Tiga serangkai
Tiga Serangkai umumnya adalah sebuah julukan untuk sebuah perkumpulan atau kelompok yang beranggotakan tiga orang. Julukan ini dapat merujuk pada:
- Tiga Serangkai pelopor nasionalisme Indonesia: E.F.E. Douwes Dekker (Eduard Douwes Dekker), Dr. Tjipto Mangunkusumo dan Ki Hajar Dewantara yang mendirikan Indische Partij, partai politik pertama di Hindia Belanda.
Dr Tjipto Mangunkusumo
Nama Lengkap : Tjipto Mangunkusumo
Profesi : -
Tempat Lahir : Pecangakan, Ambarawa, Semarang
Tanggal Lahir : Senin, 0 -1 1886
Warga Negara : Indonesia
BIODATA
Tjipto Mangoenkoesoemo dikenal sebagai salah satu tokoh pergerakan kemerdekaan Indonesia yang juga dijuluki sebagai anggota Tiga Serangkai bersama Ernest Douwes Dekker dan Ki Hajar Dewantara. Selain mengabdikan hidupnya sebagai seorang dokter, Tjipto juga bergerak di bidang politik guna menentang penjajahan Belanda. Ketika kedua rekannya dalam Tiga Serangkai berubah haluan bergerak di bidang pendidikan, ia tetap setia berada di jalur politik hingga akhir hayatnya.
Tjipto tldaklah berasal dari keluarga priyayi yang memiliki kedudukan sosial yang tinggi. Namun karena kecerdasannya, ia mampu bersekolah di STOVIA atau Sekolah Pendidikan Dokter Hindia. Ketidakpuasannya terhadap peraturan-peraturan di STOVIA serta keprihatinannya terhadap kondisi masyarakat Indonesia di bawah jajahan kolonial Belanda saat itu membuat dirinya aktif menuangkan segala pemikiran dan kritisinya dalam harian De Locomotief sejak tahun 1907. Ia juga menyebarkan pandangan-pandangannya yang sarat akan nilai-nilai politik dengan bergabung dalam organisasi Budi Utomo. Tetapi pada akhirnya ia memutuskan untuk mengundurkan diri dari Budi Utomo karena adanya perpecahan ideologi dalam tubuh organisasi yang terbentuk pada tanggal 20 Mei 1908 ini. Ia kemudian mendirikan Indische Partij bersama Ernest Douwes Dekker dan Ki Hajar Dewantara pada tanggal 25 Desember 1912. Saat itu Indische Partij merupakan satu-satunya organisasi yang secara terang-terangan bergerak di bidang politik dan bertujuan mencapai Indonesia merdeka. Pada tahun 1913, ketiga tokoh pendiri Indische Partij tersebut ditangkap dan dibuang ke Belanda karena aksi propaganda anti Belanda yang mereka tuangkan dalam artikel di harian De Express yang berisi penentangan mereka terhadap perayaan kemerdekaan Belanda di Indonesia. Kehadiran mereka di Belanda memberikan pengaruh penting terhadap Indische Vereeniging, perkumpulan mahasiswa Indonesia di Belanda, dalam mendukung pergerakan kemerdekaan.
Karena sakit, Tjipto dipulangkan ke Jawa pada tahun 1914. Setelah ia kembali, ia bergabung dengan Insulinde, suatu perkumpulan yang menggantikan Indische Partij yang kemudian berubah nama menjadi Nationaal-Indische Partij (NIP). Di tahun 1918, ia menjadi anggota Volksraad (Dewan Rakyat) bentukan Belanda. Ia memanfaatkan Volksraad sebagai tempat untuk menyatakan aspirasi dan kritik kepada pemerintah mengenai masalah sosial dan politik. Karena dianggap berbahaya, pemerintah Hindia Belanda pun membuang Tjipto ke Bandung. Di sana ia bertemu dengan Soekarno. Tjipto juga dibuang untuk kesekian kalinya pada tahun 1928 karena didakwa turut andil dalam pemberontakan yang dilakukan kaum komunis. Ia dibuang ke pulau Banda namun akhirnya dikembalikan ke pulau Jawa karena kondisi kesehatannya yang memburuk.
Dauwes dekker
lahir : Amsterdam, Belanda, 2 Maret 1820
meninggal : Ingelheim am Rhein, Jerman, 1 Ingelheim am Rhein, Jerman, 19 Februari 1887 pada umur 66 (tahun)
atau yang dikenal pula dengan nama pena Multatuli (dari bahasa Latin multa tuli "banyak yang aku sudah derita") , adalah penulisBelanda yang terkenal dengan Max Havelaar (1860), novel satirisnya yang berisi kritik atas perlakuan buruk para penjajah terhadap orang-orang pribumi di Hindia Belanda.
ki hajar dewantara
Biografi Ki Hajar Dewantara - Pahlawan Indonesia. Ki Hajar Dewantara Lahir di Yogyakarta pada tanggal 2 Mei 1889.Terlahir dengan nama Raden Mas Soewardi Soeryaningrat. Ia berasal dari lingkungan keluarga kraton Yogyakarta. Raden Mas Soewardi Soeryaningrat, saat genap berusia 40 tahun menurut hitungan Tahun Caka, berganti nama menjadi Ki Hadjar Dewantara. Semenjak saat itu, ia tidak lagi menggunakan gelar kebangsawanan di depan namanya. Hal ini dimaksudkan supaya ia dapat bebas dekat dengan rakyat, baik secara fisik maupun hatinya.
Perjalanan hidupnya benar-benar diwarnai perjuangan dan pengabdian demi kepentingan bangsanya. Ia menamatkan Sekolah Dasar di ELS (Sekolah Dasar Belanda) Kemudian sempat melanjut ke STOVIA (Sekolah Dokter Bumiputera), tapi tidak sampai tamat karena sakit. Kemudian ia bekerja sebagai wartawan di beberapa surat kabar antara lain Sedyotomo, Midden Java, De Express, Oetoesan Hindia, Kaoem Moeda, Tjahaja Timoer dan Poesara. Pada masanya, ia tergolong penulis handal. Tulisan-tulisannya sangat komunikatif, tajam dan patriotik sehingga mampu membangkitkan semangat antikolonial bagi pembacanya.
Selain ulet sebagai seorang wartawan muda, ia juga aktif dalam organisasi sosial dan politik. Pada tahun 1908, ia aktif di seksi propaganda Boedi Oetomo untuk mensosialisasikan dan menggugah kesadaran masyarakat Indonesia pada waktu itu mengenai pentingnya persatuan dan kesatuan dalam berbangsa dan bernegara.
Kemudian, bersama Douwes Dekker (Dr. Danudirdja Setyabudhi) dan dr. Cipto Mangoenkoesoemo, ia mendirikan Indische Partij (partai politik pertama yang beraliran nasionalisme Indonesia) pada tanggal 25 Desember 1912 yang bertujuan mencapai Indonesia merdeka.
Mereka berusaha mendaftarkan organisasi ini untuk memperoleh status badan hukum pada pemerintah kolonial Belanda. Tetapi pemerintah kolonial Belanda melalui Gubernur Jendral Idenburg berusaha menghalangi kehadiran partai ini dengan menolak pendaftaran itu pada tanggal 11 Maret 1913. Alasan penolakannya adalah karena organisasi ini dianggap dapat membangkitkan rasa nasionalisme rakyat dan menggerakan kesatuan untuk menentang pemerintah kolonial Belanda.
Kemudian setelah ditolaknya pendaftaran status badan hukum Indische Partij ia pun ikut membentuk Komite Bumipoetra pada November 1913. Komite itu sekaligus sebagai komite tandingan dari Komite Perayaan Seratus Tahun Kemerdekaan Bangsa Belanda. Komite Boemipoetra itu melancarkan kritik terhadap Pemerintah Belanda yang bermaksud merayakan seratus tahun bebasnya negeri Belanda dari penjajahan Prancis dengan menarik uang dari rakyat jajahannya untuk membiayai pesta perayaan tersebut.
Sehubungan dengan rencana perayaan itu, ia pun mengkritik lewat tulisan berjudul Als Ik Eens Nederlander Was (Seandainya Aku Seorang Belanda) dan Een voor Allen maar Ook Allen voor Een (Satu untuk Semua, tetapi Semua untuk Satu Juga). Tulisan Seandainya Aku Seorang Belanda yang dimuat dalam surat kabar de Expres milik dr. Douwes Dekker itu antara lain berbunyi:
"Sekiranya aku seorang Belanda, aku tidak akan menyelenggarakan pesta-pesta kemerdekaan di negeri yang kita sendiri telah merampas kemerdekaannya. Sejajar dengan jalan pikiran itu, bukan saja tidak adil, tetapi juga tidak pantas untuk menyuruh si inlander memberikan sumbangan untuk dana perayaan itu.
Pikiran untuk menyelenggarakan perayaan itu saja sudah menghina mereka dan sekarang kita garuk pula kantongnya. Ayo teruskan penghinaan lahir dan batin itu! Kalau aku seorang Belanda. Apa yang menyinggung perasaanku dan kawan-kawan sebangsaku terutama ialah kenyataan bahwa bangsa inlander diharuskan ikut mengongkosi suatu pekerjaan yang ia sendiri tidak ada kepentingannya sedikitpun".
Akibat karangannya itu, pemerintah kolonial Belanda melalui Gubernur Jendral Idenburg menjatuhkan hukuman tanpa proses pengadilan, berupa hukuman internering (hukum buang) yaitu
sebuah hukuman dengan menunjuk sebuah tempat tinggal yang boleh bagi seseorang untuk bertempat tinggal. Ia pun dihukum buang ke Pulau Bangka.
Douwes Dekker dan Cipto Mangoenkoesoemo merasakan rekan seperjuangan diperlakukan tidak adil. Mereka pun menerbitkan tulisan yang bernada membela Soewardi. Tetapi pihak Belanda menganggap tulisan itu menghasut rakyat untuk memusuhi dan memberontak pada pemerinah kolonial. Akibatnya keduanya juga terkena hukuman internering. Douwes Dekker dibuang di Kupang dan Cipto Mangoenkoesoemo dibuang ke pulau Banda.
Namun mereka menghendaki dibuang ke Negeri Belanda karena di sana mereka bisa memperlajari banyak hal dari pada didaerah terpencil. Akhirnya mereka diijinkan ke Negeri Belanda sejak Agustus 1913 sebagai bagian dari pelaksanaan hukuman.
Kesempatan itu dipergunakan untuk mendalami masalah pendidikan dan pengajaran, sehingga Raden Mas Soewardi Soeryaningrat berhasil memperoleh Europeesche Akte.
Kemudian ia kembali ke tanah air di tahun 1918. Di tanah air ia mencurahkan perhatian di bidang pendidikan sebagai bagian dari alat perjuangan meraih kemerdekaan.
Setelah pulang dari pengasingan, bersama rekan-rekan seperjuangannya, ia pun mendirikan sebuah perguruan yang bercorak nasional, Nationaal Onderwijs Instituut Tamansiswa (Perguruan Nasional Tamansiswa) pada 3 Juli 1922. Perguruan ini sangat menekankan pendidikan rasa kebangsaan kepada peserta didik agar mereka mencintai bangsa dan tanah air dan berjuang untuk memperoleh kemerdekaan.
Tidak sedikit rintangan yang dihadapi dalam membina Taman Siswa. Pemerintah kolonial Belanda berupaya merintanginya dengan mengeluarkan Ordonansi Sekolah Liar pada 1 Oktober 1932. Tetapi dengan kegigihan memperjuangkan haknya, sehingga ordonansi itu kemudian dicabut.
Di tengah keseriusannya mencurahkan perhatian dalam dunia pendidikan di Tamansiswa, ia juga tetap rajin menulis. Namun tema tulisannya beralih dari nuansa politik ke pendidikan dan kebudayaan berwawasan kebangsaan. Tulisannya berjumlah ratusan buah. Melalui tulisan-tulisan itulah dia berhasil meletakkan dasar-dasar pendidikan nasional bagi bangsa Indonesia.
Sementara itu, pada zaman Pendudukan Jepang, kegiatan di bidang politik dan pendidikan tetap dilanjutkan. Waktu Pemerintah Jepang membentuk Pusat Tenaga Rakyat (Putera) dalam tahun 1943, Ki Hajar duduk sebagai salah seorang pimpinan di samping Ir. Soekarno, Drs. Muhammad Hatta dan K.H. Mas Mansur.
Setelah zaman kemedekaan, Ki hajar Dewantara pernah menjabat sebagai Menteri Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan yang pertama. Nama Ki Hadjar Dewantara bukan saja diabadikan sebagai seorang tokoh dan pahlawan pendidikan (bapak Pendidikan Nasional) yang tanggal kelahirannya 2 Mei dijadikan hari Pendidikan Nasional, tetapi juga ditetapkan sebagai Pahlawan Pergerakan Nasional melalui surat keputusan Presiden RI No.305 Tahun 1959, tanggal 28 November 1959. Penghargaan lain yang diterimanya adalah gelar Doctor Honoris Causa dari Universitas Gajah Mada pada tahun 1957.
Dua tahun setelah mendapat gelar Doctor Honoris Causa itu, ia meninggal dunia pada tanggal 28 April 1959 di Yogyakarta dan dimakamkan di sana.
Kemudian oleh pihak penerus perguruan Taman Siswa, didirikan Museum Dewantara Kirti Griya, Yogyakarta, untuk melestarikan nilai-nilai semangat perjuangan Ki Hadjar Dewantara. Dalam museum ini terdapat benda-benda atau karya-karya Ki Hadjar sebagai pendiri Tamansiswa dan kiprahnya dalam kehidupan berbangsa. Koleksi museum yang berupa karya tulis atau konsep dan risalah-risalah penting serta data surat-menyurat semasa hidup Ki Hadjar sebagai jurnalis, pendidik, budayawan dan sebagai seorang seniman telah direkam dalam mikrofilm dan dilaminasi atas bantuan Badan Arsip Nasional.
Bangsa ini perlu mewarisi buah pemikirannya tentang tujuan pendidikan yaitu memajukan bangsa secara keseluruhan tanpa membeda-bedakan agama, etnis, suku, budaya, adat, kebiasaan, status ekonomi, status sosial, dan sebagainya, serta harus didasarkan kepada nilai-nilai kemerdekaan yang asasi.
Hari lahirnya, diperingati sebagai Hari Pendidikan Nasional. Ajarannya yang terkenal ialah tut wuri handayani (di belakang memberi dorongan), ing madya mangun karsa (di tengah menciptakan peluang untuk berprakarsa), ing ngarsa sungtulada (di depan memberi teladan).
Tokoh terpenting di antara para pendiri Indische Partij adalah ketuanya, E. F. E. Douwes Dekker, anak dari Jan, salah satu saudara laki-laki Multatuli yang menikah dengan keturunan campuran Jerman-Jawa. E. F. E. Douwes Dekker, lahir pada 1879 di Pasuruan, mempunyai nenek Jawa - dari tahun-tahun awalnya dan selanjutnya dia dapat sepenuhnya merasakan duka yang muncul di Hindia Belanda, dan ia memang dari para pekerja pribumi yang bekerja keras, misalnya di perkebunan kopi dan di pabrik-pabrik gula. Setelah melewati HBS di Batavia, dia kali pertama bekerja di perkebunan semacam itu, lalu di pabrik semacam itu juga; dalam kedua kasus dia segera dipecat karena dia membela para pekerja pribumi.
Pada saat Perang Boer, dia pergi ke Afrika Selatan bersama kedua saudara laki-lakinya, Julius dan Guido, untuk bertarung sebagai sukarelawan bergabung dengan bangsa Boer melawan Inggris. Dalam peperangan itu ia tertawan Inggris dan menjadi internir selama dua tahun di Ceylon. Pada tahun 1903 ia kembali ke Jawa melalui Paris
. Dia menjadi seorang jurnalis, yang terakhir di Bataviaas Nieuwsblad, dan mungkin dia mendorong orang-orang pribumi muda di Batavia, yang beralih ke pendirian Boedi Oetomo. Dia tetap berhubungan dengan mereka, terutama dengan Tjipto
Pada saat itu sudah ada beberapa organisasi yang terdiri secara eksklusif atau sebagian dari orang Hindia Belanda: Indische Bond non-politik, didirikan pada tahun 1898, Vereniging Insulinde, didirikan pada tahun 1907, dan serikat buruh kereta api Vereeniging van Spooor-en Tramweg Personeel, didirikan pada tahun 1908 .
Douwes Dekker bergabung Insulinde, tapi ia menemukan kepemimpinannya dan juga Indische Bond terlalu konservatif - sehingga awal September 1912 ia mendirikan Indische Partij di Bandung. Dia sendiri menjadi ketua, wakil ketuanya Tjipto, dan Raden Mas Soewardi Soerianingrat (pendiri pendidikan Taman Siswa) menjadi salah satu anggota dewannya. Pasal 2 anggaran dasar partai ini berbunyi:
"Tujuan dari Partai India adalah membangkitkan patriotisme semua orang Hindia untuk tanahnya yang menghidupi mereka, untuk mendorong mereka bekerja sama atas dasar kesetaraan politik untuk membawa tanah air Hindia ini berkembang dan untuk mempersiapkan kemerdekaan bagi rakyatnya."
Dalam semangat itu, satu tindakan kemudian diambil: menggunakan bendera partai yang berwarna utama hitam,sebagai tanda berkabung atas dominasi Belanda!
Segera Douwes Dekker, Tjipto, dan Suwardi membentuk triumvirat yang mengetuai Indische Partij - dalam bahasa Hindia disebut sebagai 'Daun Semanggi berhelai Tiga', Tiga Serangkai.
0 Komentar