GUGURNYA SAHABAT KARIB, KISAH DUA "SLAMET" YANG TIDAK "SELAMAT"


Slamet Riyadi & Slamet Soediarto

Tidak banyak yang mengetahui bahwa dalam operasi militer penumpasan Pemberontakan RMS di Maluku Selatan, Ada seorang perwira yang lebih dulu gugur sebelum Letkol Slamet Riyadi. Perwira tersebut adalah Letkol Slamet Soediarto yang merupakan bekas Komandan Brigade Stoottroepen Semarang (SS), Letkol Slamet Soediarto dan Letkol Slamet Riyadi adalah Sahabat karib, Keduanya di kirim ke Ambon karena sempat di tuduh sebagai tentara yang di masa revolusi dicap kiri, Mereka seperti diminta "mencuci dosa" dengan resiko nyawa melayang.

"Met, Aku nanti akan gugur disini mendahului kamu," kata Letkol Slamet Soediarto.

"Ora isa..! (Tidak bisa..!) Aku yang lebih dulu. Apa sebabnya kamu harus yang lebih dulu?" bantah Letkol Slamet Riyadi.

Slamet Soediarto menjawab, "Aku lebih dulu, sebab aku lebih tua dari kamu."

Slamet Riyadi membantah, "Ora.. (Tidak..) aku lebih dulu. Sebab disini aku Komandan. Aku akan gugur setelah menguasai Ambon."

Menurut catatan Lettu Selardi, angggota staf Brigade V/Divisi II, percakapan antara Slamet Soediarto dan Slamet Riyadi tersebut dia dengarkan sambil sarapan pagi bersama di geladak KRI Radjawali, dalam pelayaran menuju Ambon.

"Ombak laut bulan September memang membikin suara berisik, menyebabkan percakapan mereka sering terdengar samar-samar. Tapi, bagaimanapun bisa saya ikuti semuanya dengan jelas karena waktu itu kami hanya duduk berempat, Pak Met, Pak Darto, Soekirmo (ajudan Pak Met), dan saya," kenang Selardi.

Apa reaksi Selardi mendengar percakapan mereka?

"Saya dalam hati waktu itu hanya berpikir, ahhh..iki kok ngalup. Mati hidup semuanya ditangan Tuhan. Dengan ngomong seperti itu kan nanti malah bisa numusi..."

Catatan Soekirmo jga memberikan kesaksian, bahwa Slamet Riyadi dalam perbicaraan pribadi cukup sering memperbincangkan persoalan kematian, bahkan waktu pertempuran pun dia pernah berkata:

( "Aku ini..kalau terpaksa gugur disini, pengen dimakamkan disini juga. Aku kepingin dikubur ono kene wae. Solo, Ambon ndak ada bedanya tho, sama saja..semua tanah air kita.." )
......

Dan pada akhirnya, Slamet Soediarto-lah yg lebih dulu gugur mendahului Slamet Riyadi, Keduanya sama-sama gugur di atas meja yg sama di Rumah Sakit darurat KM WAIBALONG, Sama-sama tertembak Sniper oleh pemberontakan RMS, Slamet Soediarto gugur pada 28 September 1950 Sedangkan Slamet Riyadi pada 04 November 1950, Kedua perwira kharismatik itu di naikkan pangkatnya dua tingkat lebih tinggi yg semula dari Letnan Kolonel menjadi Brigadir Jenderal (Anumerta).

Gugurnya Letkol Slamet Soediarto di kisahkan saat akan melakukan pendaratan di Hitu yg dilakukan sekitar pukul 07.00 tanggal 28 September 1950.

"LCM yang ditumpangi oleh Letkol Slamet Soediarto bergoyang-goyang karena dipukul ombak besar. Akibat goncangan semacam itu, arahnya yang semula menuju ke pantai tanpa sengaja malahan berputar dan pararel segaris dengan pantai. Situasi semacam itu menjadikan pintu nahkoda tidak terlindungi oleh zadzak (karung pasir pelindung). Tiba-tiba sebuah tembakan SNIPER di darat tepat mengenai perut Slamet Soediarto lewat pintu yang tanpa sengaja terbuka itu..".

Bekas Komandan Brigade SS asal Salatiga dan salah seorang sosok Legendaris dalam Perang Kemerdekaan, Letkol Slamet Soediarto segera diangkut naik ke kapal yang juga berfungsi sebagai kapal rumah sakit. Sayang sekali, nyawanya tidak tertolong akibat luka parah yang cukup besar dan mengoyak perutnya, Letkol Slamet Soediarto gugur sekitar pukul 21.00 di usia 25 Tahun.

Panglima AE Kawilarang melukiskan, "Saya dapat laporan dari Letkol dr. Soemarno (Perwira Kesehatan) bahwa Letkol Slamet Soediarto terluka parah dan sudah dibawa ke kapal rumah sakit KM Waibalong dan dioperasi oleh Mayor dr. Soejoto. Peluru menembus enam usus nya, dan waktu sedang dioperasi, Slamet Soediarto menghembuskan nafas terakhirnya.

Semula, Letkol Soediarto dimakamkan di Pantai Piru, beberapa bulan kemudian, setelah situasi sudah aman, jasadnya dipindahkan ke TMP Ambon.

Mendengar berita gugurnya sahabatnya itu, Letkol Slamet Riyadi tampak sangat terpukul. Ingatannya kemudian melayang pada perbicaraan mereka di geladak KRI Radjawali empat hari sebelumnya. Kalimat Slamet Soediarto yang masih terngiang ditelinganya: "Met, aku nanti akan gugur disini mendahului kamu.."

Setelah sejenak terdiam, Letkol Slamet Riyadi akhirnya tegar kembali. Dia kemudian segera bangkit dan langsung mendiktekan isi radiogram yang ditujukan kepada Mayor Yusmin (Danyon 362 Gadjah Merah)..."Saya ikut berduka cita atas gugurnya Pak Diarto...lanjutkan operasi..!!".

Satu bulan lebih kemudian, Letkol Slamet Riyadi gugur menyusul sahabatnya itu. Letkol Slamet Riyadi tertembak setelah turun dari kendaraan lapis baja, Beliau tertembak Sniper RMS dari dalam Benteng Nieuw Victoria yg mengenai perutnya dengan parah. Peluru kena di metal di belt (ikat pinggang) dan karena itu dum-dum. Lukanya besar.

Slamet Riyadi kemudian di bawa ke Kapal Rumah Sakit darurat KM WAIBALONG yg membuang sauh di depan pelabuhan Laha, Setelah dilarikan ke rumah sakit kapal, Slamet Riyadi bersikeras untuk kembali ke medan pertempuran. Para dokter lalu memberinya banyak morfin dan berupaya untuk mengobati luka tembaknya, namun upaya ini gagal. Akibat luka-luka yang amat parah itu akhirnya Letkol Slamet Riyadi gugur pada malam itu juga, dan pertempuran berakhir di hari yang sama.

Operasi menumpas Pemberontakan RMS ini memang berat dan sulit. Tangguhnya pasukan RMS membuat pasukan RI sulit pulang hidup-hidup dari Ambon. Ini adalah ajang "perpeloncoan" sangat berat bagi anggota TNI eks KNIL dan juga tentara yang di masa revolusi dicap kiri. Mereka seperti diminta "mencuci dosa" dengan resiko nyawa melayang. Meski pada akhirnya, Slamet Soediarto dan Slamet Riyadi gugur di sana sebagai pejuang RI, Sebagai kusuma bangsa yg mendharma bhaktinya untuk kemerdekaan Indonesia, bukan sebagai tentara kiri.

Mereka dengan tulus telah menyerahkan apa yang paling berharga dalam dirinya, jiwa dan raganya semata-mata untuk menjaga keutuhan wilayah negaranya tercinta.

Posting Komentar

0 Komentar