keputusan Sukarno yg melakukan dekrit 1959 kembali ke UUD 1945,




Kekecewaan para politisi(PSI dan Partai Masyumi) dengan keputusan Sukarno yg melakukan dekrit 1959 kembali ke UUD 1945, dan pembubaran dewan konstituante, disusul likuidasi parlemen hasil pemilu 1955, kemudian pencanangan sistem demokrasi terpimpin, membuat mereka memutuskan menjadi oposisi terhadap penguasa. Puncaknya kemesraan Sukarno dengan PKI menjadi jadi, terlebih Sukarno melakukan manuver dengan merubah ideologi negara Pancasila menjadi ideologi nasakom. Ini yg membuat PKI merasa berada di atas angin. Beberapa petinggi TNI yakni salah satunya jenderal AH. Nasution merasa perlu untuk membuat semacam petisi dengan mendorong parlemen mengesahkan pengangkatan presiden seumur hidup kepada bung Karno, ini sebuah strategi dalam rangka menghindari penyelenggaraan pemilu yang memberi peluang PKI untuk meraih suara terbesar, yang berakibat komunis menguasai parlemen dan melakukan manuver-manuver untuk menggulingkan Sukarno. Menyikapi suasana politik yg ruwet dan anomali itu beberapa politisi yg kecewa dengan kebijakan Sukarno bersinergi dengan perwira TNI yg sama dalam sikap terhadap kondisi perpolitikan pusat membuat gerakan yg tujuan awalnya sebagai bentuk protes terhadap kebijakan dan kedekatan Sukarno dengan PKI berubah menjadi keinginan untuk memisahkan diri dari NKRI. Dan meletus lah pemberontakan yang mengatasnamakan sebagai gerakan PRRI (Sumatera) Permesta (Sulawesi)..dan CIA memanfaatkan dengan menyuplai persenjataan dan logistik... bukti bahwa ada anasir agen rahasia Amerika terlibat setelah TNI AU berhasil menembak jatuh pesawat yang dipiloti Allan L. Pope seorang agen CIA..

Soal motif politik dari gerakan PRRI Permesta, di perkuat oleh Barbara Harvey dalam Permesta: Pemberontakan Setengah Hati (1984), PRRI/Permesta dibentuk demi membendung komunisme di Indonesia.

Bukti keterlibatan CIA dalam gerakan PRRI Permesta, Tim Weiner dalam Membongkar Kegagalan CIA (2008), Ken Conboy dan James Morrison dalam Feet to the Fire: CIA Covert Operations in Indonesia (1999), mengupas operasi rahasia CIA dalam menggoyang kekuasaan Presiden Sukarno tahun 1957-1958. Pemerintahan Dwight Eisenhower, jenderal bintang lima yang memimpin armada sekutu dalam Perang Dunia II, tak ingin komunis membesar di Indonesia.

Eisenhower menyarankan CIA, badan intelijen AS, membantu angkatan udara rahasia bagi pasukan Perjuangan Rakyat Semesta (Permesta) di Sulawesi Utara. CIA, demikian Eisenhower, punya pengalaman apik membangun sebuah operasi di Guatemala untuk menjungkalkan pemerintahan sayap kiri Jacobo Arbenz pada 1954. Segera kemudian CIA mencari jalan untuk memberi bantuan pesawat dan bom bagi unit tempur udara Permesta.

Indonesia menjelang akhir 1950-an adalah Indonesia yang penuh gejolak dan goncangan. Rakyat di daerah termasuk di Sulawesi merasa bahwa pemerintah pusat di Jakarta, sesudah Republik Indonesia Serikat dibubarkan oleh Sukarno pada 1950, tidak bekerja dengan efektif. Pembangunan stagnan. Uang lebih banyak beredar di Jawa. Persaingan di tubuh perwira dan pemimpin politik makin meruncing. Kesadaran kedaerahan dan etnis menguat dan mendorong pemberontakan di Sumatera dan Sulawesi.

Richard Zacharias Leiriza dalam PRRI-Permesta: Strategi Membangun Indonesia Tanpa Komunis (1996), mengisahkan bagaimana Herman Nicolas "Ventje" Sumual, Soemitro Djojohadikusumo, dan Ahmad Husein didatangi oleh agen-agen CIA.

Sumual adalah salah seorang pencetus Permesta pada 2 Maret 1957. Bersama para pemimpin dari Minahasa, Bugis, Makassar, dan Ambon, ia mendeklarasikan ide Permesta di kediaman Andi Pangerang Petta Rani, seorang aristokrat Bugis dan gubernur Sulawesi. Soemitro adalah mantan menteri keuangan tahun 50-an yang kabur ke Padang demi menghindari penangkapan di Jakarta. Ia adalah bapak dari Prabowo Subianto dan Hashim Djojohadikusumo, kakak-adik pendiri Partai Gerindra. Adapun Ahmad Husein adalah komandan militer Sumatera Barat yang mengatur pertemuan di Sungai Dareh, sebuah kota kecil di sebelah timur Padang, untuk membentuk Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) pada 15 Februari 1958. Hashim termasuk salah satu yang terlibat dalam PRRI.

“Ketika kami sedang makan di sebuah restoran di Singapura," cerita Sumual dalam PRRI-Permesta, "beberapa orang-orang barat berpakaian santai mendatangi kami. Mereka mengetahui kami sedang memerangi Sukarno, sebab itu mereka bersedia memberi bantuan senjata. Ketika itu kami memang sedang berusaha membeli senjata."

Menurut Barbara Harvey dalam Permesta: Pemberontakan Setengah Hati (1984), PRRI/Permesta dibentuk demi membendung komunisme di Indonesia. Para pemimpin Permesta dari Minahasa, yang menyebut gerakan mereka sebagai program pembangunan untuk Indonesia timur, menjual kopra secara ilegal dengan Singapura. Orang Minahasa kecewa terhadap Jakarta karena langkah pemerintah pusat memonopoli perdagangan kopra dengan menutup Pelabuhan Bitung di Sulawesi Utara. Mereka memisahkan diri dari provinsi utama Sulawesi di Makassar, dengan membentuk provinsi Sulawesi Utara pada September 1957. Dengan menentang pemerintah pusat, para pemimpin Minahasa membangun jalan, sekolah, jembatan, gereja, dan bahkan universitas lewat uang penjualan kopra.

Harvey menulis, perasaan kecewa orang Minahasa yang semula didorong faktor ekonomi dan kemudian berbuntut gerakan bersenjata, dengan cepat menjadi salah satu gejolak paling hebat yang pernah terjadi di Sulawesi.

Bantuan CIA

Di Singapura, Sumual, Soemitro, dan Husein bertemu dengan Foster Collins, kepala kantor CIA Singapura. Collins berjanji membantu persenjataan untuk Permesta. Dari sana, Sumual meneruskan perjalanan ke Manila, tempat ia memperoleh simpati Angkatan Bersenjata Filipina. Di Filipina terdapat Pangkalan Militer Clark milik Amerika.

Menurut Kolonel Fletcher Prouty, mantan perwira Angkatan Udara Amerika dalam The Secret Team (1973), “timbunan senjata dan perlengkapan militer terkumpul di Okinawa dan Filipina. Orang-orang Indonesia, Filipina, China (Taiwan), Amerika dan para serdadu sewaan dan negara-negara lain juga telah siap di Okinawa dan Filipina untuk membantu pemberontakan."

Persenjataan modern dari Amerika antara lain senapan ringan kaliber 12,7mm, RPG atau bazoka, granat semiotomatis, senapan serbu infanteri, dan senjata‐senjata penangkis serangan udara. Menurut pengakuan Abdul Haris Nasution, Kepala Staf Angkatan Darat saat terjadi pemberontakan akhir tahun 50-an, dalam film dokumenter ABC: Riding the Tiger, senjata-senjata itu dijatuhkan dari pesawat Amerika.

Dukungan diam-diam Amerika tak sekadar senjata. “Pihak Angkatan Darat Amerika memberikan pelatihan kemiliteran, Angkatan Laut membantu kapal selam, Angkatan Udara menyediakan dukungan pesawat pengangkut serta mempersiapkan modifikasi bagi Pesawat B-26," tulis Prouty.

Menurut Yoseph Tugio Taher dalam Mengorek Abu Sejarah Hitam Indonesia (2010), para pelatih militer Amerika datang ke Sumatera, tempat pemberontakan PRRI, dengan berkedok sebagai pegawai perusahaan minyak Caltex (merek minyak bumi Korporasi Chevron). Sementara di Sulawesi Utara, tempat pemberontakan Permesta, para serdadu Amerika bisa lebih mudah karena lokasinya dekat dengan Filipina.

Posting Komentar

1 Komentar

  1. ayo segera bergabung dengan saya di D3W4PK
    hanya dengan minimal deposit 10.000 kalian bisa menangkan uang jutaan rupiah
    ditunggu apa lagi ayo segera bergabung, dan di coba keberuntungannya
    untuk info lebih jelas silahkan di add Whatshapp : +8558778142
    terimakasih ya waktunya ^.^

    BalasHapus