![]() |
| Kapal Selam |
Operasi Pembebasan Irian Barat dari tangan Belanda pada Agustus 1962 menyisakan ketegangan sendiri bagi kru kapal selam Indonesia. Di laut, pada kedalaman lebih dari 100 meter belasan kru kapal selam berjuang mempertahankan hidup mereka.
Kabar mengenai hengkangnya Belanda dari Indonesia di wilatah Irian Barat itu sebenarnya sudah sampai ke telinga Tjipto Wignjoprajitno, komandan kapal selam RI Nagabanda. “Begitu kami tiba di posisi yang telah ditentukan, kami pun melapor ke pangkalan, namun sesaat setelah itu kami mendapat perintah untuk kembali karena Belanda dikabarkan telah menyerah,” kenang Laksamana Muda (purn) Basoeki, salah satu perwira navigasi Kapal Selam RI Nagabanda.
Tjipto, sang komandan, menurut Basoeki seperti yang ia tuturkan dalam buku Kapal Selam Indonesia, karya Indroyono Soesilo dan Budiman (2008), bersikukuh untuk tidak kembali sebelum melihat kondisi daratan Irian yang diperebutkan oleh Indonesia-Belanda.
Nagabanda memang akhirnya memutar balik menuju pangkalan utama mereka di Pelabuhan Bitung. Namun dalam perjalanan, posisi mereka rupanya terdeteksi oleh pesawat-pesawat Belanda yang sedang melakukan patroli perairan. “Saat itu posisinya menjelang fajar dan posisi kapal kami sedang berada di permukaan air, karena di siang hari kami biasanya sedang dalam posisi menyelam,” cerita Basoeki.
Seluruh awak kapal akhirnya diperintahkan segera masuk ke dalam kapal dan bersiap siaga untuk posisi tempur. Nagabanda pun langsung menyelam kembali ke bawah permukaan. Dalam kondisi tegang, awak kapal mendengar suara bom di jatuhkan ke laut. Namun suara itu terdengar jauh. “Efeknya tidak ada sama sekali (bagi kapal selam),” tutur Basoeki.
Setelah beberapa lama menyelam dengan tenang, RI Nagabanda kembali muncul ke permukaan untuk pengisian batere. Kondisi hari ketika itu siang menjelang sore. Namun tiba-tiba, dalam jarak sekitar 500-700 meter di depan, terlihat percikan bunga api seperti korek yang baru saja dinyalakan.
Suara rentetan tembakan itu terdengar jelas. Komandan langsung mengarahkan kapal untuk segera menukik ke dalam dan kembali ke posisi penyelaman hingga kedalaman 100 meter. “Kami menduga bunyi tembakan itu berasal dari kapal destroyer Belanda yang menyerang kami,” kenang Basoeki.
Sampai dengan menjelang pukul 12 malam, kru kapal terus berada dalam posisi siaga tempur. Para kru saling bergantian dalam posisi jaga. Baru satu jam mereka beristirahat, kapal tiba-tiba menukik ke depan tak terkendali.
Basoeki ketika itu menduga telah terjadi kerusakan pada sistem selam-timbul. “Semua kru akhirnya harus mundur ke belakang agar posisi kapal kembali lurus,” kata Basoeki. Para kru jug amelakukan melakukan pengecekan terhadap semua sistem kapal. Namun semuanya masih dalam kondisi baik.
Alhasil, selama 12 jam kapal berada dalam posisi menukik dan melayang-layang di kedalaman antara 70 meter hingga 150 meter. Kondisi dasar laut saat itu 2000 meter. Jika kapal terus menukik hingga melebihi kedalaman 200 meter saja, sudah dipastikan badan kapal akan hancur berkeping-keping karena tingginya tekanan laut dalam karena kapal memang dirancang untuk penyelaman maksimal 175 meter.
Para awak kapal selam terus menjaga agar kedalaman kapal tetap berada di antara jarak 70-150 meter dengan berbagai cara.Ketika posisi kapal sudah mendekati angka 150 meter, kru segera memompa dan mengeluarkan air agar berat kapal menjadi ringan. Ketika cara tersebut tak berhasil, bagian dalam kapal diberikan tiupan angin atau bantalan udara agar kapal bisa mengapung hingga kedalaman 70 meter.
Dalam kondisi melayang-layang, terjadi perubahan psikologis pada masing-masing kru. Ketut Wireseta, salah satu perwira yang lebih muda memiliki pemikiran nekad untuk menabrakan kapal selam. Menurutnya dengan menabrakkan kapal maka secara otomatis kapal akan terangkat ke permukaan. Ia menegaskan cara itu lebih baik daripada mati konyol.
Sejarahovi.blogspot.com


0 Komentar