ORDE LAMA & ORDE BARU
Selama hampir 57 tahun sebagai bangsa merdeka kita dihadapkan pada panggung sejarah perpolitikan dan ketatanegaraan dengan dekorasi, setting, aktor, maupun cerita yang berbeda-beda. Setiap pentas sejarah cenderung bersifat ekslusif dan Steriotipe. Karena kekhasannya tersebut maka kepada setiap pentas sejarah yang terjadi dilekatkan suatu atribut demarkatif, seperti Orde Lama, Orde Baru Dan Kini Orde Reformasi.
Karena esklusifitas tersebut maka sering terjadi pandangan dan pemikiran yang bersifat apologetik dan keliru bahwa masing-masing Orde merefleksikan tatanan perpolitikan dan ketatanegaraan yang sama sekali berbeda dari Orde sebelumnya dan tidak ada ikatan historis sama sekali
Orde Baru lahir karena adanya Orde Lama, dan Orde Baru sendiri haruslah diyakini sebagai sebuah panorama bagi kemunculan Orde Reformasi. Demikian juga setelah Orde Reformasi pastilah akan berkembang pentas sejarah perpolitikan dan ketatanegaraan lainnya dengan setting dan cerita yang mungkin pula tidak sama.
Dari perspektif ini maka dapat dikatakan bahwa Orde Lama telah memberikan landasan kebangsaan bagi perkembangan bangsa Indonesia. Sementara itu Orde Baru telah banyak memberikan pertumbuhan wacana normatif bagi pemantapan ideologi nasional, terutama melalui konvergensi nilai-nilai sosial-budaya (Madjid,1998) Orde Reformasi sendiri walaupun dapat dikatakan masih dalam proses pencarian bentuk, namun telah menancapakan satu tekad yang berguna bagi penumbuhan nilai demokrasi dan keadilan melalui upaya penegakan supremasi hukum dan HAM. Nilai-nilai tersebut akan terus di Justifikasi dan diadaptasikan dengan dinamika yang terjadi.
A. ORDE LAMA (1950 – 1965 )
1. Demokrasi Liberal (1950 – 1959)
Dalam proses pengakuan kedaulatan dan
pembentukan kelengkapan negara, ditetapkan pula sistem demokrasi yang dipakai
yaitun sistem demokrasi liberal. Dalam sistem demokrasi ini presiden hanya
bertindak sebagai kepala negara. Presiden hanya berhak mengatur formatur
pembentukan kabinet. Oleh karena itu, tanggung jawab pemerintah ada pada
kabinet. Presiden tidak boleh bertindak sewenang-wenang. Adapun kepala
pemerintahan dipegang oleh perdana menteri.
Dalam sistem demokrasi ini, partai-partai
besar seperti Masyumi,Pni,dan PKI mempunyai partisipasi yang besar dalam
pemerintahan. Dibentuklah kabinet-kabinet yang bertanggung jawab kepada
parlemen (Dewan Perwakilan Rakyat ) yang merupakan kekuatan-kekuatan partai
besar berdasarkan UUDS 1950.
Setiap kabinet yang berkuasa harus mendapat
dudkungan mayoritas dalam parlemen (DPR pusat). Bila mayoritas dalam parlemen
tidak mendukung kabinet, maka kabinet harus mengemblikan mandat kepada
presiden. Setelah itu, dibentuklah kabinet baru untuk mengendalikan
pemerintahan selanjutnya. Dengan demikian satu ciri penting dalam penerapan
sistem Demokrasi Liberal di negara kita adalah silih bergantinya kabinet yang
menjalankan pemerintahan.
Kabinet yang pertama kali terbentuk pada
tanggal 6 september 1950 adalah kabinet Natsir. Sebagai formatur ditunjuk
Mohammad Natsir sebagai ketua Masyumi yang menjadi partai politik terbesar saat
itu. Program kerja Kabinet Natsir pada masa pemerintahannya secara garis besar
sebagai berikut ;
a. Menyelenggarakan pemilu untuk
konstituante dalam waktu singkat.
b. Memajukan perekonomian,
keeshatan dan kecerdasan rakyat.
c. Menyempurnakan organisasi
pemerintahan dan militer.
d. Memperjuangkan soal Irian Barat
tahun 1950.
e. Memulihkan keamanan dan
ketertiban.
Dalam menjalankan kebijakannya, kabinet ini
banyak memenuhi hambatan terutama dari tubuh parlemen sendiri. Bentuk negara
yang belum sempurna dengan beberapa daerah masih berada ditangan pemerintahan
Belanda memperuncing masalah yang ada dalam kabinet tersebut. Perbedaan politik
antara presiden dan kabinet tersebut menyebabkan kedekatan antara presiden
dengan golongan oposisi (PNI). Hal itu menentang sistem politik yang telah
berlaku sebelumnya, bahwa presiden seharusnya memiliki sikap politik yang
sealiran dengan parlemen. Secara berturut-turut setelah kejatuhan kabinet
Natsir, selama berlakunya sistem Demokrasi Liberal, presiden membentuk
kabinet-kabinet baru hingga tahun 1959.
Pada masa Demokrasi Liberal ini juga berhasil
menyelenggarakan pemilu I yang dilakukan pada 29 september 1955 dengan agenda
pemilihan 272 anggota DPR yang di lantik pada 20 Maret 1956. Pemilu pertama
tersebut juga telah berhasil badan konstituante (sidang pembuat UUD).
Selanjutnya badan konstituante memiliki tugas untuk merumuskan UUD baru. Dalam
badan konstituante sendiri, terdiri berbagai macam partai, dengan dominasi
partai-partai besar seperti NU,PKI,Masyumi dan PNI. Dari nama lembaga tersebut
dapatlah diketahui bahwa lembaga tersebut bertugas untuk menyusun konstitusi.
Konstituante melaksanakan tugasnya ditengah konflik berkepanjangan yang muncul
diantara pejabat militer, pergolakan daerah melawan pusat dan kondisi ekonomi
tak menentu.
2.Demokrasi Terpimpin (1959 – 1965)
a. Sistem politik Demokrasi Terpimpinat
Kekacauan terus menerus dalam kesatuan negara
Republik Indonesia yang disebabkan oleh begitu banyaknya pertentangan terjadi
dalam sistem kenegaraan ketika diberlakukannya sistem demokrasi liberal.
Pergantian dan berbagai respon dari dari daerah dalam kurun waktu tersebut
memaksa untuk dilakukannya revisi terhadap sistem pemerintahan. Ir.Soekarno selaku
presiden memperkenalkan konsep kepemimpinan baru yang dinamakan demokrasi terpimpin. Tonggak bersejarah di berlakukannya sistem demokrasi terpimpin
adalah dikeluarkannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959.
Peristiwa tersebut mengubah tatanan kenegaraan
yang telah terbentuk sebelumya. Satu hal pokok yang membedakan antara sistem
Demokrasi Liberal dan Demokrasi Terpimpin
adalah kekuasaan Presiden. Dalam Demokrasi Liberal, parlemen
memiliki kewenangan yang terbesar terhadap pemerintahan dan pengambilan keputusan
negara. Sebaliknya, dalam sistem Demokrasi Terpimpin presiden memiliki
kekuasaan hampir seluruh bidang pemerintahan.
Dengan diberlakukannya Dekrit Presiden 1959
terjadi pergantian kabinet dari Kabinet Karya (pimpinan Ir.Djuanda) yang
dibubarkan pada 10 juli 1959 dan digantikan dengan pembentukan Kabinet Kerja
yang dipimpin oleh Ir.Soekarno sebagai perdana menteri dan Ir.Djuanda sebagai
menteri pertama. Kabinet ini yang memiliki program khusus yang
berhubungan dengan masalah keamanan,sandang pangan, dan pembebasan Irian Barat.
Pergantian institusi pemerintahan anatara lain di MPR (pembentukan MPRS),
pemebntukan DPR-GR dan pembentukan DPA.
Perkembangan dalam sistem pemerintahan
selanjutnya adalah pernetapan GBHN pertama. Pidato Presiden pada acara upacara
bendera tanggal 17 agustus 1959 berjudu”Penemuan Kembali Revolusi
Kita”dinamakan Manifestasi Politik Republik Indonesia(Manipol),yang berintikan
USDEK (UUD 1945,Sosialisme Indonesia, Demokrasi Terpimpin, Kepribadian
Indonesia). Institusi negara selanjutnya adalah mengitegrasikan sejumlah badan
eksekutif seperti MPRS, DPRS, DPA, Depernas, dan Front Nasional dengan tugas
sebgai menteri dan ikut serta dalam sidang-sidang kabinet tertentu yang
selanjutnya ikut merumuskan kebijaksanaan pemerintahan dalam lembaga
masing-masing.
Dalam Demokrasi Terpimpin presiden mendapat
dukungan dari tiga kekuatan besar yaitu Nasionalis, Agama dan Komunis.
Ketiganya menjadi kekuatan presiden dalam mempertahankan kekuasaannya.
Kekuasaan mutlak presiden pada masa itu telah menjadikan jabatan tersebut
sebagai pusat legitimasi yang penting bagi lainnya. Presiden sebagai penentu
kebijakan utama terhadap masalah-masalah dalam negeri maupun luar negeri .
b. Gerakan 30 September 1965
Salah satu momen sejarah yang mungkin paling membekas
dalam perjalanan sejarah Indonesia adalah Peristiwa Gerakan 30 September 1965.
Peristiwa tersebut sampai saat ini masih menimbulkan kontrofersi dalam
pengungkapan fakta yang sebenarnya. Berbagai versi tentang gerakan 30 S
tersebut telah dikemukakan diantaranya;
Peristiwa G 30 S versi
Pemerintah Orde Baru yakni peristiwa 30 S merupan suatu tindakan makar yang
dilakukan oleh PKI terhadap pemerintah Indonesia yang sah. Tindakan kudeta
tersebut dilakukan untuk merebut kekuasaan dari Ir.Soekarno selaku Penguasa
Tertingg
Angkatan Bersenjata dan Presiden seumur
hidupberdasarkan konsep Demokrasi Terpimpin.
Cara penggulingan tahun 1965 tersebut adalah dengan menyatukan
sejumlah organisasi onderbouw yang masih tersisa pascaperistiwa 1948.
c. Dampak G 30 S dan Proses Peralihan Kekuasaan Politik
Adapun dampak dari peristiwa G
30 S adalah :
- Demostrasi menentang PKI
Penyelesaian aspek politik terhadap para
pelaku G 30 S 1965/PKI akan di putuskan dalam sidang Kabinet Dwikora tanggal 6
Oktober 1965 dan belum terlihat adanyaa tanda-tanda akan dilaksanakan. Berbagai
aksi digelar untuk menuntut pemeritah agar segera menyelesaikan masalah
tersebut dengan seadil-adilnya. Aksi dipelopori oleh kesatuan aksi
pemuda-pemuda dan pelajar-pelajar Indonesia seperti KAPPI,KAMI dan KAPI. Mucul
pula kasi yang dilakukan oleh KABI,KAWI yang membulatkan tekad dalam Front
Pancasila.
- Mayjen Soeharto menjadi Pangad
Sementara itu untuk mengisi kekosongan
pimpinan AD, pada tanggal 14 oktober 1965 Panglima Kostrad/Pangkopkamtib Mayjen
Soeharto diangkat menjadi Menteri/Panglima AD. Bersamakan itu diadakan
tindakan-tindakan pembersihan terhadap unsur-unsur PKI dan ormasnya.
- Kedaan ekonomi yang buruk
Sementara itu kedaan ekonomi semakin memburuk.
Pada saat itu politik sebagai panglima, akibatnya masalah lain terabaikan.
Akibatnya di daerah muncul berbagai gejolak sosial yang pada puncaknya
menimbulakan pemberontakan.
- Tri Tuntutan Rakyat
Pada tanggal 12 januari 1966 berbagai kesatuan
aksi yang tergabung dalam Front Pancasila tersebut berkumpul di halaman gedung
DPR-GR untuk mengajukan Tritura yang isinya :
a. Pembubaran PKI dan
ormas-ormasnya.
b. Pembersihan kabinet Dwikora
dari unsur-unsur PKI.
c. Penurunan harga barang-barang.
Aksi Tritura berlangsung selama 60 hari sampai
dikeluarkannya surat perintah 11 Maret 1966.
- Kabinet seratus menteri
Pada tanggal 21 februari 1966 presiden
Soekarno mengumumkan perubahan kabinet
9(reshuffle). Kabinet baru ini diberi nama
kabinet Dwikora yang disempurnakan.
Adapun proses peraliahan kekuasaan politik
dari orde lama ke orde baru adalah sebagai berikut ;
- Tanggal 16 Oktober 1966 Mayjen
Soeharto telah dilantik menjadi Menteri Panglima Angkatan Darat dan dinaikkan
pangkatnya menjadi Letnan Jenderal. Pada awalnya untuk menghormati presiden AD
tetap mendukungnya. Namun presiden enggan mengutuk G 30 S AD mulai mengurangi
dukungannya dan lebih muali tertarik bekerja sam dengan KAMI dan KAPPI.
- Keberanian KAMI dan KAPPI
terutam karena merasa mendapat perlindungan dari AD. Kesempatan ini digunakan
oleh Mayjen Soeharto uintuk menawarkan jasa baik demi pulihnya kemacetan roda
pemerintahan dapat diakhiri. Untuk itu ia mengutus tiga Jenderal yaitu M.Yusuf,
Amir macmud dan Basuki Rahmat oleh Soeharto untuk menemui presiden guna
menyampaikan tawaran itu pada tanggal 11 Maret 1966. Sebagai hasilnya lahirlah
surat perintah 11 Maret
1966 .
- Pada tanggal 7 februari 1967,
jenderal Soeharto menerima surat rahasia dari Presiden melalui perantara Hardi
S.H. Pada surat tersebut di lampiri sebuah konsep surat penugasan mengenai
pimpinan pemerintahan sehari-hari kepada pemegang Supersemar.
- Pada 8 Februari 1967 oleh
Jenderal Soeharto konsep tersebut dibicarakan bersama empat panglima angkatan
bersenjata.
- Disaat belum tercapainya
kesepakatan antara pemimpin ABRI, masalah pelengkap Nawaksara dan semakin
bertambah gawatnya konflik, pada tanggal 9 Februari 1967 DPR-GR
mengajukan resolusi dan memorandum kepada MPRS agar sidang Istimewa
dilaksanakan.
- Tanggal 10 Februari 1967 Jend.
Soeharto menghadap kepad presiden Soekarno untuk membicarakan masalah negara.
- Pada tanggal 11 Februari 1967
Jend.Soharto mengajukan konsep yang bisa digunakan untuk mempermudah
penyelesaian konflik. Konsep ini berisi tentang pernyataan presiden berhalangan
atau presiden menyerahkan kekuasaan pemerintah kepada pemegang Supersemar
sesuai dengan ketetapan MPRS No.XV/MPRS/1966, presiden kemudian meminta waktu
untuk mempelajarinya.
- Pada tanggal 12 Februari 1967,
Jend.Soeharto kemudian bertemu kembali dengan presiden, presiden tidak
dapat menerima konsep tersebut karena tidak menyetujui pernyataan
yang isinya berhalangan.
- Pada tanggal 13 Februari 1967,
para panglima berkummpul kembali untuk membicarakan konsep yang telah telah
disusun sebelum diajukan kepada presiden
6
- Pada tanggal 20 Februari 1967
ditandatangani konsep ini oleh presiden setelah diadakan sedikit perubahan
yakni pada pasal 3 di tambah dengan kata-kata menjaga dan menegakkan revolusi.
- Pada tanggal 23 Februari 1967,
pukul 19.30 bertempat di Istana Negara presiden /Mendataris MPRS/ Panglima
tertinggi ABRI dengan resmi telah menyerahkan kekuasaan pemerintah kepada
pengemban Supersemar yaitu Jend.Soeharto.
- Pada bulan Maret 1967, MPRS
mengadakan sidang istimewa dalam rangka mengukuhkan pengunduran diri Presiden
Soekarno sekaligus mengangkat Jenderal Soeharto sebagai pejabat presiden RI.
B. ORDE BARU
1. Lahirnya Orde Baru
Akibat adanya pemberontakan Gerakan 30
September timbullah reaksi dari berbagai Parpol,Ormas,Mahasiswa dan
kalangan pelajar. Pada tanggal 8 Oktober 1965 partai politik seperti IPTKI, NU,
Partai Kristen Indonesia, dan organisasi massa lainnya melakukan apel kebulatan
tekad untuk mengamankan Pancasila dan menuntut pembubaran PKI serta
ormas-ormasnya. Pada tanggal 23 Oktober 1965 parpol yang anti komunis membentuk
Front Pancasila dan diikuti oleh pembentukan KAMI ( Kesatuan Aksi Mahasiswa
Indonesia ), KAPI ( Ksatuan Aksi Pelajar Indonesia ), dan lain-lain. Pada
tanggal 10 Januari 1966 KAMI mencetuskan TRITURA ( Tiga Tuntutan Rakyat ) “Bubarkan PKI dan
ormas-ormasnya,Bersihkan kabinet dari unsur PKI,dan turunkan harga-harga”
2. Kebijakan Politik Orde Baru
Rezim Orde Baru memiliki kekuasaan penuh
mengendalikan kehidupan politik masa itu. Kebijakan politik yang diterapkan
dalam masa Orde Baru dapat dilihat dari awal lahirnya Orde Baru. Pemberangusan
hak-hak berpolitik bagi eks anggota PKI dan keluarganya, merupakan salah satu
kebijakan yang mengundang kontroversi dari masyarakat. Pemerintah Orde Baru
memberikan kesempatan politik hanya kepada golongan tertentu saja. Menjelang
dilaksanakannya pemilu pada tahun 197, jumlah partai yang menjadi peserta,
tidak sebanyak partai politik di tahun 1955. Dari hasil pemilu tersebut para
wakil-wakil partai menduduki 360 kursi ditambah 100 kursi lagi yang
anggota-anggotanya diangkat oleh Presiden sehingga anggota DPR berjumlah 460
orang. Dari susunan kursi DPR yang semacam ini maka DPR selalu mendukung
kebijakan yang diambil oleh pemerintah. Untuk pemiliu-pemilu selanjutnya
tahun 1977,1982,1987,1992, hingga 1997 pemerintah menyederhanakan
jumlah partai politik yang ada. Hal ini dilakukan sesuai dengan Undang-Undang
nomor 3 tahun 1975 . Partai Persatuan Pembangunan merupakan fusi dari
partai-partai islam seperti NU, Parmusi, PSSI, dan PERTI. Sedangkan Partai
Demokrasi Indonesia adalah fusi dari PNI, Partai Katolik, Partai Murba, IPKI,
dan Parkindo, hanya Golkar yang tidak mempunyai fusi partai manapun.
3. Menguatnya Peran Negara dan Dampaknya
Pemegang pemerintahan di Orde Baru adalah
kalangan militer. Kekuasaan sentralistik yang digunakan oleh pemerintah Orde
Baru menunjukkan berbagai akibatnya di akhir pemerintahan Orde Baru. Kekuasaan
militer hampir di seluruh bidang pembangunan.
Pada akhir tahu 90-an dengan
runtuhnya rezim Orde Baru dan seiring dengan era reformasi terbuka kesempatan
bagi rakyat untuk menentanng kekuasaan yang otoriter itu . operasi militer
mengerikan yang selam 10 tahun tertutup rapat dari pengetahuan publikpun
terbongkar. Presiden Soeharto dan rezimnya menyadari bahwa, kemenangan mereka
dapat tercapai antara lain berkat dukungan tokoh-tokoh islam termasuk
ormas-ormasnya simpatisan masyumi. Tetapi ketika muncul tuntutan dari
tokoh-tokoh masyumi yang baru bebas dari tahanan rezim Orde Lama, untuk
merehabilitasi partainya, Soeharto tegas menolak dengan alasan ”yuridis,
ketatanegaraan, dan psikologi “. Bahkan Soeharto dengan nada yang agak marah,
mengaskan, Ia menolak setiap keagamaan dan akan menindak setiap usaha
eksploitasi masalah agama untuk maksud-maksud kegiatan politik yang tidak pada
tempatnya. Dalam kata lain, pemerintahan Orde Baru yang didominasi militer
tidak menyukai kebangkitan politik islam.
4. Jatuhnya Pemerintahan Orde Baru.
Pemerintah Orde Baru selama 32 tahun, ternyata
tidak konsisten dan konsekuen terhadap tekad awalnyamuncul Orde Baru. Pada
awalnya Orde Baru bertekad melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan
konsekuen dalam tatanan bermasyarakat, berbangsa, dan bertanah air. Latar
belakang munculnya tuntutan Soeharto agar mundur dari jabatannya atau yang
menjadi titik awal berakhirnya Orde Baru.
- Adanya krisis politik di mana
setahun sebelum pemilu 1997, kehidupan politik Indonesia mulai memanas.
Pemerintah yang didukung Golkar berusaha memepertahankan kemenangan mutlak yang
telah dicapai dalam lima pemilu sebelumnya. PPP begitupun PDI ataupun Golkar
dianggapa tidak mampu lagi memenuhi aspirasi politik masyarakat.
- Adanya krisis ekonomi yang
melanda Indonesia pada pertengahan Juli 1997. Sebenarnya krisis
ini juga terjadi dibeberapa negara di Asia
namun Indonesialah yang merasakan dampak yang paling buruk. Hal ini disebabkan
karena pondasi perekonomian Indonesia rapuh, praktik KKN, dan monopoli ekonomi
mewarnai pembangunan ekonomi Indonesia.
- Adanya krisis Sosial, bersamaan
dengan krisis ekonomi kekerasan di masyarakat semakin meningkat. Melonjaknya
angka pengangguran. Kesenjangan ekonomi menyebabkan kecemburuan sosial di
tengah masyarakat. Gerakan moral dalam aksi damai menuntut reformasi mulai
ditunggangi berbagai kepentingan individu dan kelompok.
- Pelaksanaan hukum di masa Orde
Baru terdapat banyak ketidakadilan. Misalnya kekuasaan kehakiman yang
dinyatakan dalam pasal 24 UUD 1945 bahwa kehakiman memilik kekuasaan yang
merdeka dan terlepas dari kekuasaan pemerintahan. Namun pada kenyataannya
kekuasaan kehakiman berada di bawah kekuasaan eksekutif.
Kronologi jatuhnya pemerintahan Orde Baru
berawal dari terpilihnya kembali Soeharto sebagai presiden melalui sidang umum
MPR yang berlangsung tanggal 1 – 11 Maret 1998, ternyata tidak
menimbulkan dampak positif yang berarti bagi upaya pemulihan kondisi ekonomi
bangsa justeru memperparah gejolak krisis. Dan gelombang aksi mahasiswa silih
berganti menyuarakan beberapa agenda reformasi.
Keberhasilan Pemerintahan Orde
Baru dalam melaksanakan pembangunan ekonomi, harus diakui sebagai suatu
prestasi besar bagi bangsa Indonesia. Di tambah dengan meningkatnya sarana dan
prasarana fisik infrastruktur yang dapat dinikmati oleh sebagian besar
masyarakat Indonesia.
Namun, keberhasilan ekonomi
maupun infrastruktur Orde Baru kurang diimbangi dengan pembangunan mental (
character building ) para pelaksana pemerintahan (birokrat), aparat keamanan
maupun pelaku ekonomi (pengusaha / konglomerat). Kalimaksnya, pada pertengahan
tahun 1997, korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) yang sudah menjadi budaya (bagi
penguasa, aparat dan penguasa)
Faktor
Penyebab Munculnya Reformasi
Banyak hal yang mendorong
timbulnya reformasi pada masa pemerintahan Orde Baru, terutama terletak pada
ketidakadilan di bidang politik, ekonomi dan hukum. Tekad Orde Baru pada awal
kemunculannya pada tahun 1966 adalah akan melaksanakan Pancasila dan UUD 1945
secara murni dan konsekuen dalam tatanan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara.
1. Krisis Politik
Demokrasi yang tidak
dilaksanakan dengan semestinya akan menimbulkan permasalahan
politik. Ada kesan kedaulatan
rakyat berada di tangan sekelompok tertentu, bahkan lebih banyak di pegang oleh
para penguasa. Dalam UUD 1945 Pasal 2 telah disebutkan bahwa “Kedaulatan adalah
ditangan rakyat dan dilaksanakan sepenuhnya oleh MPR”. Pada dasarnya secara de
jore (secara hukum) kedaulatan rakyat tersebut dilakukan oleh MPR sebagai
wakil-wakil dari rakyat, tetapi secara de facto (dalam kenyataannya) anggota
MPR sudah diatur dan direkayasa, sehingga sebagian besar anggota MPR itu
diangkat berdasarkan ikatan kekeluargaan (nepotisme).
Keadaan seperti ini mengakibatkan munculnya rasa tidak percaya
kepada institusi pemerintah, DPR, dan MPR. Ketidak percayaan itulah yang
menimbulkan munculnya gerakan reformasi. Gerakan reformasi menuntut untuk
dilakukan reformasi total di segala bidang, termasuk keanggotaan DPR dam MPR
yang dipandang sarat dengan nuansa KKN.
Gerakan reformasi juga menuntut agar dilakukan pembaharuan
terhadap lima paket undang-undang politik yang dianggap menjadi sumber
ketidakadilan, di antaranya :
·
UU No. 1 Tahun 1985 tentang Pemilihan
Umum
·
UU No. 2 Tahun 1985 tentang
Susunan, Kedudukan, Tugas dan Wewenang DPR / MPR
·
UU No. 3 Tahun 1985 tentang
Partai Politik dan Golongan Karya.
·
UU No. 5 Tahun 1985 tentang
Referendum
·
UU No. 8 Tahun 1985 tentang
Organisasi Massa.
Perkembangan ekonomi dan pembangunan nasional dianggap telah
menimbulkan ketimpangan ekonomi yang lebih besar. Monopoli sumber ekonomi oleh
kelompok tertentu, konglomerasi, tidak mempu menghapuskan kemiskinan pada
sebagian besar masyarakat Indonesia. Kondisi dan situasi Politik di tanah air
semakin memanas setelah terjadinya peristiwa kelabu pada tanggal 27 Juli 1996.
Peristiwa ini muncul sebagai akibat terjadinya pertikaian di dalam internal
Partai Demokrasi Indonesia (PDI).
Krisis politik sebagai faktor penyebab terjadinya gerakan
reformasi itu, bukan hanya menyangkut masalah sekitar konflik PDI saja, tetapi
masyarakat menuntut adanya reformasi baik didalam kehidupan masyarakat, maupun
pemerintahan Indonesia. Di dalam kehidupan politik, masyarakat beranggapan
bahwa tekanan pemerintah pada pihak oposisi sangat besar, terutama terlihat
pada perlakuan keras terhadap setiap orang atau kelompok yang menentang atau
memberikan kritik terhadap kebijakan-kebijakan yang diambil atau dilakukan oleh
pemerintah. Selain itu, masyarakat juga menuntut agar di tetapkan tentang
pembatasan masa jabatan Presiden.
Terjadinya ketegangan politik
menjelang pemilihan umum tahun 1997 telah memicu
munculnya kerusuhan baru yaitu
konflik antar agama dan etnik yang berbeda. Menjelang akhir kampanye pemilihan
umum tahun 1997, meletus kerusuhan di Banjarmasin yang banyak memakan korban
jiwa.
Pemilihan umum tahun 1997
ditandai dengan kemenangan Golkar secara mutlak. Golkar yang meraih kemenangan
mutlak memberi dukungan terhadap pencalonan kembali Soeharto sebagai Presiden
dalam Sidang Umum MPR tahun 1998 – 2003. Sedangkan di kalangan masyarakat yang
dimotori oleh para mahasiswa berkembang arus yang sangat kuat untuk menolak
kembali pencalonan Soeharto sebagai Presiden.
Dalam Sidang Umum MPR bulan Maret 1998 Soeharto terpilih sebagai
Presiden Republik Indonesia dan BJ. Habibie sebagai Wakil Presiden. Timbul
tekanan pada kepemimpinan Presiden Soeharto yang dating dari para mahasiswa dan
kalangan intelektual.
2. Krisis Hukum
Pelaksanaan hukum pada masa pemerintahan Orde Baru terdapat banyak
ketidakadilan. Sejak munculnya gerakan reformasi yang dimotori oleh kalangan
mahasiswa, masalah hukum juga menjadi salah satu tuntutannya. Masyarakat
menghendaki adanya reformasi di bidang hukum agar dapat mendudukkan
masalah-masalah hukum pada kedudukan atau posisi yang sebenarnya.
3. Krisis Ekonomi
Krisi moneter yang melanda Negara-negara
di Asia Tenggara sejak bulan Juli 1996, juga mempengaruhi perkembangan
perekonomian Indonesia. Ekonomi Indonesia ternyata belum mampu untuk menghadapi
krisi global tersebut. Krisi ekonomi Indonesia berawal dari melemahnya nilai
tukar rupiah terhadap dollar Amerika Serikat.
Ketika nilai tukar rupiah
semakin melemah, maka pertumbuhan ekonomi Indonesia menjadi 0% dan berakibat
pada iklim bisnis yang semakin bertambah lesu. Kondisi moneter Indonesia
mengalami keterpurukan yaitu dengan dilikuidasainya sejumlah bank pada akhir
tahun 1997. Sementara itu untuk membantu bank-bank yang bermasalah, pemerintah
membentuk Badan Penyehatan Perbankan Nasional (KLBI). Ternyata udaha yang
dilakukan pemerintah ini tidak dapat memberikan hasil, karena pinjaman bank-bank
bermasalah tersebut semakin bertambah besar dan tidak dapat di kembalikan
begitu saja.
Krisis moneter tidak hanya menimbulkan kesulitan keuangan Negara,
tetapi juga telah menghancurkan keuangan nasional. Faktor lain yang menyebabkan
krisis ekonomi yang melanda Indonesia tidak terlepas dari masalah utang luar
negeri. Utang Luar Negeri Indonesia Utang luar negeri Indonesia menjadi salah
satu faktor penyebab munculnya krisis ekonomi. Namun, utang luar negeri
Indonesia tidak sepenuhnya merupakan utang Negara, tetapi sebagian lagi
merupakan utang swasta. Utang yang menjadi tanggungan Negara hingga 6 februari
1998 mencapai 63,462 miliar dollar Amerika Serikat, utang pihak swasta mencapai
73,962 miliar dollar Amerika Serikat. Akibat dari utang-utang tersebut maka
kepercayaan luar
negeri terhadap Indonesia semakin menipis. Keadaan seperti ini
juga dipengaruhi oleh keadaan perbankan di Indonesia yang di anggap tidak sehat
karena adanya kolusi dan korupsi serta tingginya kredit macet.
Penyimpangan Pasal 33 UUD 1945
Pemerintah Orde Baru mempunyai tujuan menjadikan Negara Republik Indonesia
sebagai Negara industri, namun tidak mempertimbangkan kondisi riil di
masyarakat. Masyarakat Indonesia merupakan sebuah masyarakat agrasis dan
tingkat pendidikan yang masih rendah.
Sementara itu, pengaturan perekonomian pada masa pemerintahan Orde
Baru sudah jauh menyimpang dari sistem perekonomian Pancasila. Dalam Pasal 33
UUD 1945 tercantum bahwa dasar demokrasi ekonomi, produksi dikerjakan oleh
semua untuk semua di bawah pimpinan atau pemilikan anggota-anggota masyarakat.
Sebaliknya, sistem ekonomi yang berkembang pada masa pemerintahan Orde Baru
adalah sistem ekonomi kapitalis yang dikuasai oleh para konglomerat dengan
berbagai bentuk monopoli, oligopoly, dan diwarnai dengan korupsi dan kolusi.
Pola Pemerintahan Sentralistis
Sistem pemerintahan yang dilaksanakan oleh pemerintah Orde Baru bersifat
sentralistis. Di dalam pelaksanaan pola pemerintahan sentralistis ini semua
bidang kehidupan berbangsa dan bernegara diatur secara sentral dari pusat
pemerintah yakni di Jakarta.
Pelaksanaan politik sentralisasi yang sangat menyolok terlihat
pada bidang ekonomi. Ini terlihat dari sebagian besar kekayaan dari
daerah-daerah diangkut ke pusat. Hal ini menimbulkan ketidakpuasan pemerintah
dan rakyat di daerah terhadap pemerintah pusat. Politik sentralisasi ini juga
dapat dilihat dari pola pemberitaan pers yang bersifat Jakarta-sentris, karena
pemberitaan yang berasala dari Jakarta selalu menjadi berita utama. Namun
peristiwa yang terjadi di daerah yang kurang kaitannya dengan kepentingan pusat
biasanya kalah bersaing dengan berita-barita yang terjadi di Jakarta dalam
merebut ruang, halaman, walaupun yang memberitakan itu pers daerah.
4. Krisis Kepercayaan
Demontrasi di lakukan oleh para
mahasiswa bertambah gencar setelah pemerintah mengumumkan kenaikan harga BBM
dan ongkos Elang Mulia Lesmana, Heri Hartanto, Hendriawan Lesmana, dan Hafidhin
Royan.
Tragedi Trisakti itu telah mendorong munculnya solidaritas dari
kalangan kampus dan masyarakat yang menantang kebijakan pemerintahan yang
dipandang tidak demokratis dan tidak merakyat.
Soeharto kembali ke Indonesia,
namun tuntutan dari masyarakat agar Presiden Soeharto mengundurkan diri semakin
banyak disampaikan. Rencana kunjungan mahasiswa ke Gedung
DPR / MPR untuk melakukan
dialog dengan para pimpinan DPR / MPR akhirnya berubah menjadi mimbar bebas dan
mereka memilih untuk tetap tinggal di gedung wakil rakyat tersebut sebelum
tuntutan reformasi total di penuhinya. Tekanan-tekanan para mahasiswa lewat
demontrasinya agar presiden Soeharto mengundurkan diri akhirnya mendapat
tanggapan dari Harmoko sebagai pimpinan DPR / MPR. Maka pada tanggal 18 Mei
1998 pimpinan DPR/MPR mengeluarkan pernyataan agar Presiden Soeharto
mengundurkan diri.
Presiden Soeharto mengadakan
pertemuan dengan tokoh-tokoh agama, tokoh-tokoh masyarakat di Jakarta. Kemudian
Presiden mengumumkan tentang pembentukan Dewan Reformasi, melakukan perubahan
kabinet, segera melakukan Pemilihan Umum dan tidak bersedia dicalonkan kembali
sebagai Presiden.
Dalam perkembangannya, upaya
pembentukan Dewan Reformasi dan perubahan kabinet tidak dapat dilakukan.
Akhirnya pada tanggal 21 Mei 1998 Presiden Soeharto menyatakan mengundurkan
diri/berhenti sebagai Presiden Republik Indonesia dan menyerahkan Jabatan
Presiden kepada Wakil Presiden Republik Indonesia, B.J. Habibie dan langsung
diambil sumpahnya oleh Mahkamah Agung sebagai Presiden Republik Indonesia yang
baru di Istana.
0 Komentar