Rabu 30 Juli 1947 itu, sejumlah petinggi TNI memenuhi sebuah aula di Hotel Tugu, Yogyakarta dalam suasana kelabu. Di sanalah berbaring tiga jenazah perintis AURI: Komodor Muda Udara dr. Abdulrachman Saleh, Komodor Muda Udara Agustinus Adisutjipto, dan Opsir Muda Udara Adisumarmo Wiryokusumo.
Selain KSAU Komodor Suryadi Suryadarma, turut hadir Panglima TNI Jenderal Sudirman memberi penghormatan terakhir dalam upacara militer itu. Ribuan masyarakat sipil yang terpukul turut memberi penghormatan.
Masing-masing jenazah lalu dikebumikan sesuai permintaan keluarga. Jenazah Abdulrachman Saleh dan Adisutjipto dikuburkan di Kuncen, sementara Adisumarmo di Taman Makam Pahlawan Semaki.
Suryadarma amat terpukul dan sedikit menyesal. Ia merasa gugurnya ketiga kolega beserta enam korban Dakota VT-CLA lain disebabkan oleh amuk Belanda yang dikejutkan oleh serangan udara kadet-kadet AURI pada pagi 29 Juli 1947. Akibatnya, pesawat Dakota VT-CLA itupun jadi salah satu tumbal pembalasan Belanda.
Pesawat Dakota VT-CLA itu dibeli pemerintah RI sedianya untuk mengantar dua ton obat-obatan dari Singapura yang merupakan sumbangan Palang Merah Malaya untuk Palang Merah Indonesia. Sebelum dibeli, pesawat itu milik Biju Patnaik, pengusaha India cum mantan pilot Royal Air Force (RAF/AU Inggris) yang bersimpati pada kemerdekaan Indonesia.
VT-CLA sendiri merupakan nomor registrasi sipil Dakota itu dalam naungan Maskapai Kalingga Airlines, dan belum diganti meski sudah dibeli pemerintah RI. Pesawat dengan rute Singapura-Yogyakarta itu dipiloti penerbang veteran AU Australia Alexander Noel Constantine dan veteran AU Inggris Roy Lance Hazelhurst.rute penerbangan nonmiliter itu sudah mendapat izin terbang dari pemerintah Inggris dan NICA di Jakarta.
Berdasarkan manifes otoritas bandara Singapura, pesawat itu ditumpangi sembilan orang. Selain tiga tokoh AURI dan dua penerbangnya, turut menumpang istri sang pilot, Beryl Constantine; Abdulgani Handonotjokro dari GKBI Tegal; Zainal Arifin dari Konsul Dagang RI di Malaya; dan teknisi Bhida Rom asal India.Dakota VT-CLA itu bertolak dari Singapura pukul 1 siang dengan muatan dua ton sumbangan obat-obatan. Penerbangan berjalanan aman. Namun sesampainya di atas Kepulauan Bangka-Belitung, sepasang pesawat Curtiss P-40 “Kittyhawk” AU Belanda mulai tampak.
Muncul dan menghilang, begitulah seterusnya dua Kittyhawk bermanuver untuk menguntit Dakota hingga tiba di angkasa Yogyakarta sekira pukul 4 sore. Saat runway Lanud Maguwo terlihat, pilot Constantine segera menurunkan roda pesawat sambil mengarahkan pesawat berputar sekali sebelum mendarat. Saat itulah tembakan dari senapan mesin kaliber 12,70 milimeter M2 Browning sepasang Kittyhawk dimuntahkan kedua pilotnya.
“Dakota VT-CLA mengeluarkan asap; baling-baling sebelah kanan patah. Pesawat itu kehilangan keseimbangan dan tembakan masih gencar dilancarkan. Ketika menukik tajam, dari pintu pesawat tampak beberapa sosok tubuh terlempar ke luar. Pesawat miring hingga sayap kirinya melanggar pucuk pohon, kemudian jatuh melayang membentur tanggul sawah,” Dakota VT-CLA jatuh dan meledak di persawahan batas Desa Ngoto dan Desa Wojo, sekira tiga kilometer dari pusat kota Yogyakarta. Warga langsung mendatangi lokasi. Meski mulanya dikira pesawat Belanda, pertolongan tetap diupayakan meski hari mulai gelap. Dengan obor dan tandu seadanya dari batang bambu, masyarakat mengevakuasi beberapa korban.
Para personil AURI lantas berdatangan, termasuk kadet Suharnoko Harbani dan KSAU Suryadarma. Saat itulah warga insyaf bahwa itu pesawat republik. Selain Abdulgani, Beryl Constantine masih hidup dengan luka tembak di pipi saat dievakuasi. Namun, nyawanya tak tertolong saat dilarikan ke Rumahsakit Bethesda, tempat para korban mendapat penanganan.
Para korban, utamanya para perintis AURI, lalu disemayamkan di Hotel Tugu untuk mendapatkan penghormatan terakhir secara militer. Mereka dimakamkan keesokan harinya.
Peristiwa itu membuat Belanda mencari alasan untuk mengelak. “Menurut radio Yogya, dua pesawat Belanda menembak jatuh Dakota yang membawa bantuan medis dari Singapura. Namun jurubicara pemerintah Belanda di Den Haag membantah, berdasarkan komunike Belanda di Batavia, di mana pesawat Belanda hanya memberi tembakan peringatan namun Dakota itu jatuh karena menabrak sebuah pohon,” tulis Suratkabar Nieuwe Apeldoornsche Courant, 30 Juli 1947.
Alasan itu jelas mengada-ada lantaran pada jenazah Beryl Constantine dan Adisumarmo terdapat luka tembak. Belanda lantas “meralat” pernyataannya bahwa memang benar dua pilot Kittyhawk, Lettu B.J. Ruesink dan Serma W.E. Erkelens, melepas tembakan tapi lantaran mereka salah mengira pesawat itu sebagai pembom tukik Jepang Ki-49 “Helen”.Alasan yang lebih mengada-ada itu –lantaran kedua pilot Belanda merupakan alumnus Skadron Nederlands East Indisch (NEI) yang berlatih di Canberra, Australia semasa Perang Dunia II; mustahil mereka tak mengenali bentuk pesawat Dakota yang merupakan andalan Sekutu– kembali direvisi Belanda. Menurutnya, pesawat mereka menembaki Dakota VT-CLA lantaran tak menggunakan insignia palang merah di badan pesawat.
Dunia internasional kian mengecam Belanda, terlebih setelah keluar kesaksian Letkol Peter Ratcliffe, perwira Inggris utusan SEAC (South East Asia Command) yang sedang di Yogyakarta. Ratcliffe menyaksikan sendiri dua Kittyhawk Belanda itu menembaki Dakota meski Dakota sudah miring menjelang menghantam daratan.
Ratcliffe ikut mendatangi RS Bethesda untuk melihat dua korban, Beryl Constantine dan Adisumarmo. Dalam kesaksiannya, kedua tubuh jenazah dipenuhi luka tembak.
0 Komentar