Biografi
Jenderal Besar TNI Purn. Abdul Haris Nasution dikenal sebagai peletak dasar perang gerilya dalam perang melawan penjajahan Belanda yang tertuang dalam buku yang beliau tulis berjudul "Strategy of Guerrilla Warfare". Buku yang kini telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa asing dan menjadi buku wajib akademi militer di sejumlah negara, termasuk sekolah elite bagi militer dunia, West Point Amerika Serikat.
Meski pernah menuai kecaman atas perannya sebagai konseptor Dwi Fungsi ABRI yang dikutuk di era reformasi, jasa besar beliau tak dapat dilepaskan dari perjuangan mempertahankan kemerdekaan RI hingga masa Orde Baru. Dwi Fungsi ABRI akhirnya dihapus karena desakan gerakan reformasi tahun 1998. Dwi Fungsi ABRI dianggap sebagai legalitas tentara untuk campur tangan dengan urusan politik di Indonesia sehingga memunculkan pemerintahan otoriter dan represif.
Sejak kecil, Pak Nas senang membaca cerita sejarah. Anak kedua dari tujuh bersaudara ini melahap buku-buku sejarah, dari Nabi Muhammad SAW sampai perang kemerdekaan Belanda dan Prancis. Lulus dari AMS-B (SMA Paspal) pada 1938, beliau menjadi guru di Bengkulu dan Palembang. Tetapi kemudian beliau tertarik masuk Akademi Militer. Dalam Revolusi Kemerdekaan I (1946-1948), beliau diberi wewenang untuk memimpin Divisi Siliwangi. Ketika itulah muncul ide tentang perang gerilya sebagai bentuk perang rakyat. Metode perang ini dikembangkan setelah Pak Nas menjadi Panglima Komando Jawa dalam masa Revolusi Kemerdekaan II (948-1949).
Tahun 1948, Pak Nas memimpin pasukan Siliwangi yang menumpas pemberontakan PKI di Madiun. Ia nyaris tewas bersama mendiang putrinya, Ade Irma yang tewas tertembak di rumahnya ketika pemberontakan PKI (G-30-S) meletus kembali tahun 1965. Meskipun sangat mengagumi Bung Karno, kedua tokoh besar itu nyatanya sering berselisih paham. Pak Nas menganggap Bung Karno intervensi dan bias ketika terjadi pergolakan internal Angkatan Darat tahun 1952. Dalam "Peristiwa 17 Oktober”, yang menuntut pembubaran DPRS dan pembentukan DPR baru, Pak Nas dituding hendak melakukan kudeta terhadap presiden RI yang berujung Bung Karno memberhentikannya sebagai KSAD.
Setelah akur kembali, Pak Nas diangkat sebagai KSAD pada tahun 1955 setelah meletusnya pemberontakan PRRI/Permesta. Pak Nas dipercaya Bung Karno sebagai co-formatur pembentukan Kabinet Karya dan Kabinet Kerja. Keduanya tidak akur lagi usai pembebasan Irian Barat lantaran sikap politik Bung Karno yang cenderung pro-PKI. Dia merupakan salah satu tokoh yang menjadi sasaran dalam peristiwa Gerakan 30 September, namun yang menjadi korban adalah putrinya Ade Irma Suryani Nasution dan ajudannya, Lettu Pierre Tendean
Usai tugas memimpin MPRS tahun 1972, jenderal besar yang pernah 13 tahun duduk di posisi kunci TNI ini, menepi dari panggung kekuasaan. pak Nas lalu menyibukkan diri menulis memoar. Sampai pertengahan 1986, lima dari tujuh jilid memoar perjuangan beliau telah beredar. Kelima memoarnya, Kenangan Masa Muda, Kenangan Masa Gerilya, Memenuhi Panggilan Tugas, Masa Pancaroba, dan Masa Orla. Selain itu beliau juga menulis buku dan memoar berjudul Masa Kebangkitan Orba dan Masa Purnawirawan, Pokok-Pokok Gerilya, TNI (dua jilid), dan Sekitar Perang Kemerdekaan (11 jilid). Jenderal Besar Nasution menghembuskan nafas terakhir di RS Gatot Subroto, pukul 07.30 WIB (9/9-2000), pada bulan yang sama ia masuk daftar PKI untuk dibunuh.
Jendral yang merupakan salah satu dari tiga jendral yang berpangkat bintang lima di Indonesia ini sedari kecil hidup sederhana, dan beliau tak mewariskan harta pada keluarganya, kecuali kekayaan pengalaman dalam perjuangan dan idealisme. Rumahnya di Jalan Teuku Umar, Jakarta, tetap tampak kusam, hingga kini tak pernah direnovasi.
- Pendidikan
- HIS, Yogyakarta (1932)
- HIK, Yogyakarta (1935)
- AMS Bagian B, Jakarta (1938)
- Akademi Militer, Bandung (1942)
- Doktor HC dari Universitas Islam Sumatera Utara, Medan (Ilmu Ketatanegaraan, 1962)
- Universitas Padjadjaran, Bandung (Ilmu Politik, 1962)
- Universitas Andalas, Padang (Ilmu Negara 1962)
- Universitas Mindanao, Filipina (1971)
- Karir
- Guru di Bengkulu (1938)
- Guru di Palembang (1939-1940)
- Pegawai Kotapraja Bandung (1943)
- Dan Divisi III TKR/TRI, Bandung (1945-1946)
- Dan Divisi I Siliwangi, Bandung (1946-1948)
- Wakil Panglima Besar/Kepala Staf Operasi MBAP, Yogyakarta (1948)
- Panglima Komando Jawa (1948-1949)
- KSAD (1949-1952 dan 1955-1962)
- Ketua Gabungan Kepala Staf (1955-1959)
- Menteri Keamanan Nasional/Menko Polkam (1959-1966)
- Wakil Panglima Besar Komando Tertinggi (1962-1963 dan 1965)
- Ketua MPRS (1966-1972
- Penghargaan
- 1997 dianugerahi pangkat Jendral Besar bintang lima
Riwayat Pekerjaan
Setelah menyelesaikan pendidikannya di pulau Jawa, A.H Nasution kemudian kembali ke pulau Sumatera dan menjadi guru di Bengkulu kemudian Palembang. Profesi tersebut ia lakoni selama dua tahun.
Masuk di Dunia Militer
Di tahun 1940, A.H Nasution mendaftar prajurit di sekolah perwira cadangan yang dibentuk oleh Belanda. Setelah lulus, ia kemudian ditempatkan sebagai pembantu letnat di Surabaya.
Ketika invasi Jepang ke Indonesia pada tahun 1942, A.H Nasution ikut bertempur melawan jepang di Surabaya. Namun kemudian para pasukan yang bertempur bersamanya bubar, A.H Nasution sendiri kemudian pergi ke Bandung.Disana ia menjadi seorang pegawai pamong praja. Tak lama kemudian, ia kembali masuk militer dan menjabat sebagai wakil komandan barisan pelopor di Bandung pada tahun 1943.
Kekalahan Jepang pada tahun 1945 dan merdekanya Indonesia membuat A.H Nasution bersama dengan para bekas tentara PETA kemudian mendirikan Badan Keamanan Rakyat (BKR) yang menjadi cikal bakal TNI.
Karir militernya kemudian merangkak. Di bulan maret tahun 1946, A.H Nasution ditunjuk sebagai Panglima Divisi III/Priangan. Di bulai Mei 1946, Presiden Soekarno melantiknya sebagai Panglima Divisi Siliwangi.
Pada tahun 1948, Ketika pemberontakan PKI yang dipimpin oleh Muso pecah di Madiun, Nasution memimpin pasukannya menumpas pemberontakan tersebut.
Penggagas Perang Gerilya (Guerrilla Warfare)
Ketika memimpin Divisi Siliwangi, A.H Nasution menarik pelajaran bahwa Rakyat mendukung TNI. Disinilah kemudian ia kemudian mengagas metode atau taktik perang gerilya atau Guerrilla Warfare yang diartikan sebagai bentuk perang rakyat.
Buku yang ditulis oleh A.H Nasution berjudul Strategy of Guerrilla Warfare. Buku ini telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa asing. Buku ini juga menjadi buku wajib akademi militer di sejumlah negara, termasuk sekolah elite bagi militer dunia, West Point Amerika Serikat (AS).
Metode perang ini dengan leluasa dikembangkannya setelah A.H Nasution menjadi Panglima Komando Jawa dalam masa Revolusi Kemerdekaan ketika agresi militer Belanda pada tahun 1948 hingga 1949.
Setelah itu, beliau diangkat oleh presiden Soekarno kala itu menjadi Wakil Panglima Besar TNI dibawah Jenderal Besar Sudirman. Setelahnya, ia kemudian pindah posisi sebagai Kepala Staf Operasi Markas Besar Angkatan Perang Republik Indonesia. Di akhir tahun 1949, A.H Nasution kemudian menjabat sebagai Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD).
A.H Nasution kemudian menikah dengan Johana Sunarti, yang merupakan putri kedua dari R.P. Gondokusumo, aktivis Partai Indonesia Raya (Parindra). Sejak muda, Pak Nas gemar bermain tenis. Pasangan itu berkenalan dan jatuh cinta di lapangan tenis (Bandung) sebelum menjalin ikatan pernikahan. Pasangan ini dikaruniai dua putri namun salah satunya wafat yakni Ade Irma Nasution ketika G30S/PKI meletus.
Di masa mudanya, A.H Nasution sangat mengagumi Ir. Soekarno namun setelah masuk dalam jajaran TNI, ia kerap akur dan tidak akur dengan presiden pertama itu. Ia menganggap Ir. Soekarno ikut campur tangan dan memihak salah satu kelompok ketika terjadi pergolakan di internal Angkatan Darat tahun 1952.
Dalam biografi Jenderal A.H Nasution diketahui bawa ia adalah orang yang berada di balik ”Peristiwa 17 Oktober”, yang menuntut pembubaran DPRS kemudian melakukan pembentukan DPR baru. Ir. Soekarno kala itu tidak senang dan kemudian memberhentikan A.H Nasution sebagai KSAD.
Namun Bung Karno kemudian mengangkatnya kembali pria yang akrab disapa pak Nas sebagai KSAD pada tahun 1955. Ia diangkat setelah meletusnya pemberontakan PRRI/Permesta. Pak Nas dipercaya Bung Karno sebagai co-formatur pembentukan Kabinet Karya dan Kabinet Kerja.
Di tahun 1957, A.H Nasution ikut dalam kancah politik Indonesia. Tahun 1957, terjadi pemberontakan PRRI/Permesta, Soekarno kemudian menyatakan status negara dalam keadaan perang. Ia ditunjuk sebagai Penguasa Perang Pusat. Pemberontakan kemudian dipadamkan dengan cepat.
Di tahun 1959, A.H Nasution mengajukan gagasan pada Soekarno bahwa UUD harus “kembali ke UUD 1945”. Gagasan ini kemudian melahirkan dekrit presiden tertanggal 5 Juli 1959.
Memasuki awal tahun 1960an, Hubungan antara A.H Nasution dan Presiden Soekarno menjadi tidak akur atau renggang. Sejak awal 1960-an, hubungan kedua tokoh itu mulai renggang. Kala itu Jenderal A.H Nasution menjabat sebagai Menteri Pertahanan dan Keamanan Indonesia.
Target Utama PKI
A.H Nasution tidak suka dengan sikap Ir Soekarno kala itu yang dekat dengan PKI. Ketika peristiwa G30/S PKI meletus pada tahun 1965, Jenderal A.H Nasution menjadi salah satu target dari PKI untuk diculik dan dilenyapkan bersama dengan Ahmad Yani dan eberapa jenderal lainnya.
Namun upaya tersebut gagal karena A.H Nasution dapat melarikan diri dengan melompat lewat jendela. Namun ia harus kehilangan putrinya yakni Ade Irma Nasution yang tertembak ketika terjadi penculikan serta ajudannya Pierre Tendean yang disangka sebagai A.H Nasution.
Pasca G30S/ PKI, Jenderal A.H Nasution kemudian bekerja sama dengan Soeharto yang kala itu menjabat sebagai Pangkostrad menumpas habis para pimpinan dan pengikut PKI. Nasution juga merupakan tokoh yang sangat menentang PKI seperti menentang usul mempersenjatai buruh dan tani.
Beliau juga yang memimpin sidang istimewa MPRS yang kemudian melengserkan Ir Soekarno dari jabatannya sebagai presiden Indonesia pada tahun 1967 dan mengangkat Soeharto sebagai Presiden Indonesia kedua.
Pasca Soeharto berkuasa sebagai Presiden, Jenderal A.H Nasution bertahun-tahun dikucilkan dan dianggap sebagai musuh politik pemerintah Orde Baru. Bahkan Kalau ada jenderal yang mengalami kesulitan air bersih sehari-hari di rumahnya, maka itulah A.H Nasution.
Tangan-tangan terselubung memutus aliran air PAM ke rumahnya, tak lama setelah A.H Nasution pensiun dari militer. Untuk memenuhi kebutuhan air sehari-hari, keluarga Pak Nas terpaksa membuat sumur di belakang rumah.
Usai tugas memimpin MPRS tahun 1972, jenderal besar yang pernah 13 tahun duduk di posisi kunci TNI ini, tersisih dari panggung kekuasaan. Ia lalu menyibukkan diri menulis memoar. Sampai pertengahan 1986, lima dari tujuh jilid memoar perjuangan A.H Nasution telah beredar.
Kelima memoarnya, Kenangan Masa Muda, Kenangan Masa Gerilya, Memenuhi Panggilan Tugas, Masa Pancaroba, dan Masa Orla. Dua lagi memoarya yakni Masa Kebangkitan Orba dan Masa Purnawirawan. Masih ada beberapa bukunya yang terbit sebelumnya, seperti Pokok-Pokok Gerilya, TNI (dua jilid), dan Sekitar Perang Kemerdekaan (11 jilid).
Tokoh Petisi 50
Jenderal A.H Nasution merupakan salah satu tokoh yang menandatangani Petisi 50 bersama Hoegeng, Ali Sadikin serta beberapa tokoh lainnya. Petisi ini memprotes penggunaan filsafat negara Pancasila oleh Presiden Soeharto terhadap lawan-lawan politiknya. Ini juga menjadikan ia sebagai musuh nomor satu oleh penguasa Orde Baru.
Walaupun dianggap sebagai musuh orde baru, Soeharto juga memberikan gelar Jenderal Besar dengan pangkat bintang lima pada A.H Nasution.
Jenderal A.H Nasution Wafat
Jenderal Besar Abdul Haris Nasution menghembuskan nafas terakhirnya di RS Gatot Subroto tanggal 6 september di tahun 2000. Itu merupakan bulan yang sama ia masuk daftar PKI untuk dibunuh.
Jasadnya kemudian dimakamkan di Taman Makam Pahlawan (TMP) Kalibata, Jakarta. Atas jasa-jasanya pemerintah Indonesia menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional. Namanya juga dipakai sebagai nama beberapa jalan di Indonesia.
0 Komentar