![]() |
| Soekarno |
Diah Pramana Rachmawati Soekarnoputeri adalah puteri ketiga Soekarno dengan ibu Fatmawati. Beliau lahir di Jakarta pada 27 September 1950. Rachmawati menjalani pendidikannya di Jakarta. Ia sekolah di SD Perguruan Cikini, SMP Perguruan Cikini, dan SMA Santa Ursula Jakarta. Setelah lulus SMA, ia melanjutkan ke Universitas Indonesia di Fakultas Hukum.
Pada usia Rachmawati 3 tahun (1953), Bung Karno menikah dengan Ibu Hartini. Ibunya, Fatmawati meninggalkan istana negara ketika tahu bung karno menikah lagi dengan Hartini. Rachmawati hidup bersama bapaknya pasca ibunya meninggalkan Istana Negara sehingga Rachmawati menjadi dekat dan sering berinteraksi dengan Bung Karno. Rachmawati juga diasuh oleh Ibu Hadi (Ibu angkat dari Solo), Rachmawati akrab dengan istri-istri Bung Karno yang lainnya.
Setelah Soeharto dilantik menjadi pejabat presiden pada bulan Maret 1967, Soekarno menetap di paviliun Istana Bogor ditemani istri keempatnya, Hartini. Setiap hari, Hartini dengan sabar dan penuh kasih sayang melayani Soekarno selama sepekan penuh. Kondisi Soekarno saat itu masih cukup sehat, dan dia seringkali mengunjungi anak-anak dari istrinya Fatmawati yang masih tinggal di Istana Negara. Ketika sore menjelang, Soekarno kembali ke Bogor. Sementara Fatmawati sudah mengungsi ke rumah di Jalan Sriwijaya, Jakarta Selatan.
Keadaan berubah drastis, saat Soeharto memerintahkan seluruh anak Soekarno keluar dari Istana Negara. Saat itu, sekitar awal Agustus 1967, Guntur, Megawati, Rachmawati, Fatmawati, dan Guruh diberi waktu 2x24 jam untuk pindah. Mereka kemudian mengungsi ke sebuah rumah kontrakan yang tak jauh dari rumah ibunya di Jl Sriwijaya, Jakarta Selatan.
Seperti dikutip dari buku 'Hari-hari Terakhir Sukarno' yang ditulis Peter Kasenda, penyakit utama Soekarno hingga dia menutup mata adalah hipertensi atau darah tinggi yang dipengaruhi ginjalnya yang sudah tidak berfungsi maksimal. Ginjal kiri Soekarno sudah tidak berfungsi sama sekali, sedangkan fungsi ginjal kanan tinggal 25 persen.
Selain itu, ada penyempitan pembuluh darah jantung, pembesaran otot jantung, dan gejala gagal jantung. Komplikasi penyakit inilah yang menyebabkan tubuh Soekarno terus membengkak. Namun Soekarno menolak upaya transplantasi ginjal. Soekarno pun kerap mengeluhkan dadanya yang sakit jika batuk-batuk. Saat di-rontgen, ditemukan tulang rusuk yang retak. Demikian juga paru-paru Soekarno yang mengalami bronchi basah disertai keluhan sesak napas. Belum lagi bibit katarak di matanya yang membuat penglihatannya berkurang.
Terpaan hoax dan isu negatif terkait Bung Karno yang dirawat oleh Dokter Hewan pun berhembus dan perlakuan tidak layak dari rezim orde baru yang baru berdiri awal thn 1967.
Semenjak dari masih menjabat Presiden, Bung Karno selalu menolak untuk melakukan operasi transplantasi ginjal untuk mengembalikan fungsi ginjal nya kembali seperti semula karena mengingat akan ramalan kepada dirinya jika suatu hari Bung Karno meninggal karena pisau kecil (pisau bedah).
Di pengujung tahun 1968 ketika Bung Karno sakit keras akibat penyakit ginjal nya yang sudah tidak berfungsi secara normal, Rachmawati memohon pada Bapaknya agar pindah ke Jakarta saja dan dirawat keluarga. “Coba aku tulis surat permohonan kepada Presiden” kata Bung Karno dengan suara terbata. Dengan tangan gemetar Bung Karno menulis surat agar dirinya bisa dipindahkan ke Jakarta dan dekat dengan anak-anaknya. Pagi-pagi setelah mengambil surat dari bapaknya, Rachmawati langsung ke Jl. Cendana rumah Presiden Soeharto.
Di Cendana ia ditemui Bu Tien yang kaget saat melihat Rachmawati ada di teras rumahnya. “Lho, Mbak Rachma ada apa?” tanya Bu Tien dengan nada kaget. Bu Tien memeluk Rachmawati, setelah itu Rachmawati bercerita tentang nasib bapaknya. Hati Bu Tien rada tersentuh dan menggenggam tangan Rachmawati lalu mengantarkan ke ruang kerja Pak Harto. “Lho, Mbak Rachma, ada apa?” kata Pak Harto dengan nada santun. Rachmawati pun menceritakan kondisi Bapaknya yang di Bogor. Pak Harto berpikir sejenak dan kemudian menuliskan memo yang memerintahkan anak buahnya agar Bung Karno dibawa ke Jakarta. Dan kemudian diputuskan Bung Karno dirawat di Wisma Yaso pada Februari 1969.
"Mula-mula aku diterima Ibu Tien di lantai bawah. Kemudian langsung diajak naik ke atas dan ditemui oleh Pak Harto. Aku menyampaikan maaf dan menyerahkan surat Bapak serta sekaligus menceritakan bagaimana keadaan Bapak yang sesungguhnya. Hanya satu yang kumohon ketika itu, agar Bapak diizinkan kembali ke Jakarta. Entahlah kekuatan apa yang mendorongku untuk memberanikan diri berjumpa dengan Bapak Soeharto . Betapa aku merasa plong. Pak Harto berjanji akan berusaha mengatur kepindahan Bapak," tulis Rachmawati dalam buku 'Bapakku-Ibuku'."
Kemudian hari nya Pak Harto juga memproses pembelian Mesin hemodialisa dari Perancis untuk penyakit ginjal Bung Karno ini, Mesin Hemodialisa ini adalah mesin yang baru pada waktu itu. Butuh waktu yang lama untuk membawa mesin tsb datang ke jakarta. Sayangnya datangnya mesin ini terlambat 2 bulan sesudah bung karno meninggal pada tgl 21 Juni 1970, yang kemudian Mesin Hemodialisa yang dipesan dari perancis tsb dihibahkan ke RSCM dan merupakan mesin Hemodialisa pertama di Indonesia.
Hemodialisa atau hemodialisis merupakan terapi cuci darah di luar tubuh. Terapi ini umumya dilakukan oleh pengidap masalah ginjal yang ginjalnya sudah tak berfungsi dengan optimal. Pada dasarnya, tubuh manusia memang mampu mencuci darah secara otomatis, tapi bila terjadi masalah pada ginjal, kondisinya akan lain lagi. Ginjal sendiri merupakan organ yang punya peran amat vital dalam tubuh. Organ ini bertanggung jawab untuk penyaringan darah. Selain membersihkan darah dalam tubuh, ginjal juga membentuk zat-zat yang menjaga tubuh agar tetap sehat. Namun, pada pengidap penyakit ginjal kronis atau gagal ginjal, organ ini sudah tidak bisa berfungsi dengan baik. Kondisi di ataslah yang membuat tubuh membutuhkan proses cuci darah menggunakan bantuan alat medis. Dengan kata lain, dalam kondisi ini, hemodialisa menggantikan peran ginjal ketika organ tersebut sudak tidak mampu bekerja secara efektif.


0 Komentar