Kisah Pertempuran 5 hari di Semarang
- Pada 1 Maret
1942,
tentara
Jepang
mendarat di Pulau Jawa, dan tujuh hari kemudian,
tepatnya, 8 Maret,
pemerintah kolonial Belanda menyerah tanpa syarat kepada
Jepang. Sejak itu, Indonesia diduduki oleh Jepang
- Tiga tahun kemudian, Jepang
menyerah tanpa syarat kepada sekutu setelah dijatuhkannya bom atom (oleh
Amerika Serikat) di Hiroshima dan Nagasaki.
Peristiwa itu terjadi pada 6
dan 9
Agustus 1945 Mengisi kekosongan tersebut, Indonesia kemudian
memproklamirkan kemerdekaannya pada 17
Agustus 1945.
- Hal pertama yang menyulut
kemarahan para pemuda Indonesia adalah ketika pemuda Indonesia
memindahkan tawanan Jepang dari Cepiring ke Bulu, dan di
tengah jalan mereka kabur dan bergabung dengan pasukan Kidō Butai
dibawah pimpinan Jendral Nakamura. Kidō Butai terkenal sebagai
pasukan yang paling berani, dan untuk maksud mencari perlindungan mereka
bergabung bersama pasukan Kidō Butai di Jatingaleh.
Setelah kaburnya tawanan Jepang, pada Minggu, 14 Oktober
1945, pukul
6.30 WIB, pemuda-pemuda rumah sakit mendapat instruksi untuk mencegat dan
memeriksa mobil Jepang yang lewat di depan RS Purusara. Mereka menyita sedan milik
Kempetai dan merampas senjata mereka. Sore harinya, para pemuda ikut aktif
mencari tentara Jepang dan kemudian menjebloskannya ke Penjara Bulu. Sekitar
pukul 18.00 WIB, pasukan Jepang bersenjata lengkap melancarkan serangan
mendadak sekaligus melucuti delapan anggota polisi istimewa yang waktu itu
sedang menjaga sumber air minum bagi warga Kota Semarang Reservoir Siranda di Candilama. Kedelapan anggota Polisi
Istimewa itu disiksa dan dibawa ke markas Kidō Butai di Jatingaleh. Sore
itu tersiar kabar tentara Jepang menebarkan racun ke dalam reservoir itu.
Rakyat pun menjadi gelisah. Cadangan air di Candi, desa Wungkal, waktu itu
adalah satu-satunya sumber mata air di kota Semarang.
Sebagai kepala RS Purusara (sekarang RSUP Dr. Kariadi) Dokter
Kariadi berniat memastikan kabar tersebut. Selepas Magrib, ada telepon dari
pimpinan Rumah Sakit Purusara, yang memberitahukan agar dr. Kariadi, Kepala Laboratorium
Purusara segera memeriksa Reservoir Siranda karena berita Jepang menebarkan
racun itu. Dokter Kariadi kemudian dengan cepat memutuskan harus segera pergi
ke sana. Suasana sangat berbahaya karena tentara Jepang telah melakukan
serangan di beberapa tempat termasuk di jalan menuju ke Reservoir Siranda.
Isteri dr. Kariadi, drg. Soenarti mencoba mencegah suaminya pergi mengingat
keadaan yang sangat genting itu. Namun dr. Kariadi berpendapat lain, ia harus
menyelidiki kebenaran desas-desus itu karena menyangkut nyawa ribuan warga
Semarang. Akhirnya drg. Soenarti tidak bisa berbuat apa-apa. Ternyata dalam
perjalanan menuju Reservoir Siranda itu, mobil yang ditumpangi dr. Kariadi
dicegat tentara Jepang di Jalan Pandanaran. Bersama
tentara pelajar yang menyopiri mobil yang ditumpanginya, dr. Kariadi ditembak
secara keji. Ia sempat dibawa ke rumah sakit sekitar pukul 23.30 WIB. Ketika
tiba di kamar bedah, keadaan dr. Kariadi sudah sangat gawat. Nyawa dokter muda
itu tidak dapat diselamatkan. Ia gugur dalam usia 40 tahun satu bulan.
Setelah 2
Kota di Jepang yaitu Hirosima dan Nagasaki di Bom Atom oleh tentara Sekutu,
pada tanggal 14 Agustus 1945 Jepang menyerah tanpa syarat kepada Sekutu.
Selanjutnya tentara Sekutu menugaskan kepada Laksamana Madya Lord Louis
Mounbatten, Komandan SEAC (South East Asian Command) atau Komandan tentara
Sekutu Asia Tenggara untuk membebaskan Indonesia dari Jepang serta melucuti
persenjataannya.
Kemudian tentara Sekutu di Asia Tenggara membentuk AFNEI (Allied Forces
Netherland East Indies) untuk mendaratkan tentara Sekutu di Indonesia bagian
Barat, di bawah pimpinan Letnan Jenderal Sir Phillips Christison. Kemudaian
AFNEI mendaratkan pasukannya sebanyak 3 Divisi, masing-masing :
a. Divisi India XXVI ke Sumatera
b. Divisi India ke XXIII ke Jawa Barat dan Jawa Tengah
c. Divisi India ke V ke Jawa Timur
Ternyata yang mendarat terlebih dahulu di Jawa adalah Divisi India XXIII yang
di pimpin oleh seorang Panglima yaitu Mayor Jenderal D.C. Hawthorn. Selanjutnya
Divisi India XXIII yang terdiri dari 3 Brigade dibagi-bagi tugasnya
masing-masing :
a. Brigade “Bethel” dikirim ke Semarang
b. Brigade “Mc Donald” dikirim ke Bandung
c. Brigade ke-49 didaratkan ke Surabaya
Pertempuran
5 Hari di Kota Semarang
Keadaan kota
Semarang beberapa hari setelah Proklamasi Kemerdekaan RI, situasinya agak
berbeda dari kota-kota lain. Setelah kaiji dapat direbut dari tangan Jepang,
semua kekuatan pemuda Semarang dikerahkan untuk menghadapi penyerahan senjata
oleh militer Jepang yang berpusat di Kidoo Boetai kepada para pemuda pejuang
dan BKR Semarang. Akan tetapi, karena beberapa sebab, penyerahan senjata itu
gagal. Bahkan terjadi malapetaka besar di kota Semarang, yaitu meletusnya
pertempuran yang disebut “Pertempuran 5 Hari” di kota Semarang.
Apa yang
menyebabkan para pemuda pejuang pada waktu itu mengalami clash bersenjata
dengan pihak tentara Jepang? Padahal sesungguhnya setelah berakhirnya Perang
Dunia II, banyak komandan tentara Jepang di Indonesia sudah lelah dan tak
peduli lagi dengan pengambilalihan kekuasaan pejuang Pertempuran 5 Hari B01
Indonesia di daerah yang mereka kuasai. Namun ada beberapa faktor yang telah
menyebabkan mereka akhirnya melawan pihak Indonesia, yaitu:
1. Mereka merasa terikat oleh perintah
tentara Sekutu untuk mempertahankan status quo di daerah-daerah yang mereka
duduki, dengan disertai ancaman hukuman bila hal itu tidak mereka laksanakan.
2. Para pemuda pejuang itu kurang
pandai memanfaatkan kelemahan psikologis tentara Jepang yang telah patah
semangat untuk menyerah kepada Indonesia dengan jaminan fisik keselamatan.
Sering terjadi, rakyat Indonesia pada waktu itu sudah sangat membenci Jepang,
sehingga mereka langsung menyerang pasukan Jepang yang sudah sangat terjepit
itu. Padahal, sesungguhnya mereka bersedia menyerah kepada pihak Indonesia.
3. Sering pula terjadi kedua belah
pihak, baik tentara Jepang maupun tentara pejuang, terbawa emosi dan mudah
terpancing. Satu letusan kecil senjata yang tidak disengaja saja akan dapat
menimbulkan kemarahan dan berakhir dengan pertempuran hebat yang menimbulkan
banyak korban.
Pertempuran
5 hari di Semarang penyebabnya adalah faktor ketiga tersebut. Peristiwa itu
dimulai ketika muncul berita bahwa akan ada penyerahan senjata oleh para
petugas pemerintah Jepang, dan para pemuda pejuang beserta BKR akan mengambil
alihnya. Sebagian senjata telah dapat dikumpulkan dan kemudian dipindahkan ke
suatu tempat di gedung sekolah di lereng bukit bernama Bergota. Tetapi ketika
pimpinan BKR Laut Semarang dan pemerintah RI setempat bersama para pemuda
pejuang berusaha menghubungi tentara Jepang Kidoo Butai di Jatingaleh
untuk menyerahkan senjata yang masih mereka kuasai, sikap militer Jepang di
sana tidak kooperatif. Keadaan pun menjadi panas.
Ditambah
lagi dengan adanya peristiwa perobekan bendera Nasional Merah Putih oleh
seorang tentara Jepang, membuat amarah rakyat tak terkendali lagi. Penguasa
Jepang tahu bahwa para pemuda pejuang sangat berapi-api untuk melawan, sehingga
bukannya mereka menyerahkan senjata tetapi malah memerintahkan Kidoo Butai,
pasukan istimewa Jepang di Jatingaleh itu, untuk turun bergerak ke utara
menguasai kembali kota Semarang dan berusaha merebut kembali senjata yang telah
dikuasai BKR dan para pemuda pejuang.
Jadi,
bergeraknya pasukan Kidoo Butai telah memicu meletusnya pertempuran 5 hari di
Semarang, yang berlangsung dari 14 s/d 19 Oktober 1945. Pertempuran itu
berlangsung begitu sengit, sehingga menimbulkan korban jiwa tidak sedikit dari
kedua belah pihak. Sejumlah catatan menyebutkan, lebih kurang 2.000 jiwa pemuda
pejuang dan rakyat Indonesia gugur dalam pertempuran tersebut. Sedangkan dari
pihak tentara Jepang tidak kurang dari 1.000 anggota tentaranya tewas terbunuh.
Dengan gigih semua unsur TKR Semarang, termasuk TKR Laut, beserta seluruh
tenaga Laskar Rakyat Semarang, bahu-membahu menghadapi serangan tentara Jepang
dalam pertempuran yang fenomenal itu.
Begitu
pertempuran 5 hari di Semarang ini mereda, mendaratlah di pantai Semarang
tentara Sekutu yang terdiri dari tentara Inggris, Belanda, Australia, Gurkha,
dan Sikh. Dengan demikian pada 21 Oktober 1945 berkecamuk lagi pertempuran
dahsyat antara TKR dan pemuda-pemuda yang tergabung dalam organisasi perlawanan
Indonesia melawan tentara Sekutu.
Hijrah ke
Demak dan Menerobos Tegal
Beberapa
tokoh BKR Laut Semarang yang dahulu berasal dari Pemuda Kaiji dan Pemuda SPT
(Sekolah Pelayaran Tinggi) Semarang di bawah pimpinan Nazir, Agoes Soebekti,
Soekamto, Wiranto dan lain-lain, berhijrah ke Demak dan Pati. Di kota Demak dan
Pati ini para pemuda itu dan para pemuda pecinta Samodra lainnya segera
mengadakan konsolidasi. Konsolidasi yang mula-mula terbentuk adalah Laskar
Rakyat Laut, yang kemudian kembali ke bentuk awalnya, yaitu TKR Laut. TKR
sendiri sesuai dengan keputusan Presiden RI tanggal 5 Oktober 1945 kemudian
menetapkan hari jadinya sama dengan tanggal keputusan itu.
Dalam
pertimbangan kemudian, karena daerah Demak-Jepara dipandang kurang strategis
sebagai basis pertahanan melawan Sekutu/Belanda, maka diputuskan untuk segera
meninggalkan daerah ini. Pasukan direncanakan akan dipindahkan ke kota Tegal,
yaitu sebuah kota di pantai utara Jawa Tengah. Kota ini dipandang memiliki
potensi yang lebih menjanjikan untuk membina masa depan tentara terutama
ditinjau dari segi strategi kemaritiman. Usaha menerobos kota Semarang untuk
mencapai Tegal oleh para pasukan TKR Laut ini, telah menimbulkan cerita
legendaris di kalangan para pejuang bahari yang ikut ambil bagian dalam usaha
penerobosan dari Demak itu.
Perlu
dicatat di sini munculnya seorang tokoh pimpinan TKR Laut Demak bernama Darwis
Djamin. Ia seorang saudagar kaya, yang memiliki kemampuan mengelola
perlengkapan dan perbekalan anggota TKR Laut Demak. Ia juga memiliki peranan
cukup penting dalam usaha memindahkan pasukan pejuang dari Demak ke Tegal ini.
Satu-satunya
jalan yang dapat ditempuh untuk menerobos Semarang ialah dengan jalur kereta
api. Karenanya, semua pegawai KA di daerah Semarang segera dihubungi oleh
pimpinan TKR Laut agar dapat membantu usaha penerobosan pasukan dari Demak ke
Tegal itu. Kode-kode sandi atau pun tanda-tanda isyarat dan hal-hal yang
diperlukan untuk mengawal keselamatan para penerobos pejuang pun segera diatur
dan diberitahukan secara rahasia kepada para pegawai kereta api mulai dari
masinis, tukang rem, sampai dengan tukang langsirnya.
Demi
keamanan dan kelancaran, beberapa pejabat KA dan koleganya yang tidak dapat
dipercaya, segera diganti dengan orang lain dari pihak pejuang kemerdekaan.
Pasukan pun segera disiapkan masuk ke gerbong kereta api secara tertib. Semua
jendela dan pintu diperintahkan untuk ditutup terutama setelah kereta api
mendekati kota Semarang. Pada waktu kereta memasuki Stasiun Tawang dan Poncol,
kereta yang berjalan dengan kecepatan normal tanpa tanda-tanda mau berhenti,
serta merta dipacu dengan kecepatan tinggi. Kereta api berjalan cepat melaju
tanpa berhenti walaupun memasuki stasiun besar. Stasiun Tawang dan Poncol
dilalui begitu saja tanpa memperhatikan tanda-tanda dari kepala stasiun kereta
api di kedua stasiun tersebut.
Kondektur
dan penumpang yang menunggu di kedua stasiun Semarang itu melongo keheranan
ketika melihat kereta api meluncur persis di depan hidung mereka. Demikian pula
para petugas kereta api dan para serdadu Sekutu yang sedang berdinas berjaga
pada waktu itu. Mereka baru menyadari setelah kereta api berjalan beberapa
puluh meter lewat meninggalkan stelling (posisi) mereka. Segera setelah mereka
menyadari hal itu, barulah para serdadu Sekutu itu pun bergerak dan langsung
memuntahkan peluru sambil mengejar kereta api yang sudah terlanjur lewat dengan
kecepatan tinggi dan terus menjauh. Akhirnya, mereka hanya mampu melihat
gerbong-gerbong kereta api yang sudah berada di luar jarak tembak dan tak
sanggup mereka kejar lagi. Kereta berjalan terus tanpa hambatan dan selamat
sampai di kota Tegal.
Tegal Basis
Perjuangan dan Pertahanan Maritim
Pada waktu
rombongan yang dipimpin Darwis Djamin dari Demak tiba di Tegal, di kota ini
sejak tanggal 30 September 1945 telah terbentuk BKR Laut sebagai
realisasi Dekrit Presiden RI lewat pidato radio tanggal 23 Agustus 1945. Pada
awalnya anggotanya berasal dari tenaga eks SPT Tegal sendiri dengan jumlah
kurang lebih 40 orang, lalu berkembang dan diperkuat oleh anggotanya berasal
dari pemuda pelaut, bekas guru dan murid SPT (Sekolah Pelayaran Tinggi),
anggota Heiho, Kaigun Heiho, anggota PETA, pegawai pelabuhan, pegawai perikanan
laut, pegawai rumah penjara serta anggota bea dan cukai. Setelah terbentuk
mereka langsung mengadakan kegiatan antara lain melucuti senjata tentara
Jepang, mengambil alih kapal yang ada di Pelabuhan Tegal dan bergerak aktif
dalam KNI Tegal. Markas besar BKR Laut Tegal saat itu menempati gedung bekas
jawatan pelabuhan.
Pimpinan
pertama dalam tahap konsolidasi TKR Laut di Tegal sebelum sebutan Pangkalan IV
ALRI Tegal lahir adalah Darwis Djamin seorang tokoh maritim
Demak asal Sumatera Barat, dalam tubuh Pangkalan IV (TKR) Tegal, yang paling
mengalami perkembangan pesat adalah Corps mariniers (CM) atau yang sering juga
disebut sebagai Korps Ketentaran ALRI. Pangkalan ini mempunyai 7 Batalyon dan
merupakan yang terbesar dibandingkan pangkalan-pangkalan lain di Indonesia saat
itu. Peran Pangkalan IV ALRI Tegal sangat penting untuk upaya
mempertahankan kemerdekaan RI, banyak misi-misi sabotase, penyelundupan dan dan
upaya lain yang dianggap perlu dilakukan oleh Pangkalan IV
ALRI Tegal.
Setelah 2
Kota di Jepang yaitu Hirosima dan Nagasaki di Bom Atom oleh tentara Sekutu,
pada tanggal 14 Agustus 1945 Jepang menyerah tanpa syarat kepada Sekutu.
Selanjutnya tentara Sekutu menugaskan kepada Laksamana Madya Lord Louis
Mounbatten, Komandan SEAC (South East Asian Command) atau Komandan tentara
Sekutu Asia Tenggara untuk membebaskan Indonesia dari Jepang serta melucuti
persenjataannya.
Kemudian tentara Sekutu di Asia Tenggara membentuk AFNEI (Allied Forces Netherland East Indies) untuk mendaratkan tentara Sekutu di Indonesia bagian Barat, di bawah pimpinan Letnan Jenderal Sir Phillips Christison. Kemudaian AFNEI mendaratkan pasukannya sebanyak 3 Divisi, masing-masing :
a. Divisi India XXVI ke Sumatera
b. Divisi India ke XXIII ke Jawa Barat dan Jawa Tengah
c. Divisi India ke V ke Jawa Timur
Ternyata yang mendarat terlebih dahulu di Jawa adalah Divisi India XXIII yang di pimpin oleh seorang Panglima yaitu Mayor Jenderal D.C. Hawthorn. Selanjutnya Divisi India XXIII yang terdiri dari 3 Brigade dibagi-bagi tugasnya masing-masing :
a. Brigade “Bethel” dikirim ke Semarang
b. Brigade “Mc Donald” dikirim ke Bandung
c. Brigade ke-49 didaratkan ke Surabaya
Pertempuran
5 Hari di Kota Semarang
Keadaan kota
Semarang beberapa hari setelah Proklamasi Kemerdekaan RI, situasinya agak
berbeda dari kota-kota lain. Setelah kaiji dapat direbut dari tangan Jepang,
semua kekuatan pemuda Semarang dikerahkan untuk menghadapi penyerahan senjata
oleh militer Jepang yang berpusat di Kidoo Boetai kepada para pemuda pejuang
dan BKR Semarang. Akan tetapi, karena beberapa sebab, penyerahan senjata itu
gagal. Bahkan terjadi malapetaka besar di kota Semarang, yaitu meletusnya
pertempuran yang disebut “Pertempuran 5 Hari” di kota Semarang.
Apa yang
menyebabkan para pemuda pejuang pada waktu itu mengalami clash bersenjata
dengan pihak tentara Jepang? Padahal sesungguhnya setelah berakhirnya Perang
Dunia II, banyak komandan tentara Jepang di Indonesia sudah lelah dan tak
peduli lagi dengan pengambilalihan kekuasaan pejuang Pertempuran 5 Hari B01
Indonesia di daerah yang mereka kuasai. Namun ada beberapa faktor yang telah
menyebabkan mereka akhirnya melawan pihak Indonesia, yaitu:
1. Mereka merasa terikat oleh perintah
tentara Sekutu untuk mempertahankan status quo di daerah-daerah yang mereka
duduki, dengan disertai ancaman hukuman bila hal itu tidak mereka laksanakan.
2. Para pemuda pejuang itu kurang
pandai memanfaatkan kelemahan psikologis tentara Jepang yang telah patah
semangat untuk menyerah kepada Indonesia dengan jaminan fisik keselamatan.
Sering terjadi, rakyat Indonesia pada waktu itu sudah sangat membenci Jepang,
sehingga mereka langsung menyerang pasukan Jepang yang sudah sangat terjepit
itu. Padahal, sesungguhnya mereka bersedia menyerah kepada pihak Indonesia.
3. Sering pula terjadi kedua belah
pihak, baik tentara Jepang maupun tentara pejuang, terbawa emosi dan mudah
terpancing. Satu letusan kecil senjata yang tidak disengaja saja akan dapat
menimbulkan kemarahan dan berakhir dengan pertempuran hebat yang menimbulkan
banyak korban.
Pertempuran
5 hari di Semarang penyebabnya adalah faktor ketiga tersebut. Peristiwa itu
dimulai ketika muncul berita bahwa akan ada penyerahan senjata oleh para
petugas pemerintah Jepang, dan para pemuda pejuang beserta BKR akan mengambil
alihnya. Sebagian senjata telah dapat dikumpulkan dan kemudian dipindahkan ke
suatu tempat di gedung sekolah di lereng bukit bernama Bergota. Tetapi ketika
pimpinan BKR Laut Semarang dan pemerintah RI setempat bersama para pemuda
pejuang berusaha menghubungi tentara Jepang Kidoo Butai di Jatingaleh
untuk menyerahkan senjata yang masih mereka kuasai, sikap militer Jepang di
sana tidak kooperatif. Keadaan pun menjadi panas.
Ditambah
lagi dengan adanya peristiwa perobekan bendera Nasional Merah Putih oleh
seorang tentara Jepang, membuat amarah rakyat tak terkendali lagi. Penguasa
Jepang tahu bahwa para pemuda pejuang sangat berapi-api untuk melawan, sehingga
bukannya mereka menyerahkan senjata tetapi malah memerintahkan Kidoo Butai,
pasukan istimewa Jepang di Jatingaleh itu, untuk turun bergerak ke utara
menguasai kembali kota Semarang dan berusaha merebut kembali senjata yang telah
dikuasai BKR dan para pemuda pejuang.
Jadi,
bergeraknya pasukan Kidoo Butai telah memicu meletusnya pertempuran 5 hari di
Semarang, yang berlangsung dari 14 s/d 19 Oktober 1945. Pertempuran itu
berlangsung begitu sengit, sehingga menimbulkan korban jiwa tidak sedikit dari
kedua belah pihak. Sejumlah catatan menyebutkan, lebih kurang 2.000 jiwa pemuda
pejuang dan rakyat Indonesia gugur dalam pertempuran tersebut. Sedangkan dari
pihak tentara Jepang tidak kurang dari 1.000 anggota tentaranya tewas terbunuh.
Dengan gigih semua unsur TKR Semarang, termasuk TKR Laut, beserta seluruh
tenaga Laskar Rakyat Semarang, bahu-membahu menghadapi serangan tentara Jepang
dalam pertempuran yang fenomenal itu.
Begitu
pertempuran 5 hari di Semarang ini mereda, mendaratlah di pantai Semarang
tentara Sekutu yang terdiri dari tentara Inggris, Belanda, Australia, Gurkha,
dan Sikh. Dengan demikian pada 21 Oktober 1945 berkecamuk lagi pertempuran
dahsyat antara TKR dan pemuda-pemuda yang tergabung dalam organisasi perlawanan
Indonesia melawan tentara Sekutu.
Hijrah ke
Demak dan Menerobos Tegal
Beberapa
tokoh BKR Laut Semarang yang dahulu berasal dari Pemuda Kaiji dan Pemuda SPT
(Sekolah Pelayaran Tinggi) Semarang di bawah pimpinan Nazir, Agoes Soebekti,
Soekamto, Wiranto dan lain-lain, berhijrah ke Demak dan Pati. Di kota Demak dan
Pati ini para pemuda itu dan para pemuda pecinta Samodra lainnya segera
mengadakan konsolidasi. Konsolidasi yang mula-mula terbentuk adalah Laskar
Rakyat Laut, yang kemudian kembali ke bentuk awalnya, yaitu TKR Laut. TKR
sendiri sesuai dengan keputusan Presiden RI tanggal 5 Oktober 1945 kemudian
menetapkan hari jadinya sama dengan tanggal keputusan itu.
Dalam
pertimbangan kemudian, karena daerah Demak-Jepara dipandang kurang strategis
sebagai basis pertahanan melawan Sekutu/Belanda, maka diputuskan untuk segera
meninggalkan daerah ini. Pasukan direncanakan akan dipindahkan ke kota Tegal,
yaitu sebuah kota di pantai utara Jawa Tengah. Kota ini dipandang memiliki
potensi yang lebih menjanjikan untuk membina masa depan tentara terutama
ditinjau dari segi strategi kemaritiman. Usaha menerobos kota Semarang untuk
mencapai Tegal oleh para pasukan TKR Laut ini, telah menimbulkan cerita
legendaris di kalangan para pejuang bahari yang ikut ambil bagian dalam usaha
penerobosan dari Demak itu.
Perlu
dicatat di sini munculnya seorang tokoh pimpinan TKR Laut Demak bernama Darwis
Djamin. Ia seorang saudagar kaya, yang memiliki kemampuan mengelola
perlengkapan dan perbekalan anggota TKR Laut Demak. Ia juga memiliki peranan
cukup penting dalam usaha memindahkan pasukan pejuang dari Demak ke Tegal ini.
Satu-satunya
jalan yang dapat ditempuh untuk menerobos Semarang ialah dengan jalur kereta
api. Karenanya, semua pegawai KA di daerah Semarang segera dihubungi oleh
pimpinan TKR Laut agar dapat membantu usaha penerobosan pasukan dari Demak ke
Tegal itu. Kode-kode sandi atau pun tanda-tanda isyarat dan hal-hal yang
diperlukan untuk mengawal keselamatan para penerobos pejuang pun segera diatur
dan diberitahukan secara rahasia kepada para pegawai kereta api mulai dari
masinis, tukang rem, sampai dengan tukang langsirnya.
Demi
keamanan dan kelancaran, beberapa pejabat KA dan koleganya yang tidak dapat
dipercaya, segera diganti dengan orang lain dari pihak pejuang kemerdekaan.
Pasukan pun segera disiapkan masuk ke gerbong kereta api secara tertib. Semua
jendela dan pintu diperintahkan untuk ditutup terutama setelah kereta api
mendekati kota Semarang. Pada waktu kereta memasuki Stasiun Tawang dan Poncol,
kereta yang berjalan dengan kecepatan normal tanpa tanda-tanda mau berhenti,
serta merta dipacu dengan kecepatan tinggi. Kereta api berjalan cepat melaju
tanpa berhenti walaupun memasuki stasiun besar. Stasiun Tawang dan Poncol
dilalui begitu saja tanpa memperhatikan tanda-tanda dari kepala stasiun kereta
api di kedua stasiun tersebut.
Kondektur
dan penumpang yang menunggu di kedua stasiun Semarang itu melongo keheranan
ketika melihat kereta api meluncur persis di depan hidung mereka. Demikian pula
para petugas kereta api dan para serdadu Sekutu yang sedang berdinas berjaga
pada waktu itu. Mereka baru menyadari setelah kereta api berjalan beberapa
puluh meter lewat meninggalkan stelling (posisi) mereka. Segera setelah mereka
menyadari hal itu, barulah para serdadu Sekutu itu pun bergerak dan langsung
memuntahkan peluru sambil mengejar kereta api yang sudah terlanjur lewat dengan
kecepatan tinggi dan terus menjauh. Akhirnya, mereka hanya mampu melihat
gerbong-gerbong kereta api yang sudah berada di luar jarak tembak dan tak
sanggup mereka kejar lagi. Kereta berjalan terus tanpa hambatan dan selamat
sampai di kota Tegal.
Tegal Basis
Perjuangan dan Pertahanan Maritim
Pada waktu
rombongan yang dipimpin Darwis Djamin dari Demak tiba di Tegal, di kota ini
sejak tanggal 30 September 1945 telah terbentuk BKR Laut sebagai
realisasi Dekrit Presiden RI lewat pidato radio tanggal 23 Agustus 1945. Pada
awalnya anggotanya berasal dari tenaga eks SPT Tegal sendiri dengan jumlah
kurang lebih 40 orang, lalu berkembang dan diperkuat oleh anggotanya berasal
dari pemuda pelaut, bekas guru dan murid SPT (Sekolah Pelayaran Tinggi),
anggota Heiho, Kaigun Heiho, anggota PETA, pegawai pelabuhan, pegawai perikanan
laut, pegawai rumah penjara serta anggota bea dan cukai. Setelah terbentuk
mereka langsung mengadakan kegiatan antara lain melucuti senjata tentara
Jepang, mengambil alih kapal yang ada di Pelabuhan Tegal dan bergerak aktif
dalam KNI Tegal. Markas besar BKR Laut Tegal saat itu menempati gedung bekas
jawatan pelabuhan.
Pimpinan
pertama dalam tahap konsolidasi TKR Laut di Tegal sebelum sebutan Pangkalan IV
ALRI Tegal lahir adalah Darwis Djamin seorang tokoh maritim
Demak asal Sumatera Barat, dalam tubuh Pangkalan IV (TKR) Tegal, yang paling
mengalami perkembangan pesat adalah Corps mariniers (CM) atau yang sering juga
disebut sebagai Korps Ketentaran ALRI. Pangkalan ini mempunyai 7 Batalyon dan
merupakan yang terbesar dibandingkan pangkalan-pangkalan lain di Indonesia saat
itu. Peran Pangkalan IV ALRI Tegal sangat penting untuk upaya
mempertahankan kemerdekaan RI, banyak misi-misi sabotase, penyelundupan dan dan
upaya lain yang dianggap perlu dilakukan oleh Pangkalan IV
ALRI Tegal.
0 Komentar