Kepulauan Banda pada akhir abad 16 hingga awal abad 17 merupakan wilayah yang ramai didatangi pedagang-pedagang Eropah yang berburu rempah-rempah, khususnya pala (nutmeg) yang harganya melebihi emas. Orang-orang Spanyol dan Portugis lah yang pertama kali datang, kemudian disusul Inggris. Belanda justru datang belakangan pada tahun 1607 ketika VOC membantu Sultan Ternate mengusir orang-orang Spanyol dengan imbalan hak monopoli perdagangan rempah-rempah di Maluku, khususna Kep. Banda.
Di sisi lain, penduduk asli Kep. Banda bersekutu dengan Inggris. “Orang Banda itu cukup cerdik. Mereka lebih suka berbisnis dengan orang Inggris dibandingkan dengan orang Belanda,” kata Meta Sekar Puji Astuti, saat mengisi seminar “Peran Samurai dalam Pembantaian Banda (1621) dan Maluku (1623): 400 Tahun Keterlibatan Orang Jepang di Maluku”, yang diadakan oleh Program Studi Jepang FIB UI.
BERAWAL dari dendam
Setelah mendapat hak atas kepulauan Banda, Belanda segera melakukan kontak dengan masyarakat Banda. Admiraal Pieterszoon Verhoeven tiba pada 1608 untuk bernegosiasi. Namun orang-orang Banda menaruh curiga kepada Belanda karena datang dengan membawa pasukan bersenjata.
Akhirnya orang-orang Banda ini mengelabui Belanda, dengan mengarahkan mereka ke satu tempat yang sudah dipersiapkan sebagai tempat pertemuan. Tanpa menaruh curiga, Verhoeven pun menyutujui pertemuan tersebut, karena merasa perlu mendapat kepercayaan dari orang-orang Banda. Namun setelah sampai di tempat pertemuan, Verhoeven dihadang oleh banyak orang bersenjata, yang mendadak menyerang dan menewaskan Verhoeven dan anak buahnya.
“Verhoeven tewas seketika dan kepalanya ditancapkan di atas tombak oleh orang-orang Banda,” tulis Willard A. Hanna, dalam The Banda Islands: Hidden Histories & Miracles of Nature.
Penyerangan orang-orang Banda tidak berhenti sampai disitu. Mereka segera menyerbu tentara Belanda yang tidak siap bertempur. Hanya beberapa orang yang selamat dari penyerangan itu, salah satunya adalah juru tulis Verhoeven, Jan Pieterszoon Coen.
Coen berhasil kembali ke Belanda dan meyakinkan Hereen XVII VOC untuk mengangkatnya sebagai Gubernur Jenderal VOC di Hindia Belanda pada 1617, membekalinya dengan armada kapal perang dan pasukan yang besar untuk melampiaskan dendam atas pembunuhan atasannya tsb. Coen tidak lantas berlayar ke Banda, ia memutuskan membangun pangkalannya di Batavia terlebih dahulu.
PASUKAN SAMURAI DALAM VOC
Pada masa yang bersamaan, Jepang sedang mengalami perang saudara, Perang Sekigahara. Perang antara Daimyo Toyotomi Hideyori dan Daimyo Tokugawa Ieyasu itu melibatkan 200.000 samurai dari kedua kubu dan dimenangkan oleh Tokugawa. Akibatnya ada lebih dari 100.000 samurai yang kehilangan majikan (disebut Ronin). VOC yang membutuhkan pasukan yang besar dan tangguh melihat peluang untuk merekrut tentara bayaran dari para ronin ini, Pada tahun 1613, Pieter Both ditugaskan untuk pergi ke Jepang dan merekrut samurai-samurai ronin tersebut.
PEMBANTAIAN BANDA (1621)
Pada tahun 1621, Coen tiba kembali di Banda. Kali ini mereka sama sekali tidak berniat untuk berunding, apalagi berbaik hati kepada orang-orang Banda. Ia membawa 13 kapal perang, 1.600 tentara VOC, 300 narapidana Jawa, 100 samurai Jepang, serta sejumlah bekas budak belian. Begitu sampai di Benteng Nassau, Coen dan pasukannya menyerang Pulau Lontor dan berhasil menguasai seluruh pulau. Desa Selamon dijadikan markas besar. Balai desanya jadi kantor Gubernur Banda Kapten Martin ‘t Sonck. Masjid di sebelah balai jadi penginapan pasukan, meski Orangkaya Jareng dari Selamon keberatan.
Pada suatu malam, lampu gantung dalam masjid terjatuh. Mengira akan ada serangan, t’Sonck menuduh penduduk Lontor. Malam itu juga, t’Sonck mengerahkan tentaranya untuk mengejar penduduk yang melarikan diri ke hutan dan puncak gunung. Penduduk yang ditemukan, dibunuh. Rumah dan perahu dibakar atau dihancurkan. Mereka yang berhasil lari, sekitar 300 orang, mencari perlindungan pada Inggris atau ke Pulau Kei dan Aru. Tak kurang dari 2.500 orang meninggal, karena ditembak, dianiaya, atau kelaparan. Dari 14.000 orang rakyat Banda, jumlah penduduk asli kepulauan Banda tinggal 480 orang setelah peristiwa pembantaian itu.
Mereka juga menangkap para Orangkaya dengan tuduhan sebagai pemicu kerusuhan. Delapan Orangkaya paling berpengaruh dimasukkan ke dalam kurungan bambu yang dibangun di luar Benteng Nassau. Enam samurai Jepang mengeksekusi dengan memotong tubuh mereka menjadi empat bagian. Setelah itu samurai-samurai itu memenggal kepala 36 Orangkaya lainnya dan memotong badan mereka. Potongan kepala dan badan ditancapkan pada ujung bambu untuk dipertontonkan kepada masyarakat. Pembantaian 44 Orangkaya itu terjadi pada 8 Mei 1621. Tujuannya adalah untuk memperingatkan penduduk lain yang berani berbuat macam-macam dengan pemerintah Belanda (Des Alwi, 2005:79).
Di lokasi pembantaian itu kini berdiri Monumen Parigi Rante. Nama 40 pejuang dan OrangkayaBanda terukir di sana bersama sederet tokoh pejuang Indonesia yang pernah dibuang ke Banda seperti Tjipto Mangunkusumo, Iwa Kusumasumantri, Hatta, dan Sjahrir.
AFTERMATH
Coen memang bertindak sangat kejam sebagai perwujudan balas dendam. Hampir seluruh penduduk di Kepulauan Banda dimusnahkan dengan sangat kejam dan tidak berperikemanusiaan (R.Z. Leirissa & Djuariah Latuconsina, Sejarah Kebudayaan Maluku, 1999:111).
Setelah kepulauan Banda kosong dari penduduk asli, Coen mendatangkan orang dari berbagai bangsa untuk bekerja di pulau ini. Umumnya berasal dari Makassar, Bugis, Melayu, Jawa, Cina, sebagian Portugis, Maluku dan Buton. VOC memberikan hak pakai kebun-kebun pala kepada bekas tentara dan pegawai VOC. Buruh kebun adalah budak yang didatangkan dari berbagai penjuru tanah air. Hasilnya dijual kepada VOC.
Gambar: Pembantaian Banda (koleksi Museum Rumah Budaya di Banda Neira, Maluku, Indonesia)
0 Komentar