![]() |
Soerdirman |
Dentuman suara bom dari pesawat di atas Jogja masih berlangsung. Jendral kurus yang sudah hampir 2 bulan tak bangun dari tidurnya itu tiba-tiba meminta dokter pribadinya untuk mengambil mantel dan berusaha bangun dari tempat tidur.
“Pak Wondo mantel saya..!” begitu pintanya, sang dokter terkejut seraya memapah sang Jendral.
“Mau ke mana, pak?” tanya dokter itu sembari memberi mantel yang diminta..
“Saya mau ke Gedung Agung, menghadap Presiden di sana,” masih berusaha berdiri walau sulit dipaksakannya juga.
“Tapi bapak masih sakit” ujar dokter Wondo pada Soedirman.
Seraya menoleh ke arah sang dokter “Sudah siapkan mobil, saya berangkat sekarang,” perintah Jendral yang sering disebut “kajine” itu.
Di Gedung Agung suasana sudah ramai, sang Jendral ini menghadap Soekarno, Sudirman mengajak dan sekaligus mengingatkan Presiden Soekarno akan janjinya kala itu yang pernah berujar bahwa jika Belanda menyerang lagi Soekarno pun akan memimpin perang gerilya, nah janji itu yang ditagih Panglima ini.
Namun jawaban yang diharapkan malah diterima lain. Soekarno menolak untuk keluar kota dengan berbagai alasan. Bahkan Soekarno menyarankan Soedirman untuk istirahat. ” Di Mas sedang sakit, lebih baik tinggal di kota”.
Sudirman menyahut, “Yang sakit Sudirman, Panglima Besar tidak pernah sakit!” Jawaban tandas itu sempat membuat Soekarno kaget walau akhirnya menyerahkan keputusan gerilya di tangan pak Dirman.
Jenderal Soedirman kecewa dengan keputusan Soekarno-Hatta yang memilih menyerah daripada ikut gerilya. Dia pun tak percaya dengan perundingan Renville antara Republik Indonesia dan Belanda. Menurutnya yang berhak melakukan perundingan adalah Mr. Sjafruddin Prawiranegara dan PDRI yang masih berdaulat, bukan Soekarno-Hatta yang sedang menjadi tawanan perang.
Jenderal berani ini pun tersinggung saat Mohammad Roem sebagai ketua delegasi Republik, tak lagi menyebut TNI melainkan hanya: kesatuan bersenjata atau pengikut Republik yang bersenjata. Soedirman marah. Buat apa TNI terus bergerilya membuktikan Republik Indonesia dan TNI masih ada, kalau dengan mudah pemerintah tak mengakui mereka? Bukankah Serangan Oemoem 1 Maret 1949 telah membuktikan kepada dunia bahwa TNI masih ada dan terorganisir, bukan hanya perampok bersenjata seperti tuduhan Belanda?
Menyebut pengikut bersenjata berarti mendukung propaganda Belanda yang menyebut TNI sudah hancur dan tinggal menyisakan gerombolan bersenjata yang sudah tak teratur. TNI merasa dikorbankan untuk kepentingan politik. Mereka yakin ini hanya akal-akalan Belanda. Apalagi hasil perundingan Roem-Roijen menyebutkan TNI harus menghentikan aktivitas gerilya.
TNI merasa posisi Belanda sudah terjepit. Keputusan ini jelas merugikan TNI. Sudah menjadi kebiasaan Belanda minta berunding jika sudah terdesak. Lalu jika sudah menyusun kekuatan mereka akan menyerang kembali.
Bukankah sudah dua kali Belanda melanggar perjanjian Linggarjati dan Renville? TNI tak mau dibodohi untuk ketiga kalinya. Saat itu jika belajar dari sejarah, Soedirman seperti ditinggalkan dan dikorbankan dan berjuang sendiri.
0 Komentar