Sebuah rumah yang terletak di Gang Peneleh VII , di tepi Sungai Kalimas , Surabaya menjadi saksi persahabatan tiga sekawan, tiga orang pemuda rantau , yaitu Semaun, Soekarno dan Sekarmadji nge-kost disana. Selain tinggal di rumah itu, mereka juga sekaligus berguru pada juragan kost , Hadji Oemar Said Tjokroaminoto.
Mereka bertiga bertetangga kamar. Saat Soekarno berlatih orasi hingga larut malam, Semaun lah yg jadi 'juri' penilai nya. Semaun seringkali meniru-niru gaya pidato Soekarno sambil tertawa ngakak. Sekarmadji ikut nimbrung setelah selesai mengaji Alquran di kamarnya.
Semaun adalah pemuda yg luar biasa ia sudah mengenal politik saat masih usia 14 tahun. Semaun yg beraliran sosialis dan pengagum Karl Marx pernah bergabung dengan Sarekat Islam yang dipimpin Tjokroaminoto dan menjadi ketua cabang di Semarang di usia belum genap 20 tahun. Semaun kemudian keluar karena berbeda pandangan dan menjadi salah satu pendiri Partai Komunis Indonesia.
Sementara Sekarmadji yang alim dan cenderung pendiam, bercita-cita mendirikan negara Indonesia berlandaskan Islam.
Siapa sangka , tiga sekawan itu kemudian pun menjadi tokoh pergerakan kemerdekaan negeri ini. Mereka menjadi pemimpin partai dan organisasi yg diikutinya.
Soekarno menjadi tokoh nasionalis, Semaun menjadi pentolan komunis dan Sekarmadji teguh dengan islamis. Jalan hidup dan ideologi yang berbeda menjadikan mereka seteru pasca kemerdekaan. Tiga sekawan itupun berada di persimpangan jalan. Saat usia republik masih sangat belia, tahun 1948 di Madiun, Semaun bersama Muso mendeklarasikan Republik Sosialis Sovyet Indonesia. Semaun menantang Soekarno yang diproklamirkan menjadi presiden pertama RI. Soekarno pun tidak tinggal diam. Batalyon Siliwangi yang terkenal dengan kemampuan mumpuni saat perang kemerdekaan dikerahkan ke Madiun untuk memadamkan pemberontakan PKI yang dicetuskan sahabat yang dulu rajin mendengar orasinya itu bersama penghuni kost yg lainnya, Muso.
Perang saudara pertama pasca kemerdekaan ini akhirnya dimenangkan Soekarno. Ia pun harus menyaksikan kematian tetangga kamar saat kost di Surabaya itu. Sahabat yang menjadi lawan diskusinya dalam hal politik harus tewas di bawah komandonya.
Belum setahun peristiwa Madiun berlalu , Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo mendeklarasikan Negara Islam Indonesia di Malangbong Jawa Barat. SM Kartosoewirjo diangkat menjadi Imam NII dan tidak mau mengakui republik yang dipimpin sahabatnya , Soekarno. Soekarno pun kembali harus bertindak tegas terhadap sahabatnya ini. Tentara dikerahkan untuk menumpas gerakan NII Sekarmadji dan pengikutnya. Setelah berperang lebih dari 13 tahun, Sekarmadji akhirnya terdesak. Taktik pagar betis Pasukan Siliwangi mengurungnya dan ia akhirnya berhasil ditangkap. Sekarmadji akhirnya di hukum mati di Pulau Seribu pada September 1962.
Sekali lagi, Soekarno menangis menyaksikan teman mondoknya di Surabaya itu di eksekusi. Usai kematian kedua sahabatnya itu. Sang proklamator banyak merenung. Ia berusaha menyatukan pemikirannya dengan pemikiran Semaun dan Sekarmadji. Soekarno kemudian mencetuskan Nasional, Agama dan Komunis (Nasakom) untuk menjadi landasan hidup bernegara. Namun, nasib Soekarno sendiri kemudian juga harus berakhir mengenaskan terkena gelombang intrik politik pasca peristiwa G30S PKI.
Meski berbeda pandangan, ketiga tokoh itu bisa menjadi menonjol dan menjadi pemimpin besar tak lepas dari peran "sang guru" pemilik kost-kostan yakni Tjokroaminoto.
Pesan yang selalu diingat oleh murid-murid nya termasuk tiga sekawan ini adalah kata-kata : jika kalian ingin jadi Pemimpin Besar, menulislah seperti wartawan dan bicaralah seperti orator,.
Tiga sekawan ini menjalankan benar-benar pesan itu. Mereka sama-sama piawai menulis dan menjadi 'singa' diatas podium. Sayang, ketiganya harus berpisah jalan karena ideologi yang berbeda.
0 Komentar