
Setelah jatuhnya kabinet Amir, Hatta melanjutkan keputusan KNI untuk melaksakan ReRa angkatan Perang . Amir menyatukan partai-partai Sayap Kiri ke dalam FDR. FDR menentang ReRa Hatta. Di Kota Solo - Jawa tengah, Divisi IV Senopati merupakan kekuatan militer utama. Dan FDR merencanakan untuk tetap mempertahankan pengaruh kekuasaan militer di sana bila strateginya sudah mulai memasuki tahap revolusi. Dengan berbagai cara, FDR berupaya mendekati satuan-satuan TNI di lingkungan Divisi IV Senopati agar bersimpati pada program politiknya, antara lain dengan mengintensifkan kerja perwira-perwira yang berhaluan komunis, untuk setiap batalion, atau mempengaruhi langsung para pejabat kunci dan komandan kesatuan lapangan dan komandan kesatuan menengah setingkat batalion. Tujuannya untuk mengendalikan batalion-batalion secara ideologis. Akibat pengaruh FDR baik langsung maupun tidak langsung, mulai terlihat Divisi IV menolak rasionalisasi. Penolakan ReRa oleh jajaran Divisi IV sangat menyulitkan posisi TNI. Panglima besar Sudirman mengambil kebijaksanaan baru, seluruh divisi dilebur menjadi komando pertahanan, kemudian pada bulan Mei 1948 diresmikan menjadi Komando Pertahanan Panembahan Senopati (KPPS).
Divisi Siliwangi tiba di daerah Republik Indonesia yang tersisa di Pulau Jawa pada bulan Februari 1948, setelah berhijrah dari kantong-kantong gerilyanya di Jawa, Jawa Barat, Indonesia, melaksanakan keputusan Pemerintah sesuai dengan perjanjian Renville. Setiba di daerah Hijrah di Jawa Tengah dan Jawa Timur belahan barat, mereka menjalankan instruksi ReRa di dalam jajarannya.
Pada bulan Maret 1948, di kota dan daerah Solo, ditempatkan Brigade Siliwangi II. Di sini mereka tidak dapat sepenuhnya melakukan upaya untuk menyiapkan tugas utamanya, yaitu berlatih secara fisik dan mental, apabila kelak harus bergerak kembali ke Jawa Barat, melanjutkan perjuangan melawan kekuatan Belanda. Secara psikologis dan kehidupan fisiknya, tidak mudah bagi mereka menyesuaikan diri dengan keadaan setempat. Mereka merasa dimusuhi rakyat setempat karena oleh FDR dihembus-hembuskan bahwa Siliwangi telah mengkhianati perjuangan bangsa dan dicap sebagai tentara yang kalah melulu. Kesulitan hidup dialami karena kondisi ekonomi, apalagi bagi tentara yang datang dari daerah lain. Bagi pasukan setempat, kehadiran Siliwangi di daerah mereka dirasa sebagai orang-orang asing yang mengganggu rumah tangga orang lain. Akibatnya prajurit Siliwangi dihina.
Di tengah situasi Politik dan Militer yang memanas, pada tanggal 2 Juli 1948, Kolonel Soetarto, Panglima KPPS yang juga anggota PKI, ditembak orang tak dikenal di depan rumahnya di Timuran. Reaksi terhadap tewasnya Soetarto segera meluas. Di lingkungan KPPS, tersiar berita, “Komandan kita dibunuh”, sekalipun tidak diketahui siapa pembunuhnya, mereka mau membalas kematiannya itu. Timbul kemudian desas desus bahwa Kolonel Soetarto ditembak oleh Siliwangi, prajuritnya Sadikin.
FDR menyatakan, pembunuhan ini adalah rasionalisasi dengan cara lain. Pembunuhan ini menjadi awal dari rangkaian pembunuhan, penculikan, dan pelucutan yang bersifat provokasi, sehingga kesatuan-kesatuan bersenjata kerakyatan dan orang-orang komunis akhirnya melawan, yang justru diharapkan pemerintahan Hatta. Pertentangan meningkat antara pasukan yang pro pemerintah dengan yang pro FDR, antara yang pro ReRa dengan yang anti ReRa di Kota Solo. Gerakan teror, penculikan sampai pertempuran-pertempuran kecil berlangsung antara pasukan-pasukan yang saling bertentangan.
Bentrokan bersenjata yang serius antara pasukan Siliwangi dan KPPS pecah pada tanggal 20 Agustus 1948. Batalion 1 “ Sunan Gunung Jati” yang dipimpin Mayor Rukman, berkedudukan di Pabrik Gula Tasikmadu dikepung oleh kurang lebih tiga batalion KPPS. Pasukan pengepung menuntut agar anak buah Batalion Rukman yang telah bertindak tidak disiplin, liar, dan meneror rakyat diserahkan kepada mereka. Upaya untuk menyelesaikan pertentangan dengan diadakannya pertemuan antara pasukan KPPS dan siliwangi tak dapat menyelesaikan masalah. Mayor Martowiyono, Komandan Militer Distrik Karanganyar yang memimpin ertemuan tersebut tetap menuntut dengan keras, agar anak-anak Siliwangi yang menggedor, merampok, dan lain sebagainya diserahkan segera kepada KPPS. Mayor Rukman menanggapi ini masalah internal kesatuan Siliwangi, dan memberikan jaminan akan melakukan tindakan kepada anggota-anggotanya.
Situasi kian panas. Pada tanggal 23 Agustus pasukan pengepung, yang kemudian dapat diidentifikasikan sebagai pasukan-pasukan gabungan antara lain Tentara Laut Republik Indonesia (TLRI) pimpinan Yadau, Tentara Pelajar liar yang menggabungkan diri dalam pasukan ALRI “ Gadjah MADA” memberi ultimatum kepada Batalion Rukman agar menyerah pada hari itu juga pukul 19.00. Sebaliknya Rukman menjawab ancaman itu dengan mengatakan bahwa ia tidak bertanggung jawab apabila terjadi apa-apa. Penyerangan yang dilakukan pada tanggal 24 Agustus dengan pasukan penyerang yang lebih unggul tiga berbanding satu, berhasil ditangkis Batalion Rukman dengan korban 7 orang dari pasukan penyerang.
Akibat pertempuran di Taskmadu, KPPS menuntut agar batalion Rukman dipindakan ke daerah lain, di luar daerah Solo. Menanggapi itu, Brigade Siliwangi II akhirnya memutuskan agar Batalion Rukman kembali saja ke daerah basisnya di Jawa Barat. Untuk kembali ke Jawa Barat, Mayor Rukman harus melakukan operasi jarak jauh. Kolonel drg.Moestopo, pimpinan kesatuan reserve umum menyetujui keputusan Brigade Siliwangi II dengan alasan, “mengalah terhadap saudara sekandung, dan menyiapkan diri untuk dengan lebih baik menghadapi musuh bersama”. Tanggal 30 Agustus 1948, Batalion Rukman meninggalkan Solo.
Meskipun batalion Rukman telah meninggalkan kota Solo, ketegangan situasi politik militer masih juga tidak mereda. Provokasi yang dibuat PKI kian gencar untuk menekan pasukan siliwangi secara politis dan psikologis. Satuan-satuan Siliwangi dibujuk agar berada di kubu PKI. Ketegangan kian memuncak ketika seorang perwira ALRI-Gajah Mada, Mayor Esmara Sugeng beserta enam perwira lainnya diculik oleh satuan-satuan Siliwangi. Investigasi yang dilakukan Markas Brigade II Siliwangi membenarkan bahwa penculikan ini dilakukan oleh satuan-satuan Siliwangi. Penculikan para perwira ALRI ini didahului dengan penculikan dua anggota PKI yang penting, yaitu Slamet Wijaya dan Pardio pada tanggal 1 September 1948.
Panglima KPPS yang juga anggota PKI, Letkol Suadi, pengganti Kolonel Soetarto, menuduh Batalion Siliwangi dibawah Sadikin telah menculik para perwira PKI yang hilang itu. Suadi kemudian melaporkan segala peristiwa yang terjadi di Solo kepada Panglima Besar Jendral Sudirman, yang kemudian memberikan izin kepadanya untuk bertindak terhadap semua anasir yang bertanggung jawab dan bersalah dalam hal culik menculik itu. Dengan izin Panglima Sudirman, KPPS menyiarkan ultimatum kepada mereka yang bersalah, agar perwira-perwira yang diculik, dikembalikan, paling lambat tanggal 13 September 1948 tepat pukul 14.00. Bila jarum jam sudah menunjuk angka 2, tapi orang-orang tersebut belum dikembalikan Suadi memerintahkan pasukan dari kesatuan ALRI-nya menyerang barak-barak SILIWANGI. Mayor Slamet Riadi, Komandan Brigade 5/KPPS dengan dua Batalion TLRI/Brigade Yadau bersiap-siap dalam kota untuk bertindak. Panglima Sudirman marah atas penculikan perwira-perwira KPPS oleh Brigade II Siliwangi ini. Dipanggillah Letnan Kolonel Sadikin. Panglima Besar Jendral Sudirman mendesak agar para perwira yang diculik segera dikembalikan. Sadikin mengaku tidak tahu soal itu dan merasa dituduh. Pembicaraan menemui jalan buntu. Panglima Sudirman membayangkan terjadinya pertumpahan darah, dengan mengatakan, “Slamet Riadi anak saya.” Spontan Sadikin menjawab, “Saya ini kalau begitu anak siapa?” Kegentingan di Solo yang semula disebabkan “persengketaan antara Pesindo dan Barisan Banteng” berkembang jadi “persengketaan antara KPPS dan Siliwangi”.
Karena perwiranya tak kembali, pasukan KPPS akhirnya menyerang. Pasukan Siliwangi melawan dan mematakan serangan tersebut. Pada hari yang sama, kesatuan Pesindo menculik Dr.Muwardi, Ketua Barisan Banteng dan Ketua GRR, bersama-sama dengan tiga anggota GRR lainnya. Pada tanggal 14, kesatuan Siliwangi yang berkedudukan di agak luar Solo, masuk ke dalam kota untuk memperkuat batalion yang sudah berkedudukan di sana. Bersama-sama, mereka menyerang barak-barak ALRI dan memaksa kesatuan ALRI meninggalkan kota.
Pada 15 September, Soekarno mengumumkan keadaan darurat militer untuk Surakarta dan keresidanan sekitarnya. Ia juga mengangkat Kolonel Gatot Subroto sebagai Gubernur Militer Solo. Panglima Sudirman lalu mengirim bala tentara sebanyak 3 ribu prajurit dari Divisi Siliwangi ke Solo. Mereka mengambil tempat di pinggiran kota. Karena diperkirakan bala bantuan pro PKI masuk dari arah utara, posisi di mana mereka berada di sepanjang garis Van Mook.
Sementara itu Barisan Banteng menuntut agar Dr. Moewardi dan tiga orang lainnya, dikembalikan Pesindo pada tanggal 16. Penculikan Dr. Muwardi mempersatukan barisan banteng GRR dengan Siliwangi. Belakangan diketahui orang-orang Pesindo membunuh Dr. Muwardi.[18] Musuh yang sekarang dihadapi sama yaitu FDR. Ketika waktunya sudah lewat dan ultimatum tersebut belum dipenuhi, Barisan Banteng dan dua kesatuan kecil Siliwangi yang berada di dalam kota mulai menyerang markas besar Pesindo dan berhasil menggiring pasukan-pasukan Pesindo ke bagian selatan kota.[19]
Pada 15 September, kesatuan ALRI yang kuat berbaris menuju Solo. Mereka berharap tiba tepat waktu untuk menolong ALRI yang berkedudukan di sana. Namun, sialnya, mereka tidak menyadari bahwa pasukan ALRI di sana sudah disingkirkan ke bagian selatan kota. Berpapasanlah mereka dengan pasukan Siliwangi yang baru saja dikirim dari Yogyakarta oleh Panglima Sudirman. Terjadilah pertempuran hebat dan pada malam tanggal 16. Akhirnya ALRI terpaksa lari. Mereka pun tidak sampai bergabung dengan pasukan-pasukan di bawah pimpinan Suadi di bagian selatan kota.[20]
0 Komentar