekas jajahannya meskipun Indonesia telah memproklamirkan kemerdekaan. Apalagi Belanda sudah bersepakat dengan Sekutu, dalam hal ini adalah Inggris, melalui Civil Affairs Agreement yang digelar di Chequers, dekat London, pada 24 Agustus 1945, atau sepekan setelah proklamasi kemerdekaan RI.

Dalam kesepakatan itu, Inggris yang akan mengurusi tawanan perang dan melucuti tentara Jepang memperbolehkan Belanda (NICA) ikut serta untuk menduduki wilayah Indonesia, terutama bagian barat (S.A. Djamhari, Sejarah Nasional Indonesia Edisi Pemutakhiran: Zaman Jepang dan Zaman Republik, 2011: 27). Inggris berjanji akan menyerahkan wilayah Indonesia kepada Belanda pada 30 November 1945.

 Sementara untuk wilayah Indonesia bagian timur, Belanda akan masuk bersama pasukan Australia yang merupakan sekutu setia Inggris, dan selanjutnya menerima kekuasaan atas kawasan tersebut. Kehendak itu tentu saja bertentangan dengan kedaulatan yang telah dicapai oleh rakyat Indonesia dan berujung pada terjadinya aksi militer Belanda.





Ingkar Janji Demi Ambisi 

Perjanjian resmi pertama yang dilakukan Belanda dan Indonesia setelah kemerdekaan adalah Perundingan Linggarjati. Van Mook bertindak langsung sebagai wakil Belanda, sedangkan Indonesia mengutus Soetan Sjahrir, Mohammad Roem, Susanto Tirtoprojo, dan A.K. Gani. Inggris sebagai pihak penengah diwakili oleh Lord Killearn.

Perundingan ini menghasilkan sejumlah kesepakatan: (1) Belanda mengakui Jawa dan Madura sebagai wilayah RI secara de facto; (2) Belanda meninggalkan wilayah RI paling lambat 1 Januari 1949; (3) Belanda dan Indonesia sepakat membentuk negara RIS (Republik Indonesia Serikat); (4) RIS menjadi negara persemakmuran di bawah naungan negeri Belanda (Ide Anak Agung Gde Agung, Persetujuan Linggarjati, 1995:164).

Isi kesepakatan ini tentu saja merugikan Indonesia karena pada akhirnya nanti tetap saja menjadi bawahan Belanda, dan sempat terjadi pro-kontra. Namun, para petinggi pemerintahan RI kala itu terpaksa sepakat karena bagaimanapun juga, jalan damai adalah pilihan utama, serta belum cukup kuatnya angkatan perang yang dimiliki Indonesia.

  Namun, realisasi di lapangan tidak sepenuhnya berjalan mulus. Beberapa kali pasukan Belanda berulah dan memicu bentrokan di sejumlah daerah. Hingga akhirnya, tanggal 15 Juli 1947, van Mook mengeluarkan ultimatum agar RI menarik mundur pasukan sejauh 10 kilometer dari garis demarkasi yang telah disepakati (Abdul Haris Nasution, Sekitar Perang Kemerdekaan Indonesia, 1991:439).

Kehendak Belanda tersebut tentu saja ditolak oleh pemerintah RI. Van Mook semakin murka dan pada 20 Juli 1947 ia menyatakan melalui siaran radio bahwa Belanda tidak terikat lagi pada hasil Perundingan Linggarjati. Kurang dari 24 jam setelah itu, Agresi Militer Belanda I pun dimulai.


Jalan Terjal Demi Pengakuan Resmi Pemerintah RI melaporkan agresi itu kepada PBB bahwa Belanda telah melanggar Perundingan Linggarjati. PBB langsung merespons dengan mengeluarkan resolusi tertanggal 1 Agustus 1947 yang isinya menyerukan agar konflik bersenjata dihentikan. PBB bahkan mengakui eksistensi RI dengan menyebut nama “Indonesia”, bukan “Netherlands Indies” atau “Hindia Belanda” dalam setiap keputusan resminya.

Desakan PBB dan dunia internasional membuat nyali Belanda ciut. Tanggal 15 Agustus 1947, pemerintah Kerajaan Belanda menyatakan akan menerima resolusi DK-PBB untuk menghentikan agresi militernya .
Gencatan senjata memang akhirnya tercipta, tapi hanya untuk sementara. Belanda kembali mengingkari janji dalam perjanjian yang disepakati berikutnya dengan menggencarkan operasi militer yang lebih besar pada 19 Desember 1948. Inilah yang dikenal dengan Agresi Militer Belanda II.

Setelah melalui berbagai polemik yang berpuncak pada Serangan Umum 1 Maret 1949 dan semakin membuka mata dunia bahwa Indonesia masih ada dan sanggup berdiri sendiri sebagai negara merdeka, Kerajaan Belanda akhirnya mengakui kedaulatan RI secara penuh pada 27 Desember 1949.


Peran Serta Dewan Keamanan PBB


peran serta dewan keamanan pbb
                                                        Dewan Keamanan PBB


Melihat tindakan yang dilakukan Belanda sudah melewati batas dan melanggar hukum secara fatal, Indonesia resmi melaporkan Agresi Militer Belanda 1 ini ke Dewan Keamanan PBB.

Dalam laporannya Indonesia juga menyatakan jika Belanda sudah melanggar perjanjian Linggarjati yang notabennya sudah disaksikan oleh dunia internasional.

Dalam waktu singkat Agresi Militer Belanda ini mendapat kecaman dari dunia internasional, bahkan Inggris pun ikut mengecam dengan tidak lagi menyetujui segala macam tindakan penyelesaian masalah menggunakan senjata atau secara militer.
Pada 3 Juli 1947, Agresi Militer Belanda 1 untuk pertama kalinya masuk pada agenda sidang Dewan Keamanan PBB.

Hal ini terjadi lantaran dorongan dari pemerintah Australia dan India yang termasuk anggota PBB. Dari sidang tersebut dihasilkan sebuah Resolusi No. 27 tanggal 1 Agustus 1947 yang berisikan seruan pada kedua belah pihak agar menghentikan konflik bersenjata tersebut.

Secara de fact pemerintah RI diakui oleh Dewan Keamanan PBB, dan ini dibuktikan dengan penggunaan nama Indonesia pada resolusi tersebut, bukan lagi nama Netherland Indies.

Dewan Keamanan PBB menamai konflik yang terjadi antara Republik Indonesia dengan Belanda tersebut The Indonesian Question. Nah berikut adalah resolusi yang didalamnya membahas tentang konflik antara Belanda dengan Indonesia.
  1. Resolusi No. 27 tanggal 1 Agustus 1947
  2. Resolusi No. 30 dan 32 tanggal 25 Agustus 1947
  3. Resolusi No. 36 tanggal 1 November 1947
  4. Resolusi No. 67 tanggal 28 Januari 1947.


Dengan desakan yang dilancarkan oleh Dewan Keamanan PBB, akhirnya Belanda mengakhiri agresi militernya dengan alasan demi resolusi yang telah dikeluarkan oleh Dewan Keamanan PBB.

Mulai dari diterimanya resolusi yang diberikan Dewan Keamanan PBB tersebut, tepat pada 17 Agustus 1947 pihak Belanda dan pemerintah Republik Indonesia melakukan gencatan senjata.

Setelah gencatan senjata dilakukan, kemudian pada 25 Agustus 1947 Dewan Keamanan PBB pun membentuk sebuah komite yang nantinya akan berfungsi sebagai penghubung serta penengah konflik antara Belanda dan Indonesia.

Awalnya komiter tersebut hanya berfungsi sebagai Committee of Good Officer for Indonesia (Komite Jasa Baik Untuk Indonesia), namun kemudian lebih sering dikenal dengan nama Komisi Tiga Negara (KTN).

Penamaan ini dikarenakan anggota dari komite tersebut hanya 3 negara, yakni Australia (ditunjuk oleh Indonesia) yang diwakilkan oleh Richard C. Kirby, Belgia (ditunjuk oleh Belanda) yang diwakili oleh Paul van Zeeland dan Amerika (ditunjuk sebagai pihak netral) yang diwakili oleh Dr. Frank Graham.

Jadi bisa dikatakan jika Agresi Militer Belanda 1 berhasil diselesaikan Indonesia dengan jalan melalui peradilan dari Dewan Keamanan PBB.

Posting Komentar

0 Komentar