Kontroversi Bapak Intelejen Indonesia

Zulkifli Lubis

Berlatar belakang keluarga yang mempunyai jabatan di pemerintahan membuat Zulkifli Lubis kecil berkesempatan menempuh pendidikan di sekolah Belanda yang berada di tanah Sumatera. Setingkat sekolah dasar, Hollandsch Inlansche School (HIS), kemudian Zulkifli melanjutkan ke Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO), setingkat SLTP. Selepas dari Mulo, Zulkifli melanjutkan ke Algemeene Middlebare School B (AMS-B), sekolah setingkat SLTA/SMU yang berada di Yogyakarta.

Sebelum berangkat ke Yogyakarta, Zulkifli Lubis mendapat pesan dari Ibunya untuk menekankan pentingnya mencari nasihat kepada orang tua, baik umurnya maupun pengalamannya. Ayahnya juga berpesan menggunakan Bahasa Belanda, Met de hoed in de hand, komt je in de gang in de wereld, yang berarti “Dengan menghargai orang lain, dunia akan menerimamu”.

Zulkifli Lubis menangkap pesan tersebut sebagai sebuah ajaran intelijen, yang diartikan agar dapat “menerima nasihat”, seseorang harus bersikap demokratis dan rendah hati. Begitu pula dengan cara intelijen. “Harus ramah, baru bisa mencari nasihat (baca: informasi). Kalau kita sombong, tidak bisa mencari nasihat. Satu segi dari nilai demokrasi itu adalah mampu mengendalikan diri menjadi mencari nasihat. Itu yang saya praktikkan,” kata Zulkifli Lubis dalam memoarnya di majalah Tempo, 29 Juli 1989.

Panggilan Kifli melekat pada Zulkifli Lubis, kemudian berganti panggilan menjadi Lubis di era kependudukan Jepang. Dalam pengakuan yang tertulis di buku berjudul M.E.M.O.A.R Senarai Kiprah Sejarah, penerbit Grafity,1993. “Dalam pelajaran berhitung dan sejarah, saya mendapat nilai sepuluh. Apalagi berhitung, di luar kepala, saya tetap nomor satu” (hlm. 41).

Masih duduk di kelas dua AMS-B, Jepang datang mengakibatkan sekolahnya terhenti. Akhirnya Zulkifli Lubis diajak Pawoko, salah seorang temannya, masuk Seinen Kurensho (pusat latihan untuk barisan pemuda). Setelah dua bulan, mereka dikirim ke Seinen Dojo (balai penggemblengan pemuda) di Tangerang. Sekitar 40 siswa dari seluruh Jawa. Zulkifli Lubis, Kemal Idris dan Daan Mogot termasuk angkatan pertama. Balai penggemblengan inilah yang pertama kalinya memperkenalkan Zulkifli Lubis pada dunia intelijen.

“Boleh dibilang, sebetulnya itu sekolah akademi intelijen cuma istilahnya disebut Seinen Dojo. Karena itu, kami di bawah Markas Besar Intelijen Jepang. Itulah pertama kali saya belajar intelijen, sekitar awal 1943. Saya masih berumur 19 tahun,” ucap Zulkifli Lubis. Seinen Dojo dibuka Januari 1943 dengan penanggung jawab Letnan Yanagawa dan Letnan Marusaki, perwira Beppan (Dinas Intelijen Khusus Tentara ke-16 Angkatan Darat).

Dalam masa penggemblengan kemudian Zulkifli Lubis dipindahkan ke Resentai (korps latihan) Bogor. Zulkifli Lubis merasa kecewa, Situasi ini berbeda dengan yang terjadi di Seinen Dojo, Tangerang. Semua instruktur berpenampilan rapi dan bersih.


Mereka mengajar secara serius dan saksama. Di Resentai Bogor, instruktur yang berasal dari pasukan berbusana lusuh dan tampak kotor. Mereka mengajar tidak serius. Zulkifli Lubis tidak banyak memperoleh pengetahuan dan keterampilan militer yang cukup memadai mengingat pendidikan yang hanya berlangsung 3 bulan dan lebih diarahkan sebagai pemberi semangat.

Pada bulan Desember 1943, para shodancho itu dilantik dan kemudian dikembalikan ke kota asal atau daerah asal masing-masing untuk turut serta di dalam pembentukan daidan (batalyon). Shodanco adalah tingkatan prajurit pemimpin peleton dalam pasukan PETA.

Letnan Dua Zulkifli Lubis, Kemal Idris, Sabirin Mochtar, Satibi Darwis, Daan Mogot, Effendi, dan Kusnowibowo membantu Kapten Tsuhiya Kiso untuk mempersiapkan pembentukan daidan-daidan di pulau Bali. Kemudian Zulkifli Lubis, Kemal Idris dan Daan Mogot dilibatkan dalam sebuah staf khusus dibentuk secara resmi yang dinamai Boei Giyugun Shidobu dengan tugas mengenai semua urusan yang menyangkut Pembela Tanah Air.

Medio 1944, Zulikfli Lubis diajak oleh Rokugawa (bekas komandan Seinen Dojo) ke Malaysia dan Singapura. Disana tinggal satu kamar dengan Mayor Ogi, Perwira Intelijen Jepang. Mayor Ogi sering bercerita mengenai pengalamannya melakukan kegiatan intelijen di Vietnam.

Zulkifli Lubis dan Rokugawa senantiasa melapor kepada komandan Jepang untuk wilayah Asia Tenggara di Singapura. Di Singapura inilah Fujiwara Kikan, sebuah badan rahasia Jepang untuk Asia Tenggara yang beroperasi. Ketika di Kuala Lumpur, Zulkifli Lubis mempelajari dunia intelijen dalam praktik dengan bimbingan dari Rokugawa. Rokugawa mengajari Zulkifli Lubis bagaimana caranya mengetahui jumlah penduduk dalam satu kota atau mengetahui apakah rakyat itu anti atau pro Jepang.

Sekembali ke tanah air, Zulkifli Lubis melibatkan diri dalam rencana Jepang untuk membentuk kelompok-kelompok intelijen di berbagai tempat di Jawa untuk menghadapi pasukan Sekutu jika mendarat. Namun pada kenyataannya setelah Jepang menyerah, dan sekutu mendarat tapi tidak terdapat perlawanan yang berarti dari kelompok intelijen yang sudah dipersiapakan oleh Zulkifli Lubis.

Pasca proklamasi kemerdekaan, Zulkifli Lubis dipercayakan sebagai pimpinan pusat Badan Keamanan Rakyat (BKR) yang diketuai oleh Kaprawi dan dibantu oleh Sutalaksana (Ketua I), Latief Hendraningrat (Ketua II), Arifin Abdurrachman dan Machmud.

Disinilah Zulkifli Lubis mulai mempersiapkan pembentukan badan intelijen yang diberi nama Badan Istimewa. Sekitar 40 orang bekas Giyugun dari seluruh Jawa bergabung. Selama seminggu, dia melatih mereka praktik intelijen, terutama untuk informasi, sabotase, dan psywar. Selain Zulkifli Lubis, Sunarjo, Juwahir dan GPH Djatikusumo membidani lahirnya Badan Istimewa tersebut.

Anggota Badan Istimewa kemudian dinamakan Penyelidikan Militer Chusus (PMC) pada akhir tahun 1945, Salah satu anggota PMC Sutopo Juwono yang nantinya akan menjadi kepala BAKIN di era Soeharto, di Sulawesi Selatan ada juga Abdul Kahar Muzakkar.

PMC bertanggung jawab langsung kepada Presiden Soekarno. Badan ini mengirim eksepedisi ke Sumatra, Kalimantan, Maluku dan Nusa Tenggara. Penyelundupan senjata dari Singapura pun dilakukan. Kegiatan ini dilakukan PMC di Sumatra dan Kuala Enoch atau Kuala Tungkal. Penyelundupan itu juga dilakukan untuk membantu operasi di Kalimantan di bawah pimpinan Muljono dan Tjilik Riwut.

Pada bulan April 1946, cabang PMC di Purwakarta mendapat reaksi yang sengit dari pihak tentara, karena dianggap melakukan serangkaian penangkapan dan penyitaan yang semena-mena. Keberatan itu muncul pula di berbagai daerah lain dan menyebabkan PMC dibubarkan oleh Markas Besar Tentara Keamanan Rakyat. Berdasarkan arsip Kementerian Pertahanan RI Nomor 752 tentang berdirinya BRANI, PMC dibubarkan Panglima Besar Jenderal Sudirman pada tanggal 3 Mei 1946.


Diawali dr. Moestopo, Penasihat Agung Militer Pemerintah Republik Indonesia, bertemu Presiden Soekarno. Disusul Zulkifli Lubis, Menteri Pertahanan Amir Sjarifuddin, dan Panglima Besar Jenderal Soedirman.

Disitulah diputuskan untuk membentuk Badan Rahasia Negara Indonesia (Brani) pada 7 Mei 1946. Zulkifli Lubis kemudian mendapat kepercayaan membentuk dan menjadi ketuanya. BRANI dianggap sebagai payung satuan intelijen yang bergerak di bawah para komandan lapangan di seluruh Jawa. Sebagai bagian dari Brani, dibentuk Field Preperation (FP) di daerah-daerah. Brani dan FP langsung berada di bawah Presiden Sukarno.

Agen intelijen BRANI direkrut dari alumni Seinen Dojo dan Yugekki (Pasukan Gerilya Khusus) yang berbasis di Salatiga, seperti Bambang Supeno, Kusno Wibowo, Dirgo, Sakri, Suprapto, dan Tjokropranolo, untuk dilatih menjadi intel Brani dan FP. Mereka direkrut tanpa klasifikasi, hanya dilihat sekolahnya. Zulkifli Lubis berhasil membentuk jejaring intelijennya di seluruh Jawa.

Pasca penyerahan kedaulatan oleh Belanda kepada Indonesia 27 Desember 1949, organisasi intel kembali berubah. Namanya menjadi Intelijen Kementerian Pertahanan (IKP) Zulkifli Lubis tetap sebagai kepalanya. Dia kemudian membentuk BISAP (Biro Informasi Angkatan Perang) pada 1952, yang bertugas menyiapkan informasi strategis untuk Menteri Pertahanan dan Kepala Staf Angkatan Perang TB Simatupang. Dia juga memprakarsai pendidikan lanjutan, bagi tenaga-tenaga yang sudah berpengalaman, bertempat di Kaliurang, Yogyakarta.

Pada tanggal 17 Oktober 1952 terjadi demonstrasi di Jakarta. Semula massa mendatangi gedung parlemen, kemudian menuju Istana Presiden, mengajukan tuntutan pembubaran parlemen dan menggantinya dengan parlemen baru serta segera dilaksanakan pemilihan umum.

Demonstrasi ini berdasarkan inisiatif Letnan Kolonel Sutoko dan Letnan Kolonel S. Parman. Pelaksanaannya diorganisir oleh Kolonel dr. Mustopo dan Letnan Kolonel Kemal Idris, mengerahkan demonstran dari luar Ibu kota dengan menggunakan kendaraan truk militer. Pada waktu itu, Pasukan Tank muncul di Lapangan Merdeka, dan beberapa pucuk meriam diarahkan ke Istana Presiden.

Peristiwa tersebut diawali pertentangan sipil-militer pasca kemerdekaan. Pada masa Kabinet Wilopo, pimpinan TNI berniat mereorganisasi dan rasionalisasi militer untuk menanggalkan mentalitas tentara gerilya menjadi tentara profesional. Proses ini akan diikuti pemberhentian hampir 40 persen personel TNI sebagai dampak pemangkasan anggaran.

Para pimpinan militer, seperti KSAD Kolonel AH Nasution dan Kepala Staf Angkatan Perang Kolonel TB Simatupang, mengusulkan untuk mendatangkan Misi Militer Belanda (MMB) yang ditugaskan membantu dalam segi teknis –bukan doktrin–untuk menyediakan kader bagi lembaga-lembaga pendidikan militer. Namun, ide ini ditentang keras golongan lain di dalam Angkatan Darat (AD). Kolonel Bambang Supeno, melaporkan ketidaksetujuannya terhadap rencana tersebut kepada Presiden Soekarno secara langsung tanpa melalui alur protokol komando.

Presiden Soekarno menengahi, cenderung tak setuju dengan usulan Nasution dan Simatupang. Musyawarah ketiganya, yang juga dihadiri Menteri Pertahanan Hamengkubuwono IX, tidak berjalan mulus. “Pembicaraan itu meningkat panas dan hampir berkembang menjadi adu teriak antara Sukarno dan Simatupang,” jelas John D. Legge dalam buku Sukarno: Sebuah Biografi Politik.

Nasution kemudian memecat Bambang Supeno. Parlemen mengecam tindakan tersebut dan mengeluarkan mosi menghentikan MMB karena dianggap pro-Barat dan menyudutkan golongan personel eks-PETA. Mosi yang muncul dari Manai Sophiaan disetujui parlemen, namun AD menganggapnya sebagai usaha ikut campur sipil dalam urusan militer.

Sehari sebelum istana dikepung, Zulkifli Lubis, menghubungi ajudan dari Presiden Soekarno untuk melaporkan tentang pengerahan massa. Bahkan Kolonel dr. Moestopo yang mengorganisir demonstrasi itu sudah diminta membatalkan niatnya.

Demonstrasi tetap terjadi, Massa demonstrasi menduduki depan istana. Puncaknya moncong meriam diarahkan ke istana atas arahan Kemal Idris.

Di dalam istana, Presiden Soekarno dan para panglima yang dipimpin Nasution melakukan perundingan. Nasution menuntut parlemen dibubarkan. Presiden Soekarno menolak, dia masih percaya dengan proses demokrasi dan tidak ingin menjadi diktator.

“Mataku terbakar karena marah. Engkau benar dalam tuntutanmu, akan tetapi salah di dalam caranya. Sukarno tidak akan sekali-kali menyerah karena paksaan. Tidak kepada seluruh tentara Belanda dan tidak kepada satu batalyon Tentara Nasional Indonesia!” tegasnya dalam otobiografi Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat karya Cindy Adams.

Zulkifli Lubis berhasil mengintai kelompok yang hendak membubarkan parlemen. Zulkifli Lubis, yang kala itu berada di pihak Presiden Soekarno yang tak ingin parlemen bubar melakukan operasi penyusupan terhadap demonstran yang digerakkan.

“Orang-orang saya sempat masuk diantara mereka,” kata Zulkifli Lubis dalam M.E.M.O.A.R: Senarai Kiprah Sejarah, penerbit Grafity,1993.

Presiden Soekarno keluar bertemu massa demonstrasi. Menjelaskan pentingnya parlemen sebagai sarana berdemokrasi. Bersamaan dengan seluruh agen intelijen yang sudah ditugaskan yang berada didalam massa demonstrasi berhasil mempengaruhi dan mengarahkan massa. Tensi massa menurun, menyusul teriakan-teriakan yang muncul dari tengah-tengah massa secara berulang meneriakan “Hidup Bung Karno!”. Akhirnya massa dari sipil maupun militer membubarkan diri dengan teratur.


Peristiwa 17 Oktober 1952, Seperti Nasution menamakannya “Separuh Kudeta”, tidak berhasil alias gagal total.

Setelah peristiwa 17 Oktober 1952 BISAP dan pendidikan intelijen dibubarkan oleh T.B. Simatupang. Permintaan Zulkifli Lubis kepada T.B. Simatupang agar tidak membubarkan tidak mendapat hirauan.

Jabatan A.H. Nasution sebagai KSAD diganti Bambang Sugeng. Bulan Desember 1953 oleh Menteri Pertahanan Indonesia Iwa Kusumasumantri, Zulkifli Lubis diangkat menjadi Wakil Kepala Staf Angkatan Darat (WKSAD). Bambang Sugeng mengundurkan diri pada 8 Mei 1955, Zulkifli Lubis menggantikannya menjadi Pejabat (Pj) KSAD selama dua bulan, pada tanggal 10 Juni 1955 Presiden Soekarno menetapkan Bambang Utoyo sebagai KSAD, dan dilantik pada tanggal 27 Juni 1955. Bambang Utoyo hanya menjabat selama empat bulan, setelah itu A.H. Nasution kembali menjadi KSAD.

Sebenarnya Perdana Menteri Burhanudin Harahap pernah menunjuk Zulkifli Lubis sebagai KSAD. Tapi karena tak ingin dianggap ambisius, Zulkifli Lubis menolak. Zulkifli Lubis pun mengajukan beberapa nama seperti Gatot Subroto, Simbolon, Sudirman, dan laim-lain.

Catatan Suhario Padmodiwiryo alias Hario Kecik dalam Memoar Hario Kecik: Autobiografi Seorang Mahasiswa Prajurit (1995), (hlm. 407-408). Waktu Perdana Menteri bertanya, “Mengapa Nasution tidak masuk dalam daftar?” Lubis menjelaskan bahwa dalam Konferensi Yogya, Nasution pernah menyatakan sikap bahwa dirinya akan meninggalkan Angkatan Darat. Namun, Lubis mengatakan, jika Burhanudin Harahap berkenan, nama Nasution akan dimasukkan dalam daftar.


Keberanian Zulkifli Lubis yang saat itu menjabat Wakil KSAD berani menerbitkan surat penangkapan terhadap seorang menteri terjerat kasus korupsi. 16 Agustus 1956, Zulkifli Lubis mengeluarkan surat penahanan terhadap Menteri Luar Negeri Roeslan Abdul Gani atas tuduhan korupsi dan penyuapan. Padahal saat itu Roeslan hendak berangkat ke London untuk menghadiri pertemuan internasional, tulis Ajip Rosidi dalam bukunya yang berjudul Sjafruddin Prawiranegara Lebih Takut Kepada Allah SWT.

Namun yang terjadi Roeslan batal ditangkap, istrinya menghubungi Perdana Menteri Ali Sostroamidjojo memberitahukan soal penangkapan tersebut. Ali Sostroamidjojo segera menghubungi KSAD A.H. Nasution, Kemudian A.H. Nasution segera memerintahkan Garnizun Jakarta Mayor Djuchro untuk membebaskan Roeslan hari itu juga agar bisa bertolak menuju London, demikian penyataan yang dimuat dalam harian Kompas, 25 November 1987.

Tidak terima dengan hal tersebut, Zulkifli Lubis langsung menuding Ali Sostroamidjojo dan A.H. Nasution membantu dan melindungi kejahatan dengan meloloskan Roeslan dari penangkapan. Tentu kejadian tersebut rentetan yang makin memperuncing hubungan antara atasan dan bawahan tersebut. Akhirnya A.H. Nasution menetapkan Zulkifli Lubis sebagai buronan karena mangkir dari panggilan.

Posisi Zulkifli Lubis sebagai Wakil KSAD kemudian digantikan oleh Gatot Subroto pada tahun 1956. Zulkifli Lubis hendak ditempatkan sebagai Panglima TT I Sumatra, menggantikan Kolonel Mauludin Simbolon, namun hal tersebut tidak pernah terealisasi.

Selang setahun kemudian, tuduhan Zulkifli Lubis tersebut terbukti benar. Pada April 1957, Roeslan Abdul Gani dinyatakan bersalah karena menerima suap dan melanggar aturan, tulis Ulf Sundhausen, dalam bukunya Politik Militer Indonesia 1945-1967.



Posting Komentar

0 Komentar