Indonesia Menuju Peristiwa Berdarah Gestok



Pemilihan umum pertama yang dilakukan RI pada 1955 memberikan hasil yang amat memengaruhi perkembangan bangsa dalam tahun 1960-an. Khususnya keberhasilan PKI menjadi pemenang keempat di belakang PNI, Masyumi, dan Nahdlatul Ulama (NU).

Ini mengherankan, karena pada September 1948 PKI melakukan pengkhianatan terhadap perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia dengan melakukan pemberontakan di Madiun yang meluas ke Jawa Timur dan Jawa Tengah, ketika RI setiap saat dapat diserang Belanda. Akan tetapi tujuan pemberontakan merebut pimpinan RI sebagai misi Musso yang baru kembali dari Uni Soviet tidak tercapai. Tentara Nasional Indonesia (TNI) bersama rakyat berhasil mengalahkan PKI dan pendukungnya dalam dua bulan.

Dalam Perang Kemerdekaan II yang berkobar setelah agresi Belanda pada 19 Desember 1948, pasukan-pasukan PKI yang lolos itu turut melawan Belanda. Oleh sebab itu, Kolonel Gatot Soebroto sebagai pimpinan perlawanan di Jawa Tengah merehabilitasi anggota pasukan PKI tersebut. Maka, pada 1950 kita jumpa pasukan Maladi Yusuf yang inti pasukan PKI dalam pemberontakan Madiun.

Maka PKI lolos dari penghancuran total ketika mengkhianati perjuangan kemerdekaan, tetapi rehabilitasi itu tidak menghilangkan kecurigaan dan kebencian rakyat yang timbul karena tindakan dan perilakunya ketika dalam pemberontakan Madiun, PKI membunuh banyak orang dan pejabat RI, khususnya umat Islam. Kecurigaan itu meningkat ketika PKI kembali sebagai organisasi yang sah.

Dengan bantuan induknya di Uni Soviet dan RRT pimpinan PKI makin memperbesar peran partainya dengan membentuk organisasi di semua daerah dan aspek kehidupan masyarakat, SOBSI di perburuhan, BTI di pertanian, Sarbupri di kalangan perkebunan, SBKA di organisasi kereta api, CGMI di kalangan mahasiswa, dan lainnya.

Bersamaan dengan itu terjadi perubahan pada sikap Presiden Sukarno. Pada 1948, ketika PKI berontak, Bung Karno dengan tegas menantangnya dengan menyerukan kepada rakyat untuk memilih antara Bung Karno dan PKI. Akan tetapi, setelah 1950 ketika PKI makin kuat, ditambah oleh seringnya kunjungan Bung Karno ke Moskow, beliau tidak lagi menganggap PKI sebagai masalah bagi Indonesia.

Bung Karno sejak 1956 mengembangkan konsep politik Nasakom (Nasionalisme-Agama-Komunisme), dan tidak memperhatikan bahwa hal itu tidak sesuai dengan Dasar Negara Pancasila yang beliau sendiri sumbangkan kepada Negara Republik Indonesia ketika kemerdekaan diproklamasikan pada 1945.

Perubahan sikap Bung Karno besar sekali pengaruhnya terhadap kondisi dan perkembangan bangsa waktu itu. Penempatan PKI sebagai salah satu kekuatan utama dalam perjuangan bangsa menjadikannya peserta dalam kabinet pemerintah. Hal ini menjadikan PKI dan organisasi bawahannya makin berani menunjukkan dirinya, menjadi sombong dan arrogan.

Setelah keberhasilan Indonesia mengatasi Belanda soal Irian Barat, Presiden Sukarno bukannya mengadakan konsolidasi ke dalam dan memperbaiki kondisi ekoonomi yang jauh dari baik. Melainkan melakukan Konfrontasi terhadap Malaysia. Hal ini memberikan keuntungan untuk PKI yang berlipat. Pertama, pulau Jawa makin kosong dari pasukan TNI, memungkinkan PKI memperkuat posisinya di daerah yang amat menentukan untuk perebutan kekuasaan negara.




Kedua, ekonomi nasional yang makin tertekan karena harus mendukung konfrontasi menyebabkan kemiskinan makin memburuk, satu kondisi yang menguntungkan PKI. Maka pada tahun 1960-an, PKI makin agresif dalam usahanya menguasai Indonesia. Berkali-kali Presiden Sukarno menegor pimpinan TNI-AD yang beliau nilai kurang tegas mendukung konsep Nasakom dan menyebut TNI-AD communisto-phobi.




Sikap pimpinan TNI-AD timbul dari pendapat yang bukannya tidak mau patuh dan taat kepada pimpinan Presiden, tapi TNI-AD berpendapat harus melaksanakan Sapta Marga yang sejak 1952 dengan persetujuan Presiden Sukarno menjadi Pedoman Sikap TNI seluruhnya. Dalam Sapta Marga Marga kesatu mengatakan bahwa para anggota TNI adalah Warga Negara Kesatuan RI yang bersendikan Pancasila.

Marga kedua menegaskan bahwa anggota TNI adalah Patriot Indonesia, Pendukung serta Pembela Ideologi Negara yang bertanggung jawab dan tidak kenal menyerah. Karena itu bagi TNI-AD sukar sekali kalau diminta mendukung Konsep Politik Nasakom. Akan tetapi, itu tidak mengurangi kepatuhannya kepada Presiden Sukarno.

Masalah lain yang rumit adalah bahwa posisi PKI sangat tergantung Presiden Sukarno. Selama beliau ada, perwujudan ambisi PKI aman dari tindakan TNI-AD. Padahal mulai tampak adanya masalah yang bersangkutan dengan kesehatan beliau. Tim dokter yang dikirim RRT menemukan hal-hal yang cukup mengkhawatirkan.

Rupanya, dua hal itu amat memengaruhi perkembangan keadaan dan pengambilan keputusan pimpinan PKI dan Moskow serta Beijing. Harus ada tindakan menentukan sebelum Presiden Sukarno tidak mampu lagi menguasai pimpinan RI. Maka gerak intelijen adalah makin menimbulkan kekacauan dalam masyarakat untuk mendukung perebutan kekuasaan.

Juga unsur-unsur TNI yang memihak PKI makin diperkuat dan disiapkan untuk melakukan pemukulan. Adalah jelas bahwa perebutan kekuasaan memerlukan tindakan militer. PKI juga mengusulkan kepada Presiden Sukarno untuk membentuk Angkatan Kelima, terdiri dari kaum buruh dan petani.

Presiden Sukarno mengadakan perubahan penting dalam kepemimpinan TNI dan Kepolisian. Setiap Angkatan dan Polri menjadi kementerian tersendiri yang masing-masing langsung di bawah Presiden. Maka ada Menteri TNI-AD yang sekali gus menjadi Panglima TNI-AD, demikian pula untuk TNI-AL, TNI-AU, dan Polri. Maka dengan sendirinya kementerian pertahanan hilang fungsinya.

Usul PKI yang disetujui Presiden Sukarno membentuk Angkatan Kelima yang terdiri dari kalangan Buruh dan Tani dengan dipersenjatai yang akan didapat dari RRT. Satu usul yang jelas hendak memperlemah posisi TNI-AD.

Demo unsur PKI terhadap kedutaan besar Inggeris disertai gerakan dalam gedung menemukan dokumen yang dinamakan Dokumen Gilchrist. Dalam dokumen itu disebut adanya local Army friends yang berpihak pada Inggeris-AS si Nekolim. Organisasi intelijen BPI yang dipimpin dr. Subandrio melaporkan kepada Presiden Sukarno bahwa di TNI-AD ada Dewan Jenderal yang merencanakan coup d'etat atau perebutan kekuasaan.

Sebab kemudian terbukti bahwa yang disebut Dokumen Gilchrist adalah buatan KGB, intelijen Uni Soviet. Dan Dewan yang ada di TNI-AD adalah Dewan Jabatan dan Kepangkatan (Wanjak) dan Dewan Jabatan dan Kepangkatan Tinggi (Wanjakti), yaitu dewan-dewan yang mengurus kenaikan jabatan dan pangkat Perwira Menengah Pilihan dan Perwira Tinggi. Hal ini dilaporkan Jenderal Yani sebagai Menpangad kepada Presiden Sukarno. PKI makin marah kepada TNI-AD yang menolak adanya Angkatan Kelima.

Pada Desember 1964, penulis mendapat cuti dari pendidikan yang ditempuhnya di Jerman, mengatakan kepada istrinya: melihat dan merasakan keadaan masyarakat, pasti akan terjadi sesuatu di Indonesia. Semoga saya sudah kembali di Indonesia bersama keluarga kalau ada sesuatu yang terjadi.

Dua minggu setelah kembali dari Jerman dan dalam keadaan cuti di Bandung, penulis pada 1 Oktober 1965 pagi hari dikejutkan oleh tayangan TVRI yang menyiarkan pengumuman Dewan Revolusi, satu badan yang tidak ada sebelumnya.

Kemudian adanya berita tentang diambil atau diculiknya Menteri Pangad Letnan Jenderal A. Yani, beserta lima pembantunya, yaitu Deputi Administrasi AD Mayor Jenderal Suprapto, Deputi Khusus AD Mayor Jenderal M.T. Haryono, Asisten Intelijen AD Mayor Jenderal S.Parman, Asisten Logistik AD Brigadir Jenderal Pandjaitan, dan Inspektur Kehakiman Brigadir Jenderal Sutoyo.

Usaha untuk mengambil Jenderal A.H. Nasution gagal karena tindakan heroik dan cerdik Letnan Satu Czi Pierre Tendean dengan mengatakan kepada para penculik bahwa dialah Jenderal Nasution, dan ia dibawa para penculik. Semuanya dibunuh oleh penculik.

Ternyata pasukan yang menculik berasal dari pasukan Cakra Birawa, pasukan pengawal Presiden. Adalah batalyon di bawah pimpinan Letkol Untung yang menjadi induk pasukan-pasukan penculik. Diketahui bahwa Untung sekurang-kurangnya bersimpati dengan PKI dan malahan termasuk unsur TNI yang menjadi hasil garapan Biro Khusus PKI. Gerakan yang dilakukan pasukan Cakra Birawa itu bukan karena perintah pimpinan Resimen Cakra Birawa, tapi adalah karena perintah pihak yang dekat dengan Untung, yaitu Biro Khusus PKI yang dikendalikan pimpinan PKI D.N. Aidit.

Maka dapat disimpulkan bahwa pemicu Gerakan 30 September 1965 adalah PKI. G-30-S bukan masalah internal TNI-D, melainkan usaha pimpinan PKI melikuidasi pimpinan TNI-AD dalam agendanya merebut kekuasaan atas NKRI.

Kalau kemudian ada pendapat bahwa G-30-S merupakan masalah internal AD dan PKI menjadi korban dalam penyelesaian masalah itu, itu jelas merupakan usaha untuk menyelamatkan PKI agar dapat bangkit kembali. Seperti ketika di tahun 1950 ada pemutarbalikan pemberontakan Madiun dengan mengatakan bahwa Peristiwa Madiun September 1948 adalah provokasi Kabinet Hatta.



Posting Komentar

0 Komentar