KONFRONTASI DENGAN MALAYSIA



Tanggal 29 Agustus 1964, Kuala Lumpur dan London serentak mengumum, pembentukan Malaysia akan dilakukan pada tanggal 16 September 1964. Pengumuman tersebut mengejutkan semua pihak, termasuk tim percari fakta PBB yang beranggotakan 9 negara yang dipimpin diplomat AS, Michelmore.

Bung Karno langsung menanggapi dengan menempuh garis keras. Rencana pembentukan Malaysia dia nilai melanggar 3 hal. Pertama, tidak demokratis. Kedua, bertentangan dengan KTT Manila. Ketiga, bertentangan dengan resolusi dekolonisasi PBB.

Sejak itu, Indonesia bukan sekedar merestui penyusupan sukarelawan menyeberang perbatasan, secara terbuka ABRI mulai mendukung perjuangan rakyat Kalimantan Utara. Tanggal 3 Mei 1964, di depan rapat raksasa di Jakarta, Bung Karno mengumumkan Dwi Komando Rakyat, Dwikora. Pertama, pertinggi ketahanan revolusi Indonesia. Kedua, bantu perjuangan revolusioner rakyat Malaya, Singapura, Serawak, Sabah menghancurkan Malaysia.

Massa rakyat di Jakarta segera menudingkan amarah kepada Inggris yang dianggap memaksakan pembentukan Malaysia tanpa memperhatikan pendapat rakyat setempat. Minggu 15 September 1964, Indonesia resmi menolak Malaysia. Keesokan harinya, berlangsung unjuk rasa di Jakarta dengan sasaran Kedutaan Besar Malaya dan Kedutaan Besar Inggris.

Tanggal 17 September 1964, Malaysia memutuskan hubungan diplomatik dengan Indonesia dan Philipina. Siangnya meletus demonstrasi balasan di Kuala Lumpur. Gedung Kedutaan rusak dilempari batu. Perusakan dilanjutkan dengan mencopot lambang negara Indonesia dari dinding kedutaan, kemudian diarak massa, diserahkan kepada Tunku. Menurut versi Indonesia, lambang negara tersebut dicampakkan ketanah dan diinjak-injak Tunku. Versi Malaysia, Tunku mengucapkan pidato terima kasih atas spontanitas massa, menerima penyerahan lambang Negara Indonesia dengan baik lalu disimpan.

Setelah insiden di Kuala Lumpur terdengar di Jakarta, ratusan demonstrasi segera membalas penghinaan tersebut dengan membakar habis bangunan tiga lantai Kedubes Inggris. Persengketaan sudah menemukan titik bakar. Banyak orang Indonesia, termasuk penentang Bung Karno berpendapat, kerusuhan tidak akan terjadi seandainya diplomat Inggris di Jakarta lebih santun menghadapi massa. Sayang, mereka justru menghadapi demonstrasi secara provokatif. Sebaliknya, massa rakyat Jakarta yang sudah di susupi agen-agen Komunis, segera memanfaatkan keadaan, sehingga aksi unjuk rasa tidak lagi bisa dikendalikan.

Posting Komentar

0 Komentar