Jebakan Maut Sebuah Kota



Bomber B-2 Amerika Serikat menjatuhkan dua bom penghancur bungker, Jumat dini hari pekan lalu. Bom yang dipandu satelit itu masing-masing berbobot 2 ton lebih. Keduanya ''mendarat'' di menara telekomunikasi Irak, di tepi sebelah timur Sungai Tigris. Kedua mesin penghancur itu diluncurkan untuk mengganggu komunikasi antara Presiden Irak Saddam Hussein dan para pemimpin militernya. Bom juga menghantam gedung telepon bertingkat tujuh.
Beberapa jam sebelumnya, pesawat-pesawat tempur Amerika dan Inggris lebih dulu menghajar Baghdad. Sejumlah gedung rontok. Lainnya berkobar dimakan api. Serangan juga menghancurkan kawasan permukiman elite Al-Mansour di jantung kota Baghdad. Menteri Penerangan Irak Mohammad Sa'id al-Sahaf mengatakan, serangan bom berkelanjutan itu menewaskan tujuh orang dan mencederai 92 lainnya.
Di luar Baghdad, pasukan Amerika mulai mengambil posisi mengepung kota. Mereka terdiri dari Divisi Infanteri ke-3 Angkatan Darat, Divisi Korps Marinir ke-1, dan Divisi Lintas Udara ke-101. Sebanyak 1.000 personel pasukan para dari Brigade Lintas Udara ke-173 diterjunkan di wilayah pegunungan di Irak Utara yang dikuasai suku Kurdi.
Penerjunan itu untuk menyiapkan jalan bagi datangnya pasukan tempur tambahan dari arah utara dalam waktu dekat. Mereka juga akan menyiapkan lapangan terbang di wilayah itu biar bisa didarati pesawat pengangkut militer raksasa milik Amerika. Burung-burung besi itu akan membawa Divisi Infanteri Pertama Amerika lengkap dengan tank M1A1 Abrams dan kendaraan tempur lapis baja Bradley.
''Pertempuran tentara Amerika dan Inggris melawan pasukan Irak dari satuan Garda Republik sudah dekat,'' kata pemimpin Angkatan Darat Inggris, Mike Jackson. Sehari sebelumnya, Menteri Pertahanan Irak Sultan Hashim Ahmed menegaskan, pasukan Amerika dan Inggris bisa saja mengepung Baghdad dalam lima sampai 10 hari mendatang. ''Kelak mereka tahu, Baghdad tak bisa dikalahkan,'' ujarnya.
Jika jadi masuk Baghdad, pasukan Amerika dan Inggris bakal terlibat dalam perang kota. ''Perang itu sungguh kacau dan berantakan,'' kata Jenderal Barry McCaffrey, purnawirawan militer Amerika. ''Amerika bisa kehilangan banyak pasukannya,'' ia menambahkan.
Pasukan Irak tampaknya siap, dan memang mengharapkan terjadinya perang kota. ''Kami biarkan mereka berjalan melintasi padang pasir. Tapi, kami semua sudah siap menanti di kota untuk menyerang mereka,'' kata Wakil Presiden Irak, Taha Yassin Ramadan. Sejauh ini, pasukan Amerika tak mau terpancing oleh strategi Irak mengundang lawan masuk Baghdad dan melakukan perang kota.
Sikap waspada itu bisa dimaklumi. Amerika punya trauma masa lalu cukup mendalam. Beberapa kali mereka terlibat perang kota, dan kalah. Pada akhir 1940-an, Amerika terlibat Perang Korea. Mereka terjebak pertempuran ganas di Seoul. Sekitar 2.000 tentara Amerika tewas, di samping ribuan warga sipil.
Pengepungan tiga pekan di kota Hue selama Perang Vietnam pada 1960-an juga menewaskan 400 Marinir Amerika dan 5.000 warga kota. Pada 1993, 18 tentara Amerika dan lebih dari 1.000 warga sipil tewas dalam pertempuran jalanan di kota Mogadishu, Somalia. Tragedi ini diabadikan dalam film Black Hawk Down yang dibintangi aktor muda Hollywood, Josh Hartnett.
Dalam Perang Teluk 1991, Amerika memang dengan mudah mengalahkan Irak. Tapi, itu di gurun. Pada Perang Teluk sekarang, tujuan mereka adalah mendongkel Saddam Hussein, yang kini lebih memilih ''ngumpet'' di kota.
''Bertempur di kota sangat sulit,'' kata Kolonel Danny McKnight, yang ikut terjun dalam operasi di Mogadishu --karakternya juga dimunculkan di film Black Hawk Down. ''Musuh bisa berada di mana pun. Kita tak tahu dari mana mereka menembak,'' ia menambahkan.
Amerika tak mau mengulangi kekalahan lagi. Operasi Mogadishu dijadikannya sebagai pelajaran sangat berharga. Sebanyak 18.000 tentara diikutkan latihan perang kota, satu di antaranya digelar di Benteng Polk, Louisiana. Mereka digembleng menyusup ke atap markas musuh, menyerbu gedung, dan bermanuver pada malam hari.
Sukses tampaknya tetap akan sangat sulit diraih Amerika, karena tak menguasai medan. Dalam perang kota, teknologi canggih yang dimiliki Amerika, seperti bom cerdas, tak bisa dipakai. Risikonya terlalu tinggi, bisa mengakibatkan kematian massal. Manuver udara dan tank juga sulit dilakukan di kawasan perkotaan. Pesawat-pesawat tempur Amerika dan Inggris tak mungkin terbang rendah, karena berisiko kena tembak.
Padahal, pihak Baghdad diperkirakan sudah memasang ranjau dan menempatkan sejumlah penembak jitunya di berbagai tempat strategis. Warga sipilnya juga dipersenjatai. Plus, harus siap menghadapi pasukan elite yang siap mempertaruhkan nyawanya demi Saddam, Garda Republik. Bodyguard pribadi Saddam ini dibentuk pada masa perang Irak-Iran 1980-an.
Sejak berakhirnya Perang Teluk I, Garda ini berada di bawah pengawasan langsung putra termuda Saddam, Qusay. Garda Republik memiliki enam divisi, masing-masing beranggota sekitar 10.000 personel. Divisi Medina, bermarkas di dekat kota Karbala, sekitar 50 mil barat daya Baghdad, disiapkan untuk menghadapi Divisi Ke-3 Infanteri Angkatan Darat Amerika.
Di dekat kota Kut, Divisi Baghdad, yang dicurigai Amerika bakal menggunakan senjata kimia, akan berhadapan dengan Divisi Pertama Marinir. Di barat Baghdad, dekat kota Ar-Ramadi, ada Divisi Hammurabi. Di dekat kota Baghdad ada Divisi Al-Nida. Dua divisi lainnya terpisah di utara dan selatan Irak.
Di antara divisi-divisi itu, Divisi Medina-lah yang paling terkenal. Kekuatannya sekitar 10.000 personel, 250 tank tipe T-72 dan T-55, 250 kendaraan lapis baja, dan sekitar 60 pucuk meriam lapangan M-109 buatan Amerika. Juga ada rudal antipesawat terbang jenis SA-14 dan SA-16 buatan Rusia. Tapi, bukan persenjataan yang membuat Divisi Medina populer, melainkan kemampuan tempur, disiplin, dan loyalitasnya.
Pasukan Amerika dan sekutunya juga wajib mewaspadai Fedayeen. Tentara nonreguler ini terbukti paling menyulitkan mereka sejauh ini. Semangat tempurnya sungguh tinggi. Mereka juga jago mengelabui lawan. Kekuatan mereka diperkirakan 30.000 sampai 40.000. Anggotanya kebanyakan prajurit muda yang memiliki kekuatan fisik di atas rata-rata prajurit lain.
Fedayeen dibentuk putra Saddam, Uday, di Tikrit pada 1996. Pada awalnya fungsi pasukan ini cuma melindungi presiden. Tapi, beberapa waktu kemudian fungsinya diperbesar, dan tanggung jawabnya diperluas: menangani prajurit yang membelot. Fedayeen cuma menerima perintah dari istana, Saddam, dan Uday, karena tak berada di bawah komando panglima tinggi dan Menteri Pertahanan.
Fedayeen terdiri dari berbagai unit. Di antaranya unit skuadron bunuh diri. Satuan ini siap mati untuk presiden, dalam keadaan apa pun. Fedayeen mempelajari berbagai taktik perang gerilya kota. Setiap anggotanya mahir mengoperasikan berbagai peranti membunuh, dari menembak dengan pistol sampai menggunakan meriam atau mengemudikan tank.
Amatzia Baram, profesor dan mantan komandan batalyon tentara Israel yang lama mempelajari militer Irak, mengatakan bahwa Garda Republik memang dipersiapkan untuk berperang di kawasan-kawasan padat penduduk. ''Mereka menyembunyikan tank-tank di rumah-rumah penduduk,'' tulis Baram di International Herald Tribune.
Baram memperkirakan, tentara Garda Republik akan bersembunyi di rumah-rumah penduduk. ''Mereka tahu, inilah titik lemah Amerika yang berjanji menekan sesedikit mungkin jumlah korban sipil,'' ujarnya. Baram juga memperingatkan tentara Amerika ihwal kemungkinan pasukan Garda Republik menggunakan senjata-senjata kimia.
Untuk menggapai hasil bagus, tentara Amerika dan sekutunya harus memiliki taktik jitu. Pengamat militer Amerika, Daniel Goure, menyarankan agar pasukan Amerika dan sekutunya membagi kota menjadi dua bagian: yang bisa dikendalikan, dan yang bisa mengisolasi penduduk. Pengamat lain, John Pike, bilang bahwa strategi perang kota terdiri dari tiga hal. Pertama, pemboman target-target penting. Kedua, pengiriman tank, dan terakhir penguasaan siaran radio dan televisi.
Jika perang kota benar tergelar, diperkirakan akan sangat dahsyat. Beberapa ahli memperkirakan, satu dari tiga tentara Amerika dan sekutunya tewas dalam pertempuran. Analis lain mengatakan, jumlah korban akan bertambah jika Amerika dan sekutunya mengirim lebih banyak pasukan ke medan laga.
Mantan pengawas senjata Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Scott Ritter juga mengingatkan, Amerika akan kalah dalam Perang Irak. Ketika diwawancarai radio Irlandia RTE1, Ritter, yang mundur dari tim pengawas senjata PBB pada 1998, menyatakan bahwa konflik akan berkepanjangan. Pasukan Amerika dan Inggris akan mandek di luar Baghdad, dan gagal merebut kota itu.
''Amerika akan menghadapi kenyataan... menghadapi sebuah negara berpenduduk 23 juta, dengan elemen yang dipersenjatai sekitar 7 juta --yang terkonsentrasi di kawasan-kawasan urban. Amerika tak akan memenangkan pertempuran ini. Amerika akan kalah perang,'' kata Ritter.

Posting Komentar

0 Komentar