Pertempuran 5 HARI DI SEMARAN


Kisah Pertempuran 5 hari di Semarang

 

  • Pada 1 Maret 1942, tentara Jepang mendarat di Pulau Jawa, dan tujuh hari kemudian, tepatnya, 8 Maret, pemerintah kolonial Belanda menyerah tanpa syarat kepada Jepang. Sejak itu, Indonesia diduduki oleh Jepang
  • Tiga tahun kemudian, Jepang menyerah tanpa syarat kepada sekutu setelah dijatuhkannya bom atom (oleh Amerika Serikat) di Hiroshima dan Nagasaki. Peristiwa itu terjadi pada 6 dan 9 Agustus 1945 Mengisi kekosongan tersebut, Indonesia kemudian memproklamirkan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945.
  • Hal pertama yang menyulut kemarahan para pemuda Indonesia adalah ketika pemuda Indonesia memindahkan tawanan Jepang dari Cepiring ke Bulu, dan di tengah jalan mereka kabur dan bergabung dengan pasukan Kidō Butai dibawah pimpinan Jendral Nakamura. Kidō Butai terkenal sebagai pasukan yang paling berani, dan untuk maksud mencari perlindungan mereka bergabung bersama pasukan Kidō Butai di Jatingaleh.
Setelah kaburnya tawanan Jepang, pada Minggu, 14 Oktober 1945, pukul 6.30 WIB, pemuda-pemuda rumah sakit mendapat instruksi untuk mencegat dan memeriksa mobil Jepang yang lewat di depan RS Purusara. Mereka menyita sedan milik Kempetai dan merampas senjata mereka. Sore harinya, para pemuda ikut aktif mencari tentara Jepang dan kemudian menjebloskannya ke Penjara Bulu. Sekitar pukul 18.00 WIB, pasukan Jepang bersenjata lengkap melancarkan serangan mendadak sekaligus melucuti delapan anggota polisi istimewa yang waktu itu sedang menjaga sumber air minum bagi warga Kota Semarang Reservoir Siranda di Candilama. Kedelapan anggota Polisi Istimewa itu disiksa dan dibawa ke markas Kidō Butai di Jatingaleh. Sore itu tersiar kabar tentara Jepang menebarkan racun ke dalam reservoir itu. Rakyat pun menjadi gelisah. Cadangan air di Candi, desa Wungkal, waktu itu adalah satu-satunya sumber mata air di kota Semarang. Sebagai kepala RS Purusara (sekarang RSUP Dr. Kariadi) Dokter Kariadi berniat memastikan kabar tersebut. Selepas Magrib, ada telepon dari pimpinan Rumah Sakit Purusara, yang memberitahukan agar dr. Kariadi, Kepala Laboratorium Purusara segera memeriksa Reservoir Siranda karena berita Jepang menebarkan racun itu. Dokter Kariadi kemudian dengan cepat memutuskan harus segera pergi ke sana. Suasana sangat berbahaya karena tentara Jepang telah melakukan serangan di beberapa tempat termasuk di jalan menuju ke Reservoir Siranda. Isteri dr. Kariadi, drg. Soenarti mencoba mencegah suaminya pergi mengingat keadaan yang sangat genting itu. Namun dr. Kariadi berpendapat lain, ia harus menyelidiki kebenaran desas-desus itu karena menyangkut nyawa ribuan warga Semarang. Akhirnya drg. Soenarti tidak bisa berbuat apa-apa. Ternyata dalam perjalanan menuju Reservoir Siranda itu, mobil yang ditumpangi dr. Kariadi dicegat tentara Jepang di Jalan Pandanaran. Bersama tentara pelajar yang menyopiri mobil yang ditumpanginya, dr. Kariadi ditembak secara keji. Ia sempat dibawa ke rumah sakit sekitar pukul 23.30 WIB. Ketika tiba di kamar bedah, keadaan dr. Kariadi sudah sangat gawat. Nyawa dokter muda itu tidak dapat diselamatkan. Ia gugur dalam usia 40 tahun satu bulan.




Setelah 2 Kota di Jepang yaitu Hirosima dan Nagasaki di Bom Atom oleh tentara Sekutu, pada tanggal 14 Agustus 1945 Jepang menyerah tanpa syarat kepada Sekutu. Selanjutnya tentara Sekutu menugaskan kepada Laksamana Madya Lord Louis Mounbatten, Komandan SEAC (South East Asian Command) atau Komandan tentara Sekutu Asia Tenggara untuk membebaskan Indonesia dari Jepang serta melucuti persenjataannya.

Kemudian tentara Sekutu di Asia Tenggara membentuk AFNEI (Allied Forces Netherland East Indies) untuk mendaratkan tentara Sekutu di Indonesia bagian Barat, di bawah pimpinan Letnan Jenderal Sir Phillips Christison. Kemudaian AFNEI mendaratkan pasukannya sebanyak 3 Divisi, masing-masing :
a. Divisi India XXVI ke Sumatera
b. Divisi India ke XXIII ke Jawa Barat dan Jawa Tengah
c. Divisi India ke V ke Jawa Timur
Ternyata yang mendarat terlebih dahulu di Jawa adalah Divisi India XXIII yang di pimpin oleh seorang Panglima yaitu Mayor Jenderal D.C. Hawthorn. Selanjutnya Divisi India XXIII yang terdiri dari 3 Brigade dibagi-bagi tugasnya masing-masing :
a. Brigade “Bethel” dikirim ke Semarang
b. Brigade “Mc Donald” dikirim ke Bandung
c. Brigade ke-49 didaratkan ke Surabaya
Pertempuran 5 Hari di Kota Semarang
Keadaan kota Semarang beberapa hari setelah Proklamasi Kemerdekaan RI, situasinya agak berbeda dari kota-kota lain. Setelah kaiji dapat direbut dari tangan Jepang, semua kekuatan pemuda Semarang dikerahkan untuk menghadapi penyerahan senjata oleh militer Jepang yang berpusat di Kidoo Boetai kepada para pemuda pejuang dan BKR Semarang. Akan tetapi, karena beberapa sebab, penyerahan senjata itu gagal. Bahkan terjadi malapetaka besar di kota Semarang, yaitu meletusnya pertempuran yang disebut “Pertempuran 5 Hari” di kota Semarang.
Apa yang menyebabkan para pemuda pejuang pada waktu itu mengalami clash bersenjata dengan pihak tentara Jepang? Padahal sesungguhnya setelah berakhirnya Perang Dunia II, banyak komandan tentara Jepang di Indonesia sudah lelah dan tak peduli lagi dengan pengambilalihan kekuasaan pejuang Pertempuran 5 Hari B01 Indonesia di daerah yang mereka kuasai. Namun ada beberapa faktor yang telah menyebabkan mereka akhirnya melawan pihak Indonesia, yaitu:
1.     Mereka merasa terikat oleh perintah tentara Sekutu untuk mempertahankan status quo di daerah-daerah yang mereka duduki, dengan disertai ancaman hukuman bila hal itu tidak mereka laksanakan.
2.     Para pemuda pejuang itu kurang pandai memanfaatkan kelemahan psikologis tentara Jepang yang telah patah semangat untuk menyerah kepada Indonesia dengan jaminan fisik keselamatan. Sering terjadi, rakyat Indonesia pada waktu itu sudah sangat membenci Jepang, sehingga mereka langsung menyerang pasukan Jepang yang sudah sangat terjepit itu. Padahal, sesungguhnya mereka bersedia menyerah kepada pihak Indonesia.
3.     Sering pula terjadi kedua belah pihak, baik tentara Jepang maupun tentara pejuang, terbawa emosi dan mudah terpancing. Satu letusan kecil senjata yang tidak disengaja saja akan dapat menimbulkan kemarahan dan berakhir dengan pertempuran hebat yang menimbulkan banyak korban.
Pertempuran 5 hari di Semarang penyebabnya adalah faktor ketiga tersebut. Peristiwa itu dimulai ketika muncul berita bahwa akan ada penyerahan senjata oleh para petugas pemerintah Jepang, dan para pemuda pejuang beserta BKR akan mengambil alihnya. Sebagian senjata telah dapat dikumpulkan dan kemudian dipindahkan ke suatu tempat di gedung sekolah di lereng bukit bernama Bergota. Tetapi ketika pimpinan BKR Laut Semarang dan pemerintah RI setempat bersama para pemuda pejuang berusaha menghubungi tentara Jepang  Kidoo Butai di Jatingaleh untuk menyerahkan senjata yang masih mereka kuasai, sikap militer Jepang di sana tidak kooperatif. Keadaan pun menjadi panas.
Ditambah lagi dengan adanya peristiwa perobekan bendera Nasional Merah Putih oleh seorang tentara Jepang, membuat amarah rakyat tak terkendali lagi. Penguasa Jepang tahu bahwa para pemuda pejuang sangat berapi-api untuk melawan, sehingga bukannya mereka menyerahkan senjata tetapi malah memerintahkan Kidoo Butai, pasukan istimewa Jepang di Jatingaleh itu, untuk turun bergerak ke utara menguasai kembali kota Semarang dan berusaha merebut kembali senjata yang telah dikuasai BKR dan para pemuda pejuang.
Jadi, bergeraknya pasukan Kidoo Butai telah memicu meletusnya pertempuran 5 hari di Semarang, yang berlangsung dari 14 s/d 19 Oktober 1945. Pertempuran itu berlangsung begitu sengit, sehingga menimbulkan korban jiwa tidak sedikit dari kedua belah pihak. Sejumlah catatan menyebutkan, lebih kurang 2.000 jiwa pemuda pejuang dan rakyat Indonesia gugur dalam pertempuran tersebut. Sedangkan dari pihak tentara Jepang tidak kurang dari 1.000 anggota tentaranya tewas terbunuh. Dengan gigih semua unsur TKR Semarang, termasuk TKR Laut, beserta seluruh tenaga Laskar Rakyat Semarang, bahu-membahu menghadapi serangan tentara Jepang dalam pertempuran yang fenomenal itu.
Begitu pertempuran 5 hari di Semarang ini mereda, mendaratlah di pantai Semarang tentara Sekutu yang terdiri dari tentara Inggris, Belanda, Australia, Gurkha, dan Sikh. Dengan demikian pada 21 Oktober 1945 berkecamuk lagi pertempuran dahsyat antara TKR dan pemuda-pemuda yang tergabung dalam organisasi perlawanan Indonesia melawan tentara Sekutu.
Hijrah ke Demak dan Menerobos Tegal
Beberapa tokoh BKR Laut Semarang yang dahulu berasal dari Pemuda Kaiji dan Pemuda SPT (Sekolah Pelayaran Tinggi) Semarang di bawah pimpinan Nazir, Agoes Soebekti, Soekamto, Wiranto dan lain-lain, berhijrah ke Demak dan Pati. Di kota Demak dan Pati ini para pemuda itu dan para pemuda pecinta Samodra lainnya segera mengadakan konsolidasi. Konsolidasi yang mula-mula terbentuk adalah Laskar Rakyat Laut, yang kemudian kembali ke bentuk awalnya, yaitu TKR Laut. TKR sendiri sesuai dengan keputusan Presiden RI tanggal 5 Oktober 1945 kemudian menetapkan hari jadinya sama dengan tanggal keputusan itu.
Dalam pertimbangan kemudian, karena daerah Demak-Jepara dipandang kurang strategis sebagai basis pertahanan melawan Sekutu/Belanda, maka diputuskan untuk segera meninggalkan daerah ini. Pasukan direncanakan akan dipindahkan ke kota Tegal, yaitu sebuah kota di pantai utara Jawa Tengah. Kota ini dipandang memiliki potensi yang lebih menjanjikan untuk membina masa depan tentara terutama ditinjau dari segi strategi kemaritiman. Usaha menerobos kota Semarang untuk mencapai Tegal oleh para pasukan TKR Laut ini, telah menimbulkan cerita legendaris di kalangan para pejuang bahari yang ikut ambil bagian dalam usaha penerobosan dari Demak itu.
Perlu dicatat di sini munculnya seorang tokoh pimpinan TKR Laut Demak bernama Darwis Djamin. Ia seorang saudagar kaya, yang memiliki kemampuan mengelola perlengkapan dan perbekalan anggota TKR Laut Demak. Ia juga memiliki peranan cukup penting dalam usaha memindahkan pasukan pejuang dari Demak ke Tegal ini.
Satu-satunya jalan yang dapat ditempuh untuk menerobos Semarang ialah dengan jalur kereta api. Karenanya, semua pegawai KA di daerah Semarang segera dihubungi oleh pimpinan TKR Laut agar dapat membantu usaha penerobosan pasukan dari Demak ke Tegal itu. Kode-kode sandi atau pun tanda-tanda isyarat dan hal-hal yang diperlukan untuk mengawal keselamatan para penerobos pejuang pun segera diatur dan diberitahukan secara rahasia kepada para pegawai kereta api mulai dari masinis, tukang rem, sampai dengan tukang langsirnya.
Demi keamanan dan kelancaran, beberapa pejabat KA dan koleganya yang tidak dapat dipercaya, segera diganti dengan orang lain dari pihak pejuang kemerdekaan. Pasukan pun segera disiapkan masuk ke gerbong kereta api secara tertib. Semua jendela dan pintu diperintahkan untuk ditutup terutama setelah kereta api mendekati kota Semarang. Pada waktu kereta memasuki Stasiun Tawang dan Poncol, kereta yang berjalan dengan kecepatan normal tanpa tanda-tanda mau berhenti, serta merta dipacu dengan kecepatan tinggi. Kereta api berjalan cepat melaju tanpa berhenti walaupun memasuki stasiun besar. Stasiun Tawang dan Poncol dilalui begitu saja tanpa memperhatikan tanda-tanda dari kepala stasiun kereta api di kedua stasiun tersebut.
Kondektur dan penumpang yang menunggu di kedua stasiun Semarang itu melongo keheranan ketika melihat kereta api meluncur persis di depan hidung mereka. Demikian pula para petugas kereta api dan para serdadu Sekutu yang sedang berdinas berjaga pada waktu itu. Mereka baru menyadari setelah kereta api berjalan beberapa puluh meter lewat meninggalkan stelling (posisi) mereka. Segera setelah mereka menyadari hal itu, barulah para serdadu Sekutu itu pun bergerak dan langsung memuntahkan peluru sambil mengejar kereta api yang sudah terlanjur lewat dengan kecepatan tinggi dan terus menjauh. Akhirnya, mereka hanya mampu melihat gerbong-gerbong kereta api yang sudah berada di luar jarak tembak dan tak sanggup mereka kejar lagi. Kereta berjalan terus tanpa hambatan dan selamat sampai di kota Tegal.
Tegal Basis Perjuangan dan Pertahanan Maritim
Pada waktu rombongan yang dipimpin Darwis Djamin dari Demak tiba di Tegal, di kota ini sejak tanggal 30  September 1945 telah terbentuk BKR Laut sebagai realisasi Dekrit Presiden RI lewat pidato radio tanggal 23 Agustus 1945. Pada awalnya anggotanya berasal dari tenaga eks SPT Tegal sendiri dengan jumlah kurang lebih 40 orang, lalu berkembang dan diperkuat oleh anggotanya berasal dari pemuda pelaut, bekas guru dan murid SPT (Sekolah Pelayaran Tinggi), anggota Heiho, Kaigun Heiho, anggota PETA, pegawai pelabuhan, pegawai perikanan laut, pegawai rumah penjara serta anggota bea dan cukai. Setelah terbentuk mereka langsung mengadakan kegiatan antara lain melucuti senjata tentara Jepang, mengambil alih kapal yang ada di Pelabuhan Tegal dan bergerak aktif dalam KNI Tegal. Markas besar BKR Laut Tegal saat itu menempati gedung bekas jawatan pelabuhan.
Pimpinan pertama dalam tahap konsolidasi  TKR Laut  di Tegal sebelum sebutan Pangkalan IV ALRI Tegal lahir adalah Darwis Djamin seorang tokoh maritim Demak asal Sumatera Barat, dalam tubuh Pangkalan IV (TKR) Tegal, yang paling mengalami perkembangan pesat adalah Corps mariniers (CM) atau yang sering juga disebut sebagai Korps Ketentaran ALRI. Pangkalan ini mempunyai 7 Batalyon dan merupakan yang terbesar dibandingkan pangkalan-pangkalan lain di Indonesia saat itu. Peran Pangkalan IV ALRI Tegal sangat penting untuk upaya mempertahankan kemerdekaan RI, banyak misi-misi sabotase, penyelundupan dan dan upaya lain yang dianggap perlu dilakukan oleh Pangkalan IV ALRI Tegal.

Posting Komentar

0 Komentar