KISAH PERWIRA BELANDA DAN SERDADU AMBON MENGARUNGI KRUENG ACEH


Bukanlah perkara mudah bagi Belanda untuk masuk ke Aceh, mereka harus menerobos hutan dan sungai yang deras. Salah satunya seperti kisah Mayor Diepenheim dan serdadu Ambon mengarungi Krueng Aceh.

Kisah ini bisa dibaca dalam tulisan-tulisan kalangan militer Belanda sendiri. Mereka menulis fragmen pengalaman mereka selama perang Aceh. Banyak yang tragis, ada pula yang menggelitik dan humoris. Kisah Mayor Diepenheim dan serdadu Ambon ini bica dibaca dalam buku

Tjerita-Tjerita dari Negeri Atjeh yang ditulis oleh H Aars berdasarkan cerita dari Letnan JP Schoemaker yang pernah bertugas di Aceh.

Letnan JP Schoemaker menceritakan, pada suatu ketika Batalyon Tiga Pasukan Kompeni yang merupakan batalyon serdadu Ambon, melakukan patroli rutin, mereka ingin memperluas daerah pendudukan ke seberang Krueng Aceh. Namun tidak mudah untuk menyebrang karena sungai itu sangat deras, setelah dilanda banjir.

Pada Februari 1876, benteng Tjapatoe Aceh berhasil direbut kompeni. Kampung Mireuk dan masjidnya dibakar. Setelah itu serdadu-serdadu kompeni kembali ke posnya di bivak Pangoe. Pasukan kompeni membuat koloni di sana bersama batalyon tiga, yang merupakan batalyon tentara Ambon.

Setelah membuat koloni di Pangoe dan membangun benteng di sana, Pemerintah Kolonial Belanda melalui Jendral Pell yang datang ke situ, menginginkan batalyon tiga itu membangun sebuah benteng lagi di seberang sungai, di daerah Pagar Ayer (Pagai Air). Dengan adanya benteng di kiri kanan Krueng Aceh itu, satu di sebelah Pangoe dan satu di sebelah Pangar Ayer, maka Jendral Pell berpendapat wilayah itu akan dikuasi dan koloni akan lebih aman dari serangan pejuang Aceh.

Tapi untuk menyebrang dari Pangoe ke sebelah Pagar Ayer tidaklah mudah. Dan disinilah kisah Mayor Diepenheim bersama serdadu Ambon itu dimulai. Dari bivak Pangoe Jendral Pell bersama Mayor Diepenheim ke seberang sungai. Dua orang serdadu kemudian diperintahkan untuk membuat rakit dari pohon pisang yang banyak tumbuh di pinggir sungai.

Tapi, rakit pohon pisang itu tidak berhasil, hanyut dan tenggelam sebelum bisa menyebrang. Jendral Pell tampak tidak puas. Saat itulah seorang serdadu Ambon mendatangi atasannya, Mayor Diepenheim. Ia menawarkan diri untuk berenang sambil membawa tali ke seberang sungai.

Mayor Diepenheim tentu tidak mau hilang muka di depan Jendral Pell. Bersama serdadu Ambon itu ia membuka pakaian dan berdiri di pinggir sungai. “Semua serdadu Ambon loncat!” perintahnya. Ia sendiri lebih dulu meloncat ke sungai bersama serdadu Ambon tadi.

Mayor Diepenheim berenang paling depan dengan menggigit pedang di mulutnya, sementara serdadu Ambon yang loncat di belakangnya membawa tali rotan. Sementara serdadu Ambon lainnya mengikuti mereka, berenang melawan derasnya arus Krueng Aceh.

Sampai di tengah sungai Mayor Diepenheim kelelahan, ia beberapa kali kelelep dan hampir tenggelam. Nafsunya untuk membuat senang hati Jendral Pell membuatnya hampir celaka. Tangannya perih kesakitan, kerena luka tembak saat perang perebutan benteng Tjapatoe belum sembuh benar.

Beruntung serdadu Ambon yang berenang di belakangnya dengan susah payah berhasil menolong dan membawanya berenang hingga ke seberang sungai. Ini kali kedua Mayor Diepenheim selamat dari kematian dalam waktu seminggu, pertama dari tembakan pejuang Aceh dibentang Tjapatoe yang mengenai lengannya, kedua selamat dari tenggelam di sungai itu. Jendral Pell yang melihat itu beriak dan berkata kepada Obos di samping. “Coba lihat kok bisa sekarang,” katanya kegirangan di seberang sungai sebelah Pangoe.

Para serdadu Ambon yang berhasil berenang ke sebelah Pagar Ayee itu kemudian mengambil dua sampan milik nelayan Aceh yang ditambat di sana. Kedua sampan itu diikat menyatu, kemudian dengan tali rotan yang dibawa serdadu Ambon tadi ditarik ke seberang oleh serdadu-serdadu di bivak Pangoe. Dengan sampan itulah kemudian para serdadu batalyon tiga di bivak Pangoe menyebrang ke Pagar Ayee untuk membangun bivak dan benteng pertahanan di sana.

Posting Komentar

0 Komentar