PERTEMPURAN DI JALUR RANGKASBITUNG - TANAH ABANG



Pertempuran Serpong terjadi pasca jatuhnya Jakarta ke tangan Sekutu, pihak Nica yang membonceng pasukan sekutu mulai melakukan aksi penguasaan terhadap wilayah Tangerang . Kekuatan sekutu yang dikomandani pasukan inggris terus bergerak hingga perbatasan Serpong.

Pada tanggal 16 Mei 1946 , pasukan Inggris memberikan ultimatum kepada seluruh kekuatan militer Indonesia untuk mundur hingga 4 Km dari sungai Cisadane. Ultimatum ini diberikan melalui pamflet yang disebarkan melalui udara agar dibaca seluruh tentara dan laskar Indonesia.

Pihak pemerintah pusat ketika itu meminta agar tentara dan pejuang kemerdekaan Indonesia mengikuti ultimatum pasukan Inggris tersebut. Karena Perdana Menteri Syahril ketika itu lebih memilih jalur diplomasi ketimbang menggunakan kekuatan senjata yang tentunya sangat tidak berimbang. Selain menghindari jatuhnya korban yang terlalu banyak di pihak pejuang kemerdekaan.

Keputusan itu memang diterima dengan dua pendapat berbeda. Sebagian pejuang yang bergabung pada laskar laskar perjuangan tetap bersikukuh untuk melakukan perlawanan hingga titik darah penghabisan sedang pihak Tentara Rakyat Indonesia (TRI)-kini TNI- yang terikat dengan hirarki kemiliteran tentu harus mematuhi keputusan atasan yang memutuskan untuk bergerak mundur.

Maka dilakukan rapat gabungan yang melibatkan pihak TRI, kepolisian dan wakil wakil rakyat yang dilakukan pihak pemerintahan kabupaten Tangerang yang ketika itu dipimpin Patih R. Akhyad Penna. Rapat itu memutuskan, pasukan TRI akan mundur mengikuti perintah pemerintah pusat tapi para laskar dan rakyat Banten khususnya rakyat Tangerang memilih akan melakukan perlawanan. Walaupun memilih mundur TRI tetap memberikan bantuan persenjataan, berupa beberapa granat dan beberapa bahan bahan peledak untuk membantu perlawanan rakyat.

TRI yang mundur sambil mengamankan dan melakukan evakuasi terhadap pemerintahan sipil kabupaten Tangerang. Untuk sementara pusat pemerintah kabupaten Tangerang dipindahkan ke Balaraja. TRI juga membangun pertahanan di wilayah Jatiuwung yang berada 5 Km dari sungai Cisadane.

Satu hari setelah ultimatum , pada tanggal 17 Mei 1946 tentara sekutu bergerak lebih dulu dan langsung memasuki wilayah Tangerang. Serangan ini memicu perlawanan sporadis dari rakyat yang dikomandoi para laskar pejuang. Gugur pada peristiwa ini Akhmad Dimyati, kepala laskar rakyat pasar baru. Di sektor perlawanan Cipondoh gugur H. Ali berikut 21 orang anak buahnya.

Perlawanan yang tidak seimbang ini tentu dimenangkan pihak sekutu pada tanggal 22 Mei 1946. Kantor pemerintah kabupaten

Tangerang berhasil diduduki selain itu pihak Nica menurunkan bendara merah putih dan mengibarkan bendera Belanda. Tindakan demonstrtif ini tentu mengundang kemarahan rakyat Banten secara keseluruhan.

Jatuhnya Tangerang membuat terjadinya gelombang pengungsian rakyat menuju arah pedalaman Banten. Ketakutan rakyat akan kebengisan tentara Nica yang bertindak kejam ini akhirnya menimbulkan perlawanan sengit dari laskar yang masih tersisa.

Jalur kereta antara Serpong-Parung Panjang hingga Maja menjadi jalur perlawanan. Mendengar Tangerang berhasil diduduki membuat pasukan laskar yang berada diperbatasan Tangerang-Banten melakukan penghimpunan kekuatan. Maka sepanjang jalur kereta api dari Maja hingga Serpong menjadi medan pertempuran.

Pada tanggal 23 Mei 1946, seorang ulama K.H Ibrahim asal desa Sampureun , Maja yang termasuk wilayah Kabupaten Lebak mengumumkan perlawanan . Tak kurang 400 orang bersedia ikut serta untuk menyerang pasukan sekutu yang berada di Serpong. Maka berangkatlah KH Ibrahim bersama 400 orang pengikutnya bersenjatakan golok, pedang , bambu runcing . Ketika rombongan sampai di Tenjo maka bergabung pula Abuya Tenjo yang dipimpin oleh K.H Harun bersama 300 orang pengikutnya. Rombongan ini terus bergerak melalui jalur kereta api menuju arah utara .

Pada tanggal 24 Mei, rombongan pejuang rakyat ini tiba di Parung Panjang dan beristirahat semalam untuk melanjutkan perjalanan keesokan harinya . Perjalanan pejuang rakyat ini menunjukan rasa patriotisme yang luar biasa dari masyarakat Banten untuk mempertahankan kemerdekaan . Kecintaan rakyat Banten ini mungkin tak tercatat dalam sejarah emas perjuangan kemerdekaan nasional Indoensia. Sepanjang perjalanan yang tidak pendek itu semakin banyak rakyat yang ikut bergabung untuk menyerang kedudukan pasukan Nica yang berada di Serpong.

Pada tanggal 25 Mei 1946 sampailah rombongan pejuang rakyat ini di wilayah Serpong. Rombongan besar ini terus bergelora untuk segera menyerang pertahan pasukan Nica. Dalam suasana penuh semangat yang luar biasa. Dua pemimpin laskar, K.H Ibrahim dan K.H Harun mengatur siasat. Dua rombongan besar ini bersiasat untuk memecah menjadi dua kelompok. Satu kelompok menyerang dari arah belakang dan satu kelompok menyerang dari arah depan.

Maka disepakati esok hari tanggal 26 Mei sebagai hari H penyerangan. Untuk sementara waktu dua pasukan mengambil posisi masing masing. K.H Ibrahim beserta pengikutnya akan menyerang langsung dari arah depan melalui jalan raya Serpong. Sedang K.H Harun beserta pengikutnya menyerang dari arah belakang.

Pertempuran yang Tidak Seimbang

Pagi hari sekali, para laskar rakyat itu dengan gagah berani seraya mengumandangkan seruan Allahu Akbar terus merangsek maju. Seorang jaro asal kampung Sengkol bernama Tiking dengan gagah berani membawa panji yang tak lain bendera merah putih. Para laskar yang tak takut mati itu terus merangsek walau ratusan peluru dimuntahkan dari dalam markas. Senjata modern yang dimiliki pasukan Nica memang bukan tandingan golok, klewang, tombak dan bambu runcing. Satu per satu para laskar gugur sebagai pahlawan. Tindakan berani ini bukan saja menunjukan rasa patriotisme tapi rasa kebanggaan gugur dalam mempertahankan kemerdekaan.

Dalam peristiwa ini lebih dari 189 laskar pejuang gugur termasuk, K.H Ibrohim asal Maja dan Jaro Tiking sang pembawa panji. Penyerangan ini menjadi momentum sejarah. Korban yang jatuh mungkin lebih dari 200 orang tapi semangat perjuangan ini akan selalu dikenang sebagai pengorbanan sejati dari rakyat Banten.

Usai penyerangan. Walau tidak mendapatkan kemenangan. Pertempuran ini menjadi tonggak bersejarah dengan dijadikannya Taman Makam Pahlawan Seribu yang letaknya berada di Serpong.Dimana seluruh jasad pejuang yang gugur dikuburkan sebagai pahlawan kemerdekaan.

Gagalnya penyerangan di Serpong ternyata tak membuat ciut nyali para pejuang.Perlawanan terus dilakukan. Walau akhirnya para pejuang mundur hingga Parung panjang. Front Parung Panjang menjadi medan pertempuran penting dalam menyumbat pergerakan pasukan Nica agar tidak terus maju ke arah selatan Banten.

Hampir setiap hari terjadi baku tembak yang sengit antara pasukan laskar pejuang dengan pasukan Nica. Jalur kereta api Parung panjang ke arah Rangkas Bitung dikuasai para pejuang Indonesia sedang Cisauk hingga Sepong dikuasai pasukan Nica.

Posting Komentar

0 Komentar