J.P. Coen dan Sultan Agung: Antara Kekuasaan, Peperangan, Ambisi dan Kekejaman
Jan Pieterszoon Coen adalah Gubernur Jenderal VOC yang pernah menjabat dua kali, yakni pada 1619-1623 dan 1627-1629. Lahir pada 8 Januari 1587. J.P. Coen merupakan salah satu orang yang paling berpengaruh dalam perjalanan sejarah Nusantara selama berada dalam cengkeraman imperialisme Belanda.
Dilahirkan di Kota Hoorn, Belanda, Coen sejak remaja sudah mempelajari ilmu dagang di Roma, Italia, sekaligus memperdalam berbagai macam bahasa asing. Sempat pulang ke Belanda, Coen kemudian berlayar ke timur jauh. Pelayaran perdana Coen itu terjadi pada 22 Desember 1607. Ia ikut dalam rombongan kapten kapal Belanda yang bekerja untuk VOC, Pieter Willemszoon Verhoeff, berniaga rempah-rempah hingga ke kepulauan Nusantara.
Coen yang kala itu mendampingi Laksamana Pieterszoon Verhoeven, pemimpin ekspedisi pertama VOC ke Kepulauan Banda Maluku pada 1609, sebagai juru tulis, ikut menghadiri ajakan perundingan yang ditawarkan para Orang Kaya –istilah untuk menyebut tokoh-tokoh masyarakat Banda– pada 22 Mei 1609.
Masyarakat Banda saat itu telah menjalin relasi dengan Inggris yang juga menghendaki surga rempah-rempah di Maluku. Kehadiran VOC atau Belanda di Banda membuat situasi memanas sehingga dirasa perlu untuk digelar forum perundingan (John A. Pattikayhatu, Sejarah Perlawanan Terhadap Imperialisme dan Kolonialisme di Daerah Maluku, 1983:31).
Orang Kaya di Banda menawarkan kepada VOC untuk berunding, dengan syarat, harus ada jaminan berupa dua orang sandera. Verhoeven setuju. Ia berangkat bersama para pimpinan ekspedisi lainnya, juga JP Coen yang memang selalu mengiringi ke manapun sang laksamana pergi.
Sebagai jaminan seperti yang diminta Orang Kaya, Laksamana Verhoeven menyertakan dua saudagar Belanda bernama Jan de Molre dan Nicolaas de Visscher. Namun, Verhoeven tetap membawa pasukan lengkap. Beberapa orang Inggris yang semula ditawan VOC juga diikutkan dengan maksud diserahkan kembali sebagai hadiah.
Delegasi VOC segera menuju ke lokasi yang sebelumnya disepakati sebagai tempat perundingan, yaitu di bawah sebuah pohon besar yang terdapat di pesisir bagian timur Pulau Naira. Namun, tidak ada siapapun di situ ketika rombongan Verhoeven tiba.
Verhoeven lalu memerintahkan orang kepercayaannya, Adriaan Ilsevier, mencari di mana keberadaan Orang Kaya. Tak lama kemudian, Ilsevier menemukan Orang Kaya di permukiman di dalam hutan. Mereka beralasan takut karena melihat VOC datang dengan pasukan bersenjata. Kepada Ilsevier, para Orang Kaya meminta agar Verhoeven menemui mereka hanya ditemani beberapa orang saja.
Permintaan itu pun dipenuhi oleh Verhoeven yang mengajak kurang dari 30 orang saja. Ternyata, itu jebakan. Sesampainya di lokasi, rombongan kecil VOC disergap. Tidak kurang dari 27 orang Belanda mati dibunuh, termasuk Verhoeven (Rosihan Anwar, Perkisahan Nusa, 1986:182).
Coen yang ikut dalam delegasi itu bernasib mujur karena masih sempat melarikan diri meskipun ia melihat sendiri pembantaian tersebut. Bersama anggota ekspedisi VOC yang tersisa, ia bergegas meninggalkan kepulauan itu.
Lolos dari maut karier J.P. Coen ternyata melejit. Pada 1617, ia diangkat sebagai Gubernur Jenderal VOC di Batavia menggantikan Laurens Reael yang mundur karena sudah tak mampu lagi menghadapi urusan dengan Kesultanan Banten yang dibantu Inggris, pesaing utama VOC.
Kendati telah mencapai level tertinggi dalam jenjang kariernya, namun Coen tidak pernah bisa melupakan kenangan kelam yang terjadi di Banda Naira beberapa tahun lalu. Selain itu, Belanda memang masih menghendaki penguasaan atas pulau-pulau penghasil rempah-rempah di Banda.
Dari 6 pulau yang terdapat di Kepulauan Banda, 6 pulau di antaranya merupakan penghasil pala, juga cengkeh, paling potensial, yakni Pulau Lontor, Pulau Run, Pulau Ai, Pulau Neira, dan Pulau Rozengain (Didik Pradjoko & Bambang Budi Utomo, Atlas Pelabuhan-Pelabuhan Bersejarah di Indonesia, 2013:313).
Mengingat apa yang terjadi pada 1609, juga “kelicikan” Orang Kaya di sana, Coen berkesimpulan VOC bisa menguasai perdagangan rempah-rempah di Kepulauan Banda hanya dengan cara mengusir atau menghabisi orang-orangnya.
Saat itu, jumlah penduduk Banda sudah mencapai sekitar 14 ribu jiwa, yang sebagian besar telah memeluk agama Islam. Kesempatan itu datang pada 1621 setelah dewan pimpinan VOC menyetujui rencana Coen yang berkeinginan mengirimkan ekspedisi besar kedua ke Kepulauan Banda di Maluku. Banda harus ditaklukkan, baik dengan cara damai maupun perang. Persiapan pun segera dilakukan, termasuk asa Coen untuk menuntaskan dendam.
Coen memimpin langsung ekspedisi Belanda kedua ke Kepulauan Banda pada 1621 itu. Armada Belanda kali ini berkekuatan cukup besar dengan memberangkatkan 13 kapal angkut ditambah beberapa kapal pengintai, yang membawa ribuan penumpang. Tidak kurang dari 1.600 orang tentara, 300 orang narapidana dari Jawa, 100 orang samurai bayaran dari Jepang (ronin), hingga 286 budak belian, ditambah 40 awak kapal, disertakan dalam pelayaran panjang dari Batavia itu (Des Alwi, Sejarah Maluku: Banda Naira, Ternate, Tidore, dan Ambon, 2005:105).
Jan Pieterzoon Coen punya misi khusus selain berupaya menguasai pulau-pulau penghasil rempah-rempah di Kepulauan Banda. Ia mengusung dendam kesumat terhadap rakyat Banda yang telah dipendamnya selama 12 tahun.
Tujuan awal berlabuh di Pulau Neira, tempat yang dulu sempat digunakan pendahulunya, Laksamana Pieterszoon Verhoeven, membangun kembali bekas benteng Portugis pada 1609 silam. Benteng itu kemudian dinamakan Benteng Nassau dan menjadi salah satu pusat pertahanan VOC di Kepulauan Maluku.
Tanggal 27 Februari 1621, armada pimpinan Coen tiba Benteng Nassau. Setelah itu, VOC langsung menyerang dan menguasai Pulau Lontor, serta menjadikan salah satu desa di pulau itu sebagai markas (E. M. Jacobs, Merchant in Asia: The Trade of the Dutch East India Company During the Eighteenth Century, 2006:20).
Kapten Martin ‘tSonck ditunjuk sebagai Gubernur Banda dengan berkantor di balai desa. Sementara masjid yang terletak di sebelahnya dijadikan sebagai tempat penginapan orang-orang Belanda. Hal ini sebenarnya tidak disetujui oleh warga setempat, namun mereka tidak dapat berbuat apa-apa.
Hari-hari tegang dan mencekam, namun belum terjadi insiden berarti. Hingga suatu malam, terdengar suara keras dari dalam masjid. Rupanya, lampu gantung jatuh dengan tiba-tiba.
Namun, kegaduhan itu membuat Belanda curiga dan menuduh warga sedang mempersiapkan serangan. Kericuhan tidak terhindarkan karena VOC segera merespons dengan tindakan keras, bahkan kejam. Warga dibantai tanpa ampun, tidak hanya di Pulau Lontor dan Naira, melainkan di pulau-pulau lainnya. Yang berhasil melarikan diri hanya sekitar 300-an orang saja.
Pasukan VOC beserta para serdadu bayarannya menghancurkan apapun yang mereka temui, termasuk rumah-rumah penduduk dan perahu-perahu milik warga, selain terus membunuhi orang-orang yang tidak sempat kabur.
Tanggal 8 Mei 1621, Belanda menangkap 8 Orang Kaya atau orang-orang berpengaruh bagi masyarakat Banda. Mereka dituding sebagai pemicu kerusuhan dan dieksekusi mati oleh 6 orang samurai. Tubuh mereka dipotong menjadi 4 bagian (Des Alwi, 2005:79).
Masih di tanggal yang sama, 36 orang tokoh masyarakat Banda lainnya lantas diciduk lalu kepala mereka dipenggal. Potongan kepala dan tubuh Orang Kaya itu lalu ditancapkan di sepotong bambu untuk dipertontonkan kepada warga lainnya sebagai peringatan. Total, ada 44 orang pemuka masyarakat Banda yang menjadi korban kebengisan VOC.
Coen memang bertindak sangat kejam sebagai perwujudan balas dendam. Hampir seluruh penduduk di Kepulauan Banda dimusnahkan dengan sangat kejam dan tidak berperikemanusiaan (R.Z. Leirissa & Djuariah Latuconsina, Sejarah Kebudayaan Maluku, 1999:111).
Diperkirakan dari 15 ribuan penduduk Kepulauan Banda saat itu, yang tersisa kurang dari 1000 orang saja akibat pembantaian VOC tersebut. Setelah berhasil “membersihkan” sebagian besar penduduknya, Belanda lalu sepenuhnya menguasai Kepulauan Banda yang amat kaya dengan rempah-rempah itu dan mendapatkan keuntungan besar selama berpuluh-puluh tahun kemudian.
Pada masa pemerintahan J.P. Coen Mataram telah menjadi kerajaan terbesar di Jawa yang menguasai seluruh Pulau Jawa, kecuali Banten dan Batavia. Dan sejak 1619 VOC telah berhasil menguasai Batavia serta berusaha menaklukkan daerah kekuasaan Mataram yang membuat Sultan Agung gusar.
Sebagai balasannya, Sultan memusatkan perhatian untuk menyerang pusat kekuasaan VOC di Batavia. Sejak awal 1628 Sultan Agung mengeluarkan perintah: "Melarang penjualan beras kepada VOC. Siapa melanggar larangan ini akan dihukum berat".
Untuk itu dilakukan penutupan (kota pelabuhan) seluruh pantai Jawa. Berdasarkan catatan sejarawan Belanda DR HJ De Graaf (meninggal 1920-an), penutupan (kota pelabuhan) seluruh pantai Jawa dilakukan pada awal 1628.
Dalam pada itu Jan Pieterszoon Coen sebenarnya telah diberhentikan sebagai Gubernur Jendral VOC pada tahun 1623. Akan tetapi pada tahun 1627 dia diangkat kembali setelah didengar berita bahwa Mataram akan menyerbu Batavia.
Pada tahun 26 Agustus 1628, berangkatlah pasukan Mataram untuk menyerang Batavia. Pasukan ini dibagi dalam dua kelompok laut dan darat. Pasukan pertama dipimpin oleh Baurekso dari Kendal dengan kekuatan 80.000 prajurit yang terbagi dalam 59 kapal yang akan menyerang Batavia pertamakali dari laut. Tugas utamanya adalah melakukan penyerangan ke Benteng Holandia yang berada disebelah tenggara kota Batavia.
Pasukan kedua dipimpin oleh Tumenggung Sura Agulagul, Dipati Mandureja, Dipati Upasanta, Dipati Tohpati dan Tumenggung Anggabaya. Pasukan ini lebih banyak dari pasukan pertama dan akan berperang apabila Baurekso terdesak.
Selasa 22 Agustus 1628: Panglima Tertinggi Armada Jawa Tumenggung Baurekso berangkat membawa 150 ekor sapi, 5.900 karung gula, 26.600 buah kelapa dan 12.000 karung beras. Pihak Mataram menyampaikan hal ini sebagai alasan keinginan Mataram berdagang dengan Batavia. Namun pihak Belanda curiga.
Hari berikutnya, mereka menyetujui sapi diturunkan, dengan syarat kapal Mataram hanya menepi satu demi satu. 100 prajurit bersenjata dari garnisun Kasteel (benteng) keluar untuk menjaga-jaga.
Hari ketiga, tujuh lagi kapal Mataram berlabuh, dengan alasan ingin minta surat jalan dari pihak Belanda agar dapat berlayar ke Malaka, saat itu di bawah kekuasaan VOC.
Belanda memperkuat penjagaan di dua benteng kecil utara dan menyiapkan artilerinya. Sore hari itu, duapuluhan kapal Mataram menurunkan pasukannya di depanKasteel. Belanda terkejut dan buru-buru masuk benteng kecil.
Kemudian sejumlah kapal Mataram lain mendaratkan prajuritnya. Pasukan Mataram pun dihujani tembakan dari Kasteel oleh tentara VOC.
Tanggal 25 Agustus, 27 kapal Mataram lagi masuk teluk, tetapi berlabuh di sebelah Batavia agak jauh dari Kasteel. Serdadu Mataram mulai tiba dan berkumpul dengan panji perang berkibar. Mataram telah menyatakan dengan jelas keinginannya menyerang Belanda.
Esok harinya, terhitung 1.000 prajurit Mataram memasang kuda-kuda di depan Batavia. Tanggal 27 Agustus, mereka menyerang benteng kecil "Hollandia" di sebelah tenggara kota.
Sekompi berkekuatan 120 prajurit di bawah pimpinan Letnan Jacob van der Plaetten berhasil menghalang mereka, setelah pertempuran yang dahsyat. Sementara beberapa kapal Belanda datang dari Banten dan Pulau Onrust dan mendaratkan 200 prajurit. Kini Kasteel dipertahankan oleh 530 prajurit.
Pada 10 September 1628 pasukan Mataram memajukan garis pertahanan sampai 'sejauh tembakan pistol' dari kota dan sembunyi di barikade kayu dan bambu. Sedangkan meriam dan perlengkapan perang mereka ditarik oleh kerbau (pedati).
Rabu 12 September 1628, 65 orang pasukan Belanda dengan dilindungi 150 penembak dari Kasteel menyerang barikade pertahanan Mataram yang dijaga 200-300 pasukan Mataram. 30-40 pasukan Mataram terbunuh. Orang-orang Cina turut membantu Belanda ikut menyerang dengan semangat dan membakar parit perlindungan Mataram.
Pada Kamis 21 September 1628 malam Jumat pasukan Mataram menyerang pertahanan Belanda dan berusaha menaiki Kasteel ketika mereka kehabisan peluru. Belanda menyerang balik dengan 300 serdadu dan 100 orang sipil (terdiri dari Merdicker -orang yang telah dibebaskan dari budak- dan orang2 Cina).
Sabtu 21 Oktober 1628, Komandan Jacques Lefebre dengan 2.886 orang, dua kapal pantai, tujuah sekoci dan kapal berawak 150 orang menyerang dari sungai dan darat. Terjadi pertempuran sengit. Panglima Perang Tumenggung Bahurekso dengan 2 putranya melakukan perlawanan besar-besaran
Dua pasukan Tumenggung Bahurekso yaitu Pasukan Panah Api Surogenen dan Pasukan Wirabraja jam 05.30, melakukan serangan besar-besaran dari 2 arah yang berbeda. Serangan Pasukan Tombak Wirabraja Tumenggung Bahurekso tersebut dihadapi Belanda dengan Pasukan Pedang VOC.
Belanda juga memuntahkan senjata api Meriam secara bertubi-tubi ke arah Tumenggung Bahurekso dan pasukannya. Salah satu serangan senjata Pasukan VOC tersebut mengenai Tumenggung Bahurekso.
Salah Satu Kaki Tumenggung Bahurekso mengalami luka dan patah terkena terkena pecahan peluru akibat serangan Meriam Belanda itu. Karena dalam kondisi terluka dan kaki patah, pasukan diperintahkan untuk mundur ke arah hutan Lumbung Parahiyangan Tengah.
Pasukan kedua yang baru datang dengan dipimpin oleh Tumenggung Sura Agulagul, Dipati Mandureja, Dipati Upasanta. Total semuanya adalah 10.000 prajurit. Tak lama kemudian rombongan baru Mataram yang baru tiba segera bergabung ke medan pertempuran.
Melihat keadaan pasukan Baurekso itu pasukan kedua segera menyerang Batavia dari segala arah. Hampir Batavia dapat direbutnya. Tembok-tembok kota diruntuhkan dan benteng-benteng kecil di sekitar kota dapat direbut. Sehingga serdadu kompeni Belanda hanya dapat bertahan di dalam benteng induk di tepi sungai Ciliwung saja.
Hal ini menimbulkan ketakutan di pihak Belanda. Kali ini pasukan Mataram hampir mengalahkan Belanda karena kehabisan peluru. Puluhan pasukan Belanda tewas dan ratusan kehilangan senjata.
Dalam situasi genting itu, seorang sersan VOC asal Jerman, Hans Madelijn.
mendapatkan siasat gila. Ia memerintahkan bawahannya untuk menyiramkan tinja kepada pasukan Mataram yang sedang berusaha memanjat tembok benteng. Mereka pun lari sambil berteriak, "O, seytang orang Ollanda debakkalay sama tay!"
Panglima pasukan yang baru yaitu Tumenggung Sura Agul-Agul dan kedua bersaudara Kiai Dipati Maduredja dan Upa Santa pun kecewa karena benteng Batavia gagal ditaklukan. Kemenangan yang sudah berada di depan mata pun lepas hanya karena kotoran.
Untuk memaksa pasukan Belanda keluar dari bentengnya, Tumenggung Sura Agul-agul memerintahkan untuk membendung sungai Ciliwung kira-kira satu mil dari kota dengan mempekerjakan 3.000 orang selama satu bulan dan mengalihkan alirannya, sehingga di perbentengan akan mengalami kesulitan air. Namun pekerjaan berjalan lambat karena kelaparan.
Senin 37 November 1628 Benteng Hollandia diserang kembali oleh 400 prajurit Mataram, namun belum juga berhasil, sebagian besar gugur dan sisanya melarikan diri.
Jumat 1 Desember 1628: Tumenggung Agul-Agul memerintahkan mengikat Kiai Adipati Manduredja dan Adipati Upa Santa berikut anak buahnya. Dan 'melalui pengadilan atas perintah raja Mataram, Sultan Agung dihukum mati karena tidak bertempur secara mati-matian dan Batavia gagal ditaklukkan.
Ahad, 3 Desember 1628 pasukan Belanda menghitung korban eksekusi sebanyak 744 mayat. Menurut Andy Alexsander, eksekusi dilakukan di sekitar RS Husada, Mangga Besar, Jakarta Barat, yang ketika itu masih hutan belukar.
Sekitar 1.200-1.300 pasukan Mataram gugur. Sekitar 2.000 sampai 3.000 ditawan. Dari interogasi tawanan diperkirakan 3.000-4.000 masih berkeliaran di hutan mencari makan.
Salah satu sebab kegagalan Mataram di samping persenjataan yang tak seimbang, para prajurit Mararam ketika itu belum mengenal pertempuran dengan sistem modern dalam memanjat tembok kota selain kurangnya perbekalan untuk jangka waktu lama.
Sultan Agung kembali menyerang Batavia untuk kedua kalinya pada tahun berikutnya. Pasukan pertama dipimpin Adipati Ukur berangkat pada bulan Mei 1629, sedangkan pasukan kedua dipimpin Pangeran Juminah, Pangeran Puger, Pangeran Singoranu dan Pangeran Purbaya berangkat bulan Juni. Total semua 14.000 orang prajurit.
Kegagalan serangan pertama diantisipasi dengan cara mendirikan lumbung-lumbung beras tersembunyi di Karawang Cirebon dan Tegal. Namun informasi persiapan pasukan Mataram diketahui oleh VOC lewat mata-matanya.
Dengan segera VOC mengirim kapal-kapal perang untuk menghancurkan lumbung-lumbung yang dipersiapkan pasukan Mataram. Di Tegal tentara VOC berhasil menghancurkan 200 kapal Mataram, 400 rumah pendudukdan sebuah lumbung beras.
Hal ini menyebabkan pasukan Mataram kurang perbekalan, ditambah wabah penyakit malaria dan kolera yang melanda mereka, sehingga kekuatan pasukan Mataram tersebut sangat lemah ketika mencapai Batavia.
Namun pasukan Mataram pantang mundur, dengan kekuatan pasukan yang ada terus berusaha mengepung Batavia. Pasukan Mataram berhasil mengepung dan menghancurkan Benteng Hollandia.
Berikutnya pasukan Mataram mengepung Benteng Bommel, tetapi gagal menghancurkan benteng tersebut. Pada saat pengepungan Benteng Bommel, terpetik berita bahwa J.P. Coen meninggal. Peristiwa ini terjadi pada tanggal 21 September 1629. Dengan semangat juang yang tinggi pasukan Mataram terus melakukan penyerangan.
Dalam situasi yang kritis ini pasukan Belanda semakin marah dan meningkatkan kekuatannya untuk mengusir pasukan Mataram. Dengan mengandalkan persenjataan yang lebih baik dan lengkap, akhirnya dapat menghentikan serangan-serangan pasukan Mataram dan memaksa mereka kembali ke Mataram.
Pasca kegagalan tersebut, Sultan Agung marah besar. Daripada dihukum pancung seperti Dipati Mandurejo dan Dipati Upa Santa karena tidak berhasil menaklukkan VOC, Dipati Ukur di Sunda memilih membelot dan memberontak. Namun, pemberontakannya sia-sia.
Sultan Agung mengirim 40.000 prajurit menggempur Priangan dan Sumedang. Banjir darah kembali terjadi. Dalam ini, pasukan Sultan Agung “mengusir penduduk, sedangkan orang kaya terkemuka semuanya dibunuh,” tulis Daghregister, 19 Juli 1632.
Belum puas menghancurkan pemberontak di Tatar Sunda, sebanyak 1.260 lelaki tawanan dibawa ke Mataram. Setibanya, “semua laki-laki tersebut dideretkan dan kepala mereka dipenggal,” tulis Jonge seperti dikutip HJ De Graaf dalam buku “Puncak Kekuasaan Mataram” (2002: 236).
Kebengisan Jan Pieterszoon Coen yang memerintah Hindia Belanda akhirnya berakhir pada 21 September 1629 pada usia 42 tahun. Kecerdikannya menaklukkan Jayakarta, harus takluk di tangan pasukan Mataram.
Memang ada dua versi yang menyebutkan penyebab kematiannya. Laporan resmi Belanda mencatat, Coen meninggal akibat serangan kolera atau muntaber.
Sedangkan versi lain karena serangan pasukan Mataram saat menyerang Batavia. Bahkan ada versi yang menyebut, Coen meninggal setelah kepalanya ditebas oleh salah satu tentara Mataram dan dibawa dan ditanam di bawah tangga pemakaman para Raja Mataram yang berada di Imogiri, Bantul, Yogyakarta.
Menurut Drs Candrian Attahiyat, (saat itu menjabat sebagai Kepala Seksi Arkeologi Dinas Museum dan Pemugaran DKI Jakarta), pada tahun 1939 telah dilakukan penggalian di makam Coen, untuk mencari jenazahnya. Tapi tidak ditemukan apa-apa.
Meskipun pakar arkeologi ini lebih mempercayai versi Babad Jawa, tapi ia berpendapat untuk mencari kebenaran, perlu dilakukan penggalian jenazah berupa kepala Coen di Imogiri. ''Memang sejauh ini belum pernah ada penelitian arkeologi kebenaran Babad Jawa tentang terbunuhnya Coen.''
Kisah tewasnya J.P. Coen di tangan intelijen tentara Mataram ditahun 1629 berkat intrik yang dibuat oleh Raden Bagus Wonoboyo putra Roro Retno Pembayun dengan Ki Ageng Mangir Winoboyo.
Sebelum menetap di daerah Tapos Depok, Raden Bagus Wonoboyo bersama ibundanya Roro Retno Pembayun ikut memerangi Belanda di Jepara Jawa Tengah.
Sekitar tahun 1620, Raden Bagus membawa ibundanya ke hutan Kali Sunter di daerah Tapos, Depok yang menjadi basis perlawanan tentara Mataram di Batavia.
Sayangnya, sekitar tahun 1625, ibundaya wafat dalam usia 76 tahun. Jenazah Roro Retno Pembayun dimakamkan di Kampung Kebayun, Depok.
Semangat Raden Bagus untuk memerangi Batavia tidak padam, dua tahun kemudian Raden Bagus bekerjasama dengan Tumenggung Kertiwongso dari Tegal untuk membangun pasukan elit.
Disini, keduanya merekrut sejumlah tentara pilihan untuk mendapatkan pelatihan rahasia. Salah satu anak Raden Bagus Wonoboyo, yakni Raden Ayu Utari masuk dalam pelatihan rahasia tentara Sandi Mataram. Tentara pilihan tersebut diberi nama sandi seperti Nyencle, Jati, Sidomukti, Poncol, dan Banjaran Pucung
Karena Raden Ayu Utari Sandijayaningsih memiliki suara merdu, disini Ayu Utari memainkan peran sebagai penyanyi di klub perwira VOC. Selama itu, Ayu Utari juga akrab dengan istri J.P. Coen bernama Eva Ment.
Dalam operasi intelijen rahasia ini, sebelumnya Sultan Agung sudah mengirim orang kepercayaannya yang bernama sandi Wong Agung Aceh atau Wali Mahmudin untuk membantu Ayu Utari.
Wong Agung Aceh disusupkan Sultan Agung ke VOC melalui kapal dagang Aceh yang disewa VOC untuk mengangkut meriam dari Madagaskar.
Awalnya, Ayu Utari berhasil membunuh Eva Ment menggunakan racun yang dicampur di minumannya. Mengetahui kematian istri tercintanya, J.P. Coen sangat terpukul sehingga benar-benar lengah.
Pada tanggal 21 September 1629 atau empat hari setelah kematian istrinya, J.P. Coen juga tewas berkat kecerdikan Ayu Utari. J.P. Coen dicekoki dengan minuman hingga mabuk dan memudahkan Wong Agung Aceh membunuh J.P. Coen dan memenggalnya.
Kepala J.P. Coen kemudian diserahkan kepada Raden Bagus Wonoboyo yang secara estafet di bawa ke Mataram oleh divisi Tumenggung Surotani untuk diserahkan ke Sultan Agung. Kabarnya kepala J.P. Coen ditanam dibawah tangga komplek pemakaman Raja Mataram di Imogiri.
Meskipun serbuan Mataram pertama dan kedua ke Batavia gagal, Sultan Agung terus menjalankan politik blokadenya dengan lebih ketat terhadap VOC di Batavia.
Merasa terpojok posisinya, Gubernur Jenderal Jaques Specx (1629-1632) penerus J. P. Coen memutuskan untuk mengadakan perundingan dengan pihak Mataram.
Namun agak sukar baginya mencari orang yang mampu dan bersedia dikirim ke ibukota Mataram, karena takut ditawan dan dijadikan sandera.
Akhirnya, van Maseyck yang pernah menjadi duta dan bahkan menjadi tawanan di Mataram memberanikan diri menerima tugas itu.
Kapal yang ditumpanginya merapat di Jepara pada bulan April 1631. Sejumlah besar barang bingkisan diturunkan dan diatur di pelabuhan dijaga oleh 25 orang serdadu Kompeni di bawah pimpinan Antonio Paulo.
Sementara itu di kejauhan nampak pasukan-pasukan Mataram siap siaga di bawah pimpinan Adipati Demak. Kedua belah pihak mengibarkan bendera putih sebagai tanda bersedia berunding.
Namun perundingan mencapai jalan buntu dan van Maseyck mundur kembali mendekati anak buahnya. Tiba-tiba Adipati Demak memberikan aba-aba menyerang dan menyerbulah pasukan-pasukan Mataram ke arah orang-orang Belanda.
Ke-25 orang serdadu Kompeni termasuk Antonio Paulo dapat ditawan, barang-barang bingkisan dirampas semua, sedangkan van Maseyck dapat melarikan diri menuju ke kapal yang segera mengangkat sauh dan bertolak ke arah Barat.
Menurut perhitungan pihak Kompeni saat itu di Mataram tidak kurang dari 50 orang Belanda yang dijadikan tawanan. Mereka semua diharuskan melakukan kerja paksa dalam keadaan yang amat menyedihkan karena kekurangan makanan.
Bulan Oktober 1634 van Brouchum tiba di Tegal sebagai utusan khusus pihak Kompeni lengkap dengan segala macam bingkisan.
la menyampaikan pesan bahwa Kompeni mengakui Sultan Agung sebagai Penguasa Tertinggi di Jawa dan Kompeni bersedia mengirim upeti ke Mataram setiap tahun yang dapat dianggap sebagai "uang sewa" atas tanah-tanah milik Mataram yang dijadikan tempat kediaman atau Kantor Dagang orang-orang Belanda.
Namun van Brouchum meminta jaminan bahwa utusan-utusan yang dikirim ke Mataram tidak akan dijadikan tawanan atau sandera. Juga van Brouchum menyatakan bahwa Kompeni bersedia membayar sejumlah uang tertentu bagi pembebasan para tawanan atau, paling tidak, bagi keperluan ransum para tawanan itu.
Sungguh sial bagi van Brouchum! Utusan dari Mataram dengan tegas menolak semua bingkisan, pernyataan dan kesediaan Kompeni tadi.
Utusan Sultan berpesan agar segala bingkisan, pernyataan dan tanda takluk harus dikirim langsung ke hadapan Sultan dan harus dibawa oleh paling sedikit dua orang Belanda yang mempunyai kedudukan tinggi di Batavia.
Sang utusan juga menyampaikan berita bahwa, sebagai hukuman kepada Kompeni yang telah berani menghasut Blambangan melawan Mataram, maka Antonio Paulo, pimpinan serdadu Kompeni dalam misi van Maseyck yang ditawan di Jepara bulan April 1631, telah dilemparkan ke kandang buaya dan tewas menjadi mangsa hewan-hewan itu.
Apabila dalam waktu dekat tidak juga datang utusan yang diminta tadi ke Mataram, maka 24 orang rekan Antonio Paulo akan mengalami nasib serupa dengan komandan mereka.
Hasil perundingan di Tegal benar-benar merupakan pukulan bagi Kompeni; mereka benar-benar merasa direndahkan martabatnya.
Karena van Brouchum bertindak atas nama Gubernur Jenderal, maka Gubernur Jenderal Brouwer dipecat dari jabatannya dan digantikan oleh Antonie van Diemen.
Demikianlah, maka selama masa-masa pemerintahan Sultan Agung, tidak satupun orang Belanda yang ditawan berhasil dibebaskan.
Ketika Sultan Agung wafat tahun 1645, barulah sisa tawanan itu dapat dibebaskan dengan tebusan atas perkenan raja yang baru, Sultan Amangkurat I.
Ternyata bahwa mereka itu hanya tinggal 33 orang, yang berarti bahwa ke-24 anak buah Antonio Paulo mengalami nasib serupa seperti komandan mereka: dilemparkan ke kandang buaya menjadi mangsa hewan ganas itu sesuai dengan ancaman yang diberikan Sultan Agung di Tegal.
1 Komentar
Untuk mempermudah kamu bermain guys www.fanspoker.com menghadirkan 6 permainan hanya dalam 1 ID 1 APLIKASI guys,,,
BalasHapusdimana lagi kalau bukan di www.fanspoker.com
WA : +855964283802 || LINE : +855964283802