PEMBANTAIAN TAK TERUNGKAP DI PESING



pagi buta, 15 April 1946, Batalyon Zeeland 2/14 RI dari Brigade U KNIL menyerbu Pesing. Serangan terjadi saat utusan TKR masih berunding dengan Tentara Inggris yang menguasai Batavia, mengenai garis demarkasi.

Serangan mendadak membuat TKR kocar-kacir. Sekitar seratus prajurit TKR memberi perlawanan, untuk membuka jalan bagi pasukan lain bergerak mundur ke Kampong Basmol dan Bojong (Rawa Boeaja). Letkol Singgih, komandan TKR di Pesing, tak punya pilihan selain mundur dan membangun garis pertahanan baru.

Daan Yahya, dalam wawancara yang direkam ANRI, mengatakan Letkol Singgih melanjutkan perlawanan di Basmol, Bojong dan Cengkareng, beberapa hari setelah mundur dari Pesing.

Jelang tengah hari, pertempuran Pesing berakhir. Sebanyak 70 serdadu TKR tertangkap dan dilucuti. Namun serdadu KNIL yang menduduki Pesing masih diganggu oleh penembak jitu dari rumah-rumah penduduk dan kelebatan pepohonan. Serdadu KNIL mengamuk, membakar rumah penduduk, dan menangkap sejumlah warga.

Inggris pun menjadi marah dan membentuk tim pencari fakta. Tim mengunjungi Pesing, dan menemukan 30 tentara TKR yang ditawan dalam kondisi mengerikan. Tim juga menyimpulkan Belanda diduga membunuh sebagaian tahanan dan membuang mayatnya ke Kali Angke, tapi mereka tidak menemukan bukti.

Sebulan setelah peristiwa itu, seorang kapten Brigade U bertemu Bep Vuyk -- wartawan De Baanbreker, mingguan sosial-demokratik terbitan Utrecht -- dan menceritakan kesaksiannya atas kejahatan kemanusiaan yang dilakukan Polisi Militer KNIL dari Brigade U di Pesing. Vuyk menuliskan cerita itu dan dipublikasikan pada 4 Mei 1946:

(Kasus pemurnian Pesing adalah hal yang sangat buruk dan tidak murni. Karena setelah aksi militer biasa dengan orang mati, terluka dan tahanan sesuai dengan aturan permainan, pasukan Belanda merasa lega oleh polisi militer, yang menggunakan para tahanan untuk mengubah medan perang menjadi medan perang. Para tahanan yang telah menyerah kepada pasukan Belanda dibantai oleh polisi militer tentara India Belanda dengan cara yang paling mengerikan. Kemudian pasukan Belanda menemukan di sana-sini beberapa yang terluka yang sekarang berada di rumah sakit. Syukurlah respons mereka normal dan karenanya tidak disiplin. Mereka jijik dengan pembantaian dan kontroversi dan pertengkaran muncul antara mereka dan "orang Ambon", para pembunuh tahanan mereka.)

Dua hari setelah publikasi artikel Vuyk, Nico Palar -- anggata parlemen (Tweede Kamer) dari Partai Buruh Belanda -- membacakan surat yang diperoleh dari serdadu Brigade-U. Palar tak menyebut nama serdadu itu, tapi kecurigaan tertuju pada kapten Brigade U yang berbicara kepada Vuyk di Batavia.

Selama pendudukan Pesing, demikian prajurit itu menulis kepada Palar, tiga orang tewas di pihak Belanda dan ratusan di pihak Indonesia. Tentara Belanda dari Brigade U menangkap 70 orang Indonesia setelah aksi itu. Polisi Militer KNIL dari Brigade U mengambil alih para tahanan

Polisi Militer Brigade U, yang didominasi orang Ambon dan prajurit pribumi Indonesia lainnya, membunuh hampir semua tahanan dengan kejam. Mereka melanjutkan kekejian dengan membakar banyak rumah penduduk. Tentara Brigade U non Polisi Militer hanya menemukan tiga orang sekarat dan mengeluarkannya dari pos polisi militer.

Setelah membaca surat itu Nico Palar -- sosok yang kemudian dikenal dalam sejarah Indonesia sebagai Lambertus Nicodemus Palar atau Babe Palar dan mewakili Republik Indonesia di PBB -- bertanya kepada Menteri Urusan Tanah Jajahan Pemerintah Belanda Johann Heinrich Adolf Logemann; "Apakah Anda mengetahui fakta-fakta yang diringkas penulis surat ini? Apa yang Anda harus katakan tentang semua ini?"

Tak butuh waktu lama bagi anggota parlemen untuk mengerti betapa Logemann tidak tahu apa-apa. Yang bisa dilakukan Logemann adalah meyakinkan Palar bahwa akan ada penyelidikan atas pembantaian itu.Pada 15 Mei, Logemann berkirim surat ke Van Mook di Batavia, menginstruksikan penyelidikan atas pembantaian itu..

Posting Komentar

0 Komentar