Serangkaian perjuangan mempertahankan kemerdekaan dari penjajahan Belanda tercatat di Bumi Kaltim. Salah satunya Gerakan Rakyat Kutai yang sarat patriotisme dan membawa Kutai menjadi bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Dikumandangkannya proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia melalui Radio Australia serta merta disambut gegap gempita oleh seluruh Rakyat Indonesia. Tidak terkecuali di Kaltim, khususnya di wilayah Kesultanan Kutai.
Sebagaimana di daerah-daerah lain di nusantara, proklamasi kemerdekaan nyatanya belum menjadi jaminan kemerdekaan sepenuhnya. Inilah yang kemudian menjadi latar belakang lahirnya GRK di Kaltim.
Guna mengantisipasi manuver para imperalis tersebut, para tokoh melakukan gerakan terkoordinasi. Mereka membentuk organisasi yang bertujuan menyatukan visi dan misi dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Setelah diawali dengan kontak-kontak, berlanjut rapat di salah satu ruangan Kerapatan Besar (Pengadilan Kutai) Tenggarong.
Keputusan rapat, para tokoh sepakat membentuk Badan Perjuangan yang diberi nama Gerakan Rakyat Kutai, disingkat GRK atau Gerak. Penamaan ini diilhami nama suatu partai politik sebelum Perang Dunia II yaitu Gerakan Rakyat Indonesia (Gerindo). Nama tersebut diusulkan tokoh pergerakan Abdul Gani yang merupakan mantan sekretaris Gerindo cabang Balikpapan pada 1938.
Meski berkedudukan di Kutai, namun para inisiator pergerakan terdiri dari berbagai jenis etnis yang ada di wilayah ini.
Walaupun dalam pertemuan tidak dihadiri tokoh-tokoh pergerakan seperti Raden Soewondo dan St Bag Hoesain, pembentukan tetap dilakukan beberapa tokoh yang ada. Untuk memberi corak perjuangan semesta yang bertujuan mempertahankan kemerdekaan, maka disusunlah secara musyawarah mufakat pimpinan secara kolektif.
Susunannya yaitu Abdul Gani mewakili Kalimantan, Hasanuddin Saanin mewakili Sumatera, Raden Soewondo mewakili Jawa, St Bag Hoesain mewakili Indonesia Timur, dan JF Sitohang sebagai pelaksana harian. GRK bukan hanya dibentuk di Tenggarong, melainkan juga di beberapa tempat lainnya. Yaitu yang berada di wilayah Kesultanan Kutai seperti di Muara Kaman dan Loa Kulu.
Di berbagai tempat muncul pergolakan dan saling hubung-menghubungi antarbadan pergerakan perjuangan. Sehingga membuat Pemerintah Kutai berada di antara dua bara. Yaitu antara kekuasaan Belanda yang membonceng Sekutu, dan rakyat Indonesia berjiwa Republik.
Di internal pejabat Kutai sendiri, ada yang secara terang-terangan dan adapula yang sembunyi-sembunyi memihak perjuangan rakyat. Dalam situasi ini, Pemerintah Kutai terlihat bersimpati pada perjuangan rakyat.
Dalam situasi yang menegangkan tersebut, terjadi pertemuan antara APT Prawoto, Menteri Kesultanan Kutai didampingi AR Djojoprawiro dengan Raden Soewondo dan Abdul Gani. APT Prawoto didampingi oleh Kepala Pejawat Balikpapan yang diperbantukan di Kamar Kepolisian Kutai. Djojoprawiro yang tengah berada di pengungsian lantaran Balikpapan diserang Sekutu, merupakan salah satu pendukung GRK.
Pertemuan itu membicarakan tentang datangnya surat dari seseorang di Balikpapan yang meminta bantuan persenjataan. Namun sulit untuk menilai dan menindaklanjuti isi surat tersebut. Apalagi senjata memang tidak ada karena senjata yang dirampas dari tentara Jepang telah dilucuti oleh Sekutu.
Hal lain yang dibicarakan dalam pertemuan tersebut adalah sikap apa yang harus ditempuh Pemerintah Kutai. Raden Soewondo menginginkan perlawanan frontal. Namun perlawanan frontal dianggap terlalu riskan. Keselamatan rakyat banyak dan tetap berfungsinya Pemerintah Kutai menjadi pertimbangan riskannya perlawanan frontal.
Gerakan bawah tanah lantas dianggap lebih efektif sampai keadaan memungkinkan untuk melakukan tindakan lainnya. Oktober 1945 menjadi awal dilakukannya perjuangan GRK mempertahankan kemerdekaan melalui gerakan bawah tanah.
Di satu sisi, perlawanan di berbagai tempat membuat Belanda merasa perlu mengadakan pameran kekuatan atau mathsvertoon di Tenggarong yang merupakan ibukota Kesultanan Kutai. Kabar tersebut membuat penduduk merasa gelisah.
Posisi tidak menyenangkan ini lantas mendapat jalan keluar dari Raden Soewondo. Dia menyarankan diadakan referendum atau pemungutan suara di seluruh Tenggarong. Tujuannya untuk memperoleh kepastian akan keinginan rakyat secara demokratis. Sekaligus memberikan alasan kuat kepada Pemerintah Kutai apakah menerima pengibaran bendera Belanda yang artinya mengakui kedaulatan penjajah atau sebaliknya, menyatakan penolakan.
Rakyat Tenggarong ternyata memiliki keberanian dan jiwa patriot. Referendum menghasilkan jawaban positif, menolak secara mutlak pengibaran bendera Belanda. Keputusan tersebut merupakan didikan kepada rakyat dalam bentuk perlawanan pasif dan menghidupkan perasaan patriotisme.
Mathsvertoon yang dikhawatirkan akhirnya benar terjadi. Tentara NICA mendarat di Loa Kulu dengan satu batalion pasukan dari Balikpapan dan Samarinda. Mereka berbaris dilengkapi persenjataan mutakhir menuju Tenggarong. Pada saat pamer kekuatan itu, tidak ditemukan selembar bendera Belanda pun yang berkibar.
Alhasil, Belanda menghadiahkan sebuah peti berisi sepucuk owen gun kepada Sultan Kutai. Pemberian hadiah ini dapat diartikan sebagai ancaman terhadap pemerintah dan rakyat di daerah tersebut.
Kedatangan Belanda kembali ke bumi etam cepat diantisipasi pemerintahan Kutai. Apalagi Belanda berkeinginan menghidupkan struktur pemerintahan Belanda dan menempatkan controleur sebagai kepala
onderafdeeling. Pamong praja Kutai golongan muda dalam konferensi pemerintahan atau
bestuursconferentie lantas mengusulkan agar segera membendung kembalinya penjajah tersebut.
caranya dengan membagi wilayah Kutai dalam beberapa kepatihan. Dan mengangkat seorang patih di Balikpapan, Samarinda, Tenggarong, Muara Muntai dan Long Iram. Usul tersebut dalam direalisasikan di tahun berikutnya.Kebencian terhadap penjajah membuat para bangsawan ikut tergerak mengantisipasi kembalinya Belanda. Salah satunya Aji Raden Ario Adi Putro, menantu Sultan Kutai Aji Muhammad Parikesit yang kala itu menjabat Kepala Penjawat Samarinda Seberang. Adi Putro kerap menyebarkan perasaan anti Belanda di kalangan pemuda dalam berbagai kesempatan.
Januari 1946, aktivitas Adi Putro yang terbilang berani ini kemudian tercium mata-mata Belanda. Ketika mendengar kabar tersebut, Sultan Parikesit menyadari bahaya mengintai menantunya. Sang Sultan lantas memerintahkan Abdul Gani dan Awang Ishak untuk menjemput Adi Putro beserta keluarganya.
Dengan menggunakan KM Kartanegara pada malam hari, mereka diungsikan ke Tenggarong secara sembunyi-sembunyi. Keesokan harinya, Samarinda Seberang dihebohkan berita kehilangan kepala penjawat dan menimbulkan desas-desus bahwa dia telah diciduk oleh Belanda.
Aktivitas Adi Putro semakin membuat Belanda menyadari kuatnya pengaruh GRK terhadap perjuangan rakyat. Untuk melemahkan perjuangan rakyat yang dipelopori GRK, pada Februari 1946 Belanda merencanakan penarikan kembali dan memutasikan pegawai-pegawai pusat. Yaitu pegawai-pegawai yang diperbantukan kepada Pemerintah Kutai sebelum pecahnya Perang Dunia II.
Maret 1946, rencana mutasi para pimpinan GRK mulai dilaksanakan. Tidak sedikit para pimpinan GRK dimutasi. Abdul Gani diangkat menjadi Kepala Penjawat Samboja menggantikan Markasi yang diangkat Belanda/NICA. Hasanuddin Saanin dipindahkan ke Muara Muntai. Raden Soewondo dipindahkan ke Palu, Sulawesi Tengah. St Bag Hoesain dipindahkan ke Tanjung Redeb, Berau dan Aji Raden Djojoprawiro kembali ke posnya sebagai Kepala Penjawat Balikpapan.
Namun solidnya komitmen yang telah dibangun tidak mengendorkan semangat juang GRK. Dengan adanya mutasi dan tersebarnya pimpinan GRK, diadakan penyesuaian dalam pembagian tiga wilayah perjuangan. Yaitu wilayah delta Mahakam yang meliputi Samboja dan sekitarnya dipimpin Abdul Gani. Wilayah Mahakam Tengah meliputi Tenggarong dan Samarinda dipimpin JF Sitohang. Terakhir wilayah pedalaman Mahakam meliputi Muara Muntai dan sekitarnya dipimpin Hasanuddin Saanin.
April 1946, setibanya di Samboja, Abdul Gani mulai melakukan gerakan dengan membentuk beberapa koperasi. Pembentukan koperasi ini diharapkan kelak berfungsi sebagai badan penunjang logistik perjuangan. Koperasi-koperasi yang terbentuk adalah Oesaha Dagang Indonesia di Kampung Samboja Kuala dipimpin Ali Daeng Bantung dan Djohan, keduanya eks anggota Gerindo Balikpapan.
Lalu Usaha Dagang Kita (UDK) di Kampung Pondok Seluang dipimpin M Djuhra. Dan terakhir Oesaha Dagang Rakyat (Oedara) di Kampung Teritip Aji Raden dipimpin oleh Makke.
Jarak antara Samboja dan Balikpapan yang relatif dekat membuat Abdul Gani mulai berhubungan dengan para pejuang Balikpapan. Tujuannya untuk melakukan koordinasi antara badan perjuangan.
Pada malam Ahad di bulan April, Pemberontak Indonesia (PI) di bawah pimpinan Abdurrachman Muhiddin melakukan pembongkaran gudang peluru (Munitie Depot) yang terletak di Kampung Gunung Sari, Balikpapan. Pembongkaran ini dilakukan dengan bantuan eks KNIL antara lain Subakri Kromo, dan Marjuned.
Selain dengan para pejuang Balikpapan, Abdul Gani juga bekerja sama dengan eks anggota KNIL. Pada bulan Mei dengan perantaraan Aji Raden Usman, diperoleh hubungan dengan Raden Soebijanto yang giat menggarap anggota KNIL untuk berpihak kepada Republik Indonesia. Soebijanto menggugah rasa cinta tanah air para anggota KNIL yang digarapnya tersebut.
Hasilnya pada Juni 1946, seorang deserter KNIL bernama Piet Warella datang ke Samboja melaporkan diri. Piet ditampung oleh M Djuhra, ketua Koperasi UDK sampai ada kesempatan untuk memberangkatkannya. Dengan bantuan sebuah Pedangkang (kapal layar Bugis) akhirnya dia dapat diberangkatkan menuju Sulawesi.
Setelahnya, berturut-turut melaporkan diri
deserter KNIL yang lain yaitu Senu dan Penuju. Kesulitan yang paling terasa karena mereka membawa keluarga.
Sementara itu Belanda tidak tinggal diam untuk memperoleh kontrol dan memantapkan kuku kolonialnya. Dengan dalih demokrasi, Belanda mulai menganjurkan pembentukan “dewan-dewan perwakilan rakyat” di setiap kesultanan dan Onderafdeeling Pasir yang langsung diperintah Belanda.
Pembentukan dewan-dewan itu disusul pembentukan Federasi Kesultanan dengan nama Federasi Kalimantan Timur. Dengan tujuan terakhir pembentukan Negara Kalimantan untuk mengimbangi Republik Indonesia.
Juli 1946, Belanda melakukan langkah pertama untuk menarik Kaltim ke arah yang mereka inginkan. Yaitu dengan mengikutsertakan Kaltim dalam muktamar di Malino, Sulawesi Selatan. Namun dalam konferensi tersebut suara yang diharapkan tidak tercapai. Pasalnya, pernyataan ketua delegasi Kaltim Aji Pangeran Afloes bertentangan dengan keinginan Belanda.
0 Komentar