![]() |
Brigadir Jendral Soeparjo |
Pangkat saya memang lebih tinggi dari saudara, tapi di gerakan ini, saya adalah anak buah saudara," demikian kira-kira ucapan Brigadir Jenderal Soepardjo saat menyalami Letnan Kolonel Untung Samsuri tanggal 29 September 1965.
Brigjen Soepardjo baru saja tiba di Jakarta. Meninggalkan posnya di Bengkayang, Kalimantan untuk bergabung dengan Gerakan 30 September.
Tubuhnya langsing dan tegap. Dia adalah seorang Panglima yang membawahi ribuan pasukan tempur di perbatasan Kalimantan-Malaysia. Di usianya yang baru 44 tahun dengan karir yang cemerlang sebagai komandan pertempuran dan ahli strategi.
Aneh memang, jika Soepardjo yang adalah seorang berpangkat Brigjend, mau saja ikut bergabung dalam gerakan yang dipimpin olh Letnan Kolonel Untung!
Dalam jam-jam awal 1 Oktober 1965, sebenarnya Gerakan Letkol Untung ini berada di atas angin. Namun Untung dan Sjam tak menggunakan kelebihan awal ini untuk momentum selanjutnya.
"Radio RRI yang kita kuasai juga tidak kita manfaatkan. Sepanjang hari hanya dipergunakan untuk membacakan pengumuman saja. Harusnya radio digunakan semaksimal mungkin oleh barisan agitasi propaganda," kata Soepardjo.
Satu kesalahan fatal lain adalah soal logistik. Untung kehilangan banyak pasukannya gara-gara nasi bungkus. Pasukan Bimasakti yang terdiri dari Yon 530 dan Yon 454 berjaga sehari penuh di Lapang Monas tapi tak ada yang mencukupi kebutuhan mereka. Tanggal 1 Oktober 1965 dari pagi hingga petang, pasukan itu tak diberi makan.
"Hal ini baru diketahui pada malam hari ketika ada gagasan untuk dikerahkan menyerang ke dalam kota," kata Supardjo kecewa.
Yon 530 sudah bergabung dengan Kostrad dan Yon 454 sudah berada di sekitar Halim. Tak mungkin lagi memerintahkan mereka untuk menyerang.
Setelah G30S gagal, Brigjen Soepardjo bersembunyi. Dialah tokoh kudeta yang tertangkap paling akhir. TNI khusus menggelar Operasi Kalong untuk mengejar Soepardjo. Berkali-kali mau ditangkap, Soepardjo selalu lolos.
Dinas Sejarah TNI AU menulis, tepat pada hari Idul Fitri 1967, Satgas Kalong mencium keberadaan Soepardjo di rumah seorang prajurit AURI di Halim. Intel gabungan bersama Polisi Militer AU menggerebek tempat itu.
Tak ada orang di sana. Namun petugas curiga karena menemukan kopi yang masih panas, jejak kaki di tembok mengarah ke atap dan KTP atas nama Moch Syarif dalam kantong baju yang digantung. Mereka yakin kali ini Soepardjo tak akan lolos.
Letnan Rosjadi berteriak "Ayo turun! Kalau tidak saya tembak!" Terdengar jawaban dari atas, "Baik saya turun."
Benar, sosok itulah Brigjen Soepardjo yang selama satu setengah tahun mereka kejar siang malam.
Soepardjo diadili di Mahkamah Militer Luar Biasa. Hukuman yang menantinya sudah jelas, ditembak mati.
Soepardjo ditahan di Rumah Tahanan Militer Cimahi. Banyak tahanan lain yang terkesan dengan sikap Soepardjo selama di tahanan. Sebagai jenderal, dia tak mau diistimewakan. Kalau dikirimi makananpun selalu dibagi rata untuk tahanan lain.
Saat keluarganya datang menjenguk untuk terakhir kali, Soepardjo memberikan sepasang sepatu yang selama ini dia pakai. "Bapak tak bisa memberi apa-apa. Cuma sepasang sepatu ini untuk kenang-kenangan," kata Soepardjo.
Keinginannya untuk mati dengan seragam kebesaran militer jenderal bintang satu ditolak. Dia akhirnya memilih pakaian serba putih.
18 Maret 1967, seluruh tahanan dipaksa masuk dalam sel lebih cepat. Mereka tahu, itu saatnya Soepardjo dijemput tim eksekusi. Soepardjo sempat menyanyikan lagu Indonesia Raya di malam terakhir sebelum timah panas menembus dadanya!
0 Komentar